Penemuan tubuh Nugroho pagi itu membuat gempar seisi SMA Pertiwi 7. Nia, salah satu teman Nugroho yang mengetahui hal ini dari Sandy terlihat pucat dan berubah menjadi pendiam tak lama setelahnya. Sandy yang melihat hal itu itupun mencoba menanyakan apa yang terjadi. Tapi sayang, tak ada sepatah katapun dari Nia dan kemudian beranjak pergi. Mungkin bisa di mengerti apa yang ada di pikiran Nia mengingat dua kejadian naas itu terjadi dalam jangka waktu yang dekat. Apalagi Andini dan Nugroho adalah teman sepergaulannya bersama yang lain.
Hari itu jam sekolah di liburkan dan para siswa di izinkan untuk pulang lebih awal. Tapi nyatanya, masih ada beberapa siswa yang tinggal untuk mengikuti pelajaran ekstrakurikuler. Klub theater yang di ikuti oleh Nia pun terlihat cukup ramai dengan beberapa siswanya. Mereka berbincang tentang kegiatan klub mereka yang akan mengikuti kontes opera. Ada juga yang membicarakan tentang kejadian pagi tadi. Tapi di antara mereka, terlihat Nia duduk lemas terdiam dengan wajah pucatnya. Terdengar bunyi dering ponselnya dan dengan terlihat lemas, Nia pun mengambil ponselnya kemudian menjawab panggilan tersebut.
“Iya halo Rey…” Jawab Nia
“Hei. Kamu lagi dimana? Jadi nemenin aku kan nanti?”
Nia terdiam sesaat sambil melihat ke arah depan.
“Maaf ya Rey, kayaknya aku gak bisa. Aku ngerasa lagi gak enak badan. Jadi abis latihan theater ini aku langsung pulang ke rumah. Maaf banget ya…”
“Ohhh… ya udah kalo gitu, jangan lupa makan sama minum obat ya.”
“Iya… Daah..” Jawab Nia kemudian menutup panggilan tersebut.
Selang beberapa menit kemudian, dia beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke teman-temannya. Mencoba berbaur untuk mengetahui pementasan yang akan dilakukan, Nia mencoba untuk menyembunyikan keadaannya hingga penasehat klub theater yang biasa di sebut Pak Ken itu datang menghampiri Nia dan meminta tolong kepadanya untuk mengambilkan beberapa barang properti klub di gudang yang berletak di gedung tua. Dengan agak ragu-ragu, Nia menyanggupinya dan dengan langkah perlahan dia pergi ke area gedung tua tersebut. Langkah-langkah kecilnya terdengar cukup nyaring di lorong gedung tua tersebut. Walaupun masih ada beberapa petugas polisi yang berada di sana untuk mengolah ulang tkp, Nia mengambil jalan berputar untuk ke gudang dan menghindari lorong yang menjadi tempat mengerikan baginya. Sempat terbesit di pikiran Nia tentang cerita Aliriza kemarin, dia berpikir mungkin apa yang di ceritakan oleh Aliriza itu mungkin saja benar-benar terjadi dan benar-benar menghantui gedung tua ini. Belum selesai apa yang di pikirkannya itu, tanpa sadar dia sudah sampai di area gudang itu.
Angin sepoi yang berhembus dan suara dedaunan yang terseret oleh angin itu menambah rasa takut Nia. Mencoba untuk berpikir positif, dia mengambil langkah cepat melewati deretan toilet yang ada di samping kirinya dan kemudian sampai di depan gerbang gudang yang menjadi tujuannya. Dia mengeluarkan kunci gerbang yang di pinjamkan oleh Pak Ken dan membukanya. Dengan terburu-buru, dia langsung mencari barang yang di maksud oleh gurunya itu. Setelah beberapa menit mencarinya, dia menemukan sebuah kardus yang berisikan barang-barang properti theater itu. Tanpa memperdulikan debu tebal yang ada di kardus itu, Nia langsung mengangkatnya dan keluar kemudian mengunci lagi gerbangnya. Belum sempat dia menguncinya, dia terhenti dengan wajah memucat. Entah apa yang di pikirannya saat ini, tapi apa yang telinganya dengar tak bisa membohonginya.
“krrrrrrkkk….. krrrrrrrrkkkkkk….”
Kepanikan menghantui nia, sambil tergesa-gesa dia kembali mencoba mengunci gerbang tersebut. Setelah berhasil, sambil mengangkat kardus properti Nia pun mengambil langkah cepat untuk meninggalkan tempat tersebut. Tapi untuk kedua kalinya dia terhenti.
“grrrrttttt……grrrrttttt……ggrrrttttt….”
Terdengar jelas di telinganya, suara gesekan tersebut. Nia mengetahui jelas suara apa itu. Dengan tubuh yang gemetaran, dia mencoba menoleh untuk melihat. Perlahan, dia menolehkan kepalanya ke samping kanan. Tapi sesaat sebelum dia melihatnya, dia merasakan sesuatu terhempas ke arahnya. Tersentaknya Nia dan jatuhnya kardus yang di pegangnya memecah kesunyian untuk sesaat. Pandangan matanya kosong, kaki yang terlihat berat untuk di angkat itu secara perlahan berjalan kembali, bukan ke gudang tapi ke arah rentetan toilet yang ada di depannya. Tanpa ada apapun, tiba-tiba pintu toilet yang berada di ujung jauh itu terbuka. Tetap dengan pandangan kosongnya, tubuh Nia berjalan mendekati toilet tersebut dan masuk kedalamnya. Kegelapan seakan menjadi satu di dalam toilet tersebut. Berdiri tepat di tengahnya, kepala Nia menengadah ke atas dan pintu toilet itupun tertutup secara perlahan yang hanya meninggalkan angin yang berhembus di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven
Short Story8 manusia mencoba mengungkap enam misteri di sekolahnya. Tapi tanpa mereka sangka, mereka justru mengungkap misteri ketujuh yang tabu...