2. Dewi Penyelamat

228 24 1
                                    

"Awas, aja, akan kuhajar kau habis-habisan karena telah membuatku seperti ini."

Pria itu menghela napas lega setelah menyadari Mars hanya mengigau. Ia berjongkok di samping ranjang lalu menyibak beberapa helai rambut Mars yang menutupi kelopak matanya. Hanya itu saja yang dilakukan pria berkulit putih itu sebelum pergi meninggalkan kamar tersebut.

"Sebenarnya Kakak masih gak paham kenapa kamu harus melakukan ini." Kinar berucap sambil menghela napas panjang.

Pria yang berstatus sebagai adik Kiran itu hanya menatap sang kakak dengan kedua mata yang membola.

"Ya, Kakak akan tetap bantu kamu, Karang. Tapi cepat atau lambat, Mars pasti akan mengetahui semuanya."

Pria bernama Karang itu menggelengkan kepalanya keras. Jari-jari tangannya mulai membentuk huruf-huruf. [Jangan, Kak. Sebisa mungkin Mars jangan sampai tahu.]

"Baiklah. Akan Kakak lakukan, tapi jika Mars tahu dengan sendirinya, maka Kakak gak akan tanggung jawab. Kamu yang harus bertanggungjawab, karena semua ini bermula darimu." Kiran memperingatkan sang adik.

Karang mengangguk tanda mengerti meskipun hatinya berharap Mars tidak mengetahui kebenarannya.

"Sebaiknya kita tidur. Besok Kakak akan susul kamu ke rumah sakit."

Karang mengacungkan ibu jarinya di depan sang kakak lalu menggerakkan kedua kakinya menuju kamar. Baik kamarnya atau pun kamar yang ditempati Mars, keduanya tidak jauh berbeda. Hanya sebuah ruangan kecil yang di dalamnya terdapat sebuah lemari dan nakas yang ada di samping tempat tidur.

Embusan napas berat terdengar jelas di ruangan yang sepi tanpa suara itu. Sejenak, Karang menutup matanya sembari meremas dada sebelah kiri. Jantungnya masih berdetak, tetapi iramanya jelas berbeda. Hal seperti ini bukan pertama kalinya terjadi, terjadi sensasinya sudah lama dilupakan.

"Aku gak nyangka bisa bertemu dengan Mars lagi. Kondisinya tidak baik, tapi jauh lebih baik dariku." Karang berucap dalam hati. Ia dan Mars sudah saling mengenal, tetapi ada alasan lain yang membuat Karang hanya bisa memperhatikan dalam diam.

"Sadarlah, Karang. Mars hanya sebentar berada di sini. Saat dia sembuh nanti, dia akan kembali ke tempatnya dan kami akan menjadi orang asing lagi." Karang menggelengkan kepala lalu merebahkan diri di atas ranjang.

***

Langit-langit kamar menjadi pemandangan yang pertama kali dilihat Mars kala membuka mata. Netranya diarahkan pada daun pintu yang tertutup rapat.

"Perasaanku aja, atau tadi emang ada yang masuk?" tanyanya bingung pada diri sendiri. "Apa mungkin Kinar? Tapi untuk apa? Aku ingat dengan jelas jika Kinar memintaku istirahat. Seharusnya dia gak menggangguku." Mars hanya bisa menjawab pertanyaannya sendiri.

"Terserahlah. Asal aku baik-baik aja, ya, gak masalah." Mencoba menghiraukan alasan Kinar memasuki kamar yang ditempati olehnya, Mars kembali menutup kelopak matanya.

"Sebentar. Tapi rasanya aku melihat seseorang yang familiar. Aku seperti melihat bayangan Karang." Mars diam untuk sesaat. "Kayanya ada beberapa saraf yang putus, deh. Masa, iya, aku lihat Karang? Dia gak mungkin ada di sini. Tampaknya kau benar-benar harus tidur, Mars."

Malam semakin larut, tetapi Mars tidak dapat terlelap dengan tenang. Pikirannya melayang ke mana-mana. Mulai dari siapa yang menghajarnya sampai babak belur, mengenai Kinar yang menyelamatkannya, hingga Karang.

"Dipikir-pikir lagi, udah lama banget aku gak ketemu dengan Karang. Sekarang dia ada di mana, ya? Dia gak muncul saat perpisahan sekolah dulu." Pertanyaan yang keluar dari mulut Mars tentunya tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Hanya embusan angin dingin yang masuk dari celah-celah lubang udara yang memecah keheningan malam itu.

***

"Tidurnya nyenyak?" Kinar bertanya di sela-sela makannya.

"Menurutmu, penampilanku merupakan orang yang tidur dengan nyenyak?"

Tawa Kinar sontak pecah. Dibandingkan tidur nyenyak, Mars lebih terlihat seperti zombie dengan kantung mata menghitam. "Apa, sih, yang kamu pikirkan sampai gak bisa tidur begitu?"

"Tentang siapa yang menghajarku sampai babak belur begini. Juga, apakah tadi malam kamu masuk ke kamar yang aku tempati?" Mars bertanya penuh selidik. Salah satu alasan mengapa ia tidak bisa tidur ialah karena Kinar.

"Hah, kenapa juga aku masuk ke kamarmu? Kau mungkin bermimpi atau berhalusinasi."

"Mungkin, tapi aku merasa ada seseorang yang masuk ke kamar itu."

"Lupakan saja. Kamu pasti bermimpi." Kinar berucap acuh tak acuh pada pria itu.

Mereka kembali melanjutkan makan. Sampai sarapan pagi itu selesai pun, tidak ada yang mengobrol dan memilih larut dengan pikiran masing-masing.

"Kamu sebaiknya istirahat. Aku harus ke rumah sakit, menjenguk ibuku," kata Kinar setelah selesai mencuci piring.

"Bukankah berisiko meninggalkan orang asing di rumah sendirian? Aku bisa saja mencuri sesuatu di rumah ini." Mars berucap heran. Bagaimana bisa Kinar menaruh rasa percaya yang begitu besar pada orang asing sepertinya?

"Silakan jika kamu ingin mencuri barang-barang yang ada di rumah ini, tapi satu yang harus diketahui adalah, di rumah ini gak ada yang berharga. Ada, sih, itu, TV dan kulkas, tapi TV-nya jadul dan kulkasnya juga besar. Kamu akan langsung ketahuan oleh warga. Belum lagi dengan kondisimu yang belum sepenuhnya pulih. Kamu gak akan bisa banyak bergerak," tukas Kinar memberikan penjelasan.

"Ternyata kamu kritis juga."

"Tentu saja." Kinar membalas bangga. "Aku pergi sekarang. Jangan melakukan hal-hal yang berbahaya seperti membakar rumah atau yang lainnya. Jika ingin jalan-jalan di sekitar gak masalah, asal jangan jauh-jauh. Lebih baik sekitar rumah ini aja atau kamu akan tersesat. Aku yang repot nantinya."

"Iya, iya. Kenapa perempuan selalu saja cerewet? Aku tahu apa yang harus kulakukan." Mars membalas sambil memutar malas bola mata.

"Cerewet demi kebaikanmu. Jangan lupa, ya, kalau aku ini dewi penyelamatmu. Sebaliknya jangan macam-macam atau kulempar kamu kembali ke sungai."

"Iya, iya."

Kinar pamit pergi setelah dirasa aman meninggalkan Mars seorang diri di rumahnya. Meskipun hanya saling tahu nama saja, tetapi interaksi antara keduanya terlihat seperti dua orang teman lama yang kembali bertemu.

Mars menjelajahi rumah sederhana itu lebih jauh sambil memperhatikan apa saja yang ada di rumah tersebut. Beberapa perabotan dan alat elektronik tertata rapi di rumah sana. Namun, ada satu hal yang membuat Mars merasa aneh.

"Apa setiap rumah sederhana seperti ini gak punya foto keluarga? Bahkan foto pribadi pun gak ada. Apakah Kinar dan keluarganya gak suka berfoto atau gak punya uang untuk mencetak foto?" tanya pria itu dengan tangan terlipat di depan dada.

Netra Mars diarahkan pada dua pintu yang yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. "Aku gak mungkin, kan, masuk ke kamar orang lain dan menggeledahnya? Hanya untuk mencari foto keluarga Kinar?"

"Setiap orang berbeda. Mungkin Kinar dan keluarga memang gak suka berfoto. Aku sebaiknya jalan-jalan sebentar dan menggerakkan otot-ototku." Monolog Mars lalu melangkah keluar meninggalkan kediaman Kinar.

Bersambung...

Sunshine HurricaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang