"Manusia memang selalu lupa bahwa perpisahan tidak memiliki sifat belas kasih. Tak peduli seberapa dekat, seberapa lama, seberapa cinta atau seberapa berharga nya seseorang dalam hidup, perpisahan akan tetap menyapa. Entah dalam bentuk kematian atau satu dari sekian permasalahan hidup yang mengundangnya untuk datang. Tapi yang pasti, perpisahan selalu datang bersama alasan, entah alasan tersurat maupun tersirat, entah alasan yang mampu terucap atau bahkan yang sama sekali tak bisa terungkap. Semua bentuk perpisahan itu menyakitkan, sekali pun dirayakan dengan tawa riang, percayalah bahwa di dalam dada masing-masing insan, mereka dibuat sekarat oleh perasaan kehilangan."
-----oOo-----
Aku di sini. Meringkuk di bawah selimut dengan tangis tanpa suara. Ini adalah hari ketiga setelah aku memutuskan hubunganku dengan Varrel secara sepihak. Sejak hari itu, aku tak membiarkan Varrel menemuiku, aku belum siap mendengarkan ribuan alasan yang akan ia lontarkan, aku sedang tidak ingin berpura-pura. Di kamar ini, aku memutuskan untuk menangis sepuas, sekuat dan semampu yang ku bisa, sebelum menghadapi Varrel, aku harus menyelesaikan episode sedihku, sendirian.
'Tok! Tok! Tok!'
"Dek... Makan dulu, bunda udah siapin sarapan tuh, nanti keburu dingin." Kali ini suara Kak Jeffrey, nadanya terdengar lembut namun tersirat kekhawatiran di sana. Ini sudah ketukan kesekian yang ku abaikan. Ayah dan bunda, tentu saja mereka juga tak lelah bolak-balik ke lantai atas dengan harapan aku mau membuka pintu kamarku.
Aku tak meresponnya. Kak Jeffrey baru satu kali datang, namun tidak seperti bunda dan ayah yang walaupun berkali-kali datang tetap berakhir nihil, aku mendengar suara kunci yang diputar, Kak Jeffrey berhasil membuka pintu yang sejak seharian ini tertutup rapat, ia memiliki kunci cadangan kamarku-entah darimana- laki-laki jangkung itu sempat mematung beberapa saat, mencoba beradaptasi dengan suasana kamarku yang gelap, dingin dan seolah tak berpenghuni. Kak Jeffrey menyalakan lampu tidur di samping kasurku, kemuning cahayanya rupanya mampu menyebar hingga menampakkan wajahku yang terlihat berantakan walau tertutup anak-anak rambutku yang mulai memanjang. Kudengar hela napas Kak Jeffrey yang nampak berat, ia duduk di tepi ranjang, mengulurkan tangannya untuk mengusap pucuk kepalaku.
"Kenapa sih, Dek? Kamu nggak mau cerita sama kakak, hm?" Tanyanya, masih setia menunggu penjelasan atas sikap anehku dua hari yang lalu. Sementara aku hanya geming, tak merespon seolah pertanyaan itu dilayangkan untuk diabaikan.
"Kamu pulang dalam keadaan nangis, udah gitu diantar sama laki-laki yang nggak kakak kenal. Iya kamu bilang dia temanmu, t-tapi yang jelas dia bukan teman sekelas, kan? Wajahnya asing dan nggak ada alasan buat kakak nggak curiga sama dia." katanya dengan terbata.
"Terus nggak lama Varrel dateng, dia bilang mau bicara sama kamu. Dia keliatan panik banget, pasti kalian lagi ada masalah, kan? Walau pun Varrel bilang nggak ada yang perlu kakak, bunda dan ayah khawatirin tapi tetap aja, ngeliat kamu nggak keluar kamar seharian itu cukup buat menepis kata-kata Varrel, iya, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MAROON [Lai Guanlin]
Fanfiction"Maroon, mengapa orang lain memandangmu begitu rendah? Sedang di mataku kau nampak begitu indah." "Kau tau? Mungkin aku terlalu mencintaimu, hingga aku tak menemukan dimana orang-orang melihat kekuranganmu." -Almaira Rainsky Nayanika Start : 5 Febru...