1. Prolog

83 29 16
                                    

Di atas gedung terdapat seorang gadis yang berumur baru 16 Tahun. Dia berdiri di area pembatas dan ingin melakukan tindakan bunuh diri.

Keadaannya sangat kacau sekali, air mata itu terus mengalir deras tidak ada niatan untuk menghentikannya. Dia begitu lelah menghadapi hidupnya.

Bagaimana tidak?

Orang tuanya bahkan tidak pernah sekalipun memberikan sedikit rasa kasih sayang yang dia dambakan dari kecil, tidak! Semenjak kejadian itu.

Dia terus mendapatkan kekerasan secara fisik maupun mental. Dia bisa saja melawan mereka tapi rasa sayangnya itu begitu besar sehingga tidak ingin melawan.

Dia Alana Fanci.

Gadis yang tidak seberuntung adiknya, Fiona. Yang selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa.

"Ma... Pa... Setidak begitu beartikan diriku ini?" bibirnya bergetar.

Hatinya sakit.

Orang tuanya benci dirinya karena dulu pada saat itu Alana dan Fiona sedang bermain di atas rootfoot rumah bersama dengan kakak laki-lakinya.

Mereka bermain kejar-kejaran, dan Fiona tertangkap dan berniat mendorong kakaknya pelan agar ia tidak tertangkap. Sehingga kakak laki-lakinya terjatuh dari lantai atas dan berakibat fatal.

Semenjak kejadian itu, Fiona malah menuduhkan kepada Alana. Pada saat itu juga semuanya berubah drastis, keluarga mencap Alana sebagai pembunuh Gilang.

Alana kecil terus menjelaskan kronologinya, sayang sekali tidak ada satupun yang percaya. Alana kecil di pukul, di tampar, di kurung berhari-hari, dan tidak makan selama 3 hari.

Dia menderita. Kebahagiaan itu punah dalam sekejap.

"Alana bukan pembunuh, tapi Fiona Ma... Pa...,"

"Alana capek, Alana mau ikut kakak aja supaya kalian senang,"

"Sakit Ma... Pa... Sakit, selain kalian yang buat Alana menderita, Alana juga menderita penyakit kanker stadium akhir,"

"Alana mau mengakhiri semuanya dengan cepat supaya kalian bisa tenang tanpa hadirnya pembunuh ini,"

"Dan kalian juga berharap kalau Alana mati 'kan?"

"Saat ini juga, Alana Fanci akan mengabulkannya. Kalian pasti bahagia," ia tersenyum.

"Papa... Mama...," Alana memejamkan matanya, ia pun mengambil satu langkah ke ujung rootfoot.

Alana menghirup napasnya dalam-dalam. Dan iapun terjun bebas dari sana.

Ia berkata. "Alana sayang kalian, dan Alana bukan pembunuh!"

Tubuhnya menghantam aspal, tulang-tulangnya remuk serta darahnya berceceran.

Arcelia AurettaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang