Pertemuan

14 0 0
                                    

Hari ini adalah pembagian raport sekaligus pengumuman kelulusan dengan nilai terbaik. Mamah, Papah, dan Bang Eza datang ke sekolahku. Mereka sangat antusias dan berharap aku bisa menjadi lulusan terbaik tahun ini, aku pun sebelumnya sudah belajar mati-matian untuk mendapatkan penghargaan itu. Hidupku setiap harinya hanyalah belajar, belajar, dan belajar.

Saat tiba waktunya pengumuman kelulusan dengan nilai terbaik akan diberitahukan, perasaanku menjadi tak karuan, badanku keringat dingin, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Dan saat nama itu disebutkan, ternyata bukan namaku yang dipanggil. Ternyata yang menjadi lulusan terbaik tahun ini adalah Zio Perwira, anak dari saingan bisnis Papahku sekaligus anak dari musuh Mamahku. Perasaanku langsung hancur. Setelah acara selesai aku segera pulang dengan keluargaku.

Sesampainya di rumah, aku langsung dimarahi oleh Mamahku karena tidak bisa menjadi lulusan terbaik di SMP Merah Putih tahun ini.

Tanganku ditarik kencang oleh Mamahku saat turun dari mobil dan langsung dibawa masuk ke dalam rumah secara paksa.

"Kamu punya janji kan sama Mamah?" Mamah membentakku. Aku hanya bisa menunduk tak berani untuk melihat Mamahku yang sedang marah.

"Kamu masa kalah sih sama Zio? Masa kamu kalah sama anak Tante Ratna? Kamu tahu kan Tante Ratna itu musuh Mamah? Mamah malu nanti kalau ketemu dia di kumpulan arisan, pasti dia bakal menyombongkan anaknya dan mengejek Mamah." Tante Ratna adalah musuh Mamahku, padahal dulunya mereka adalah sahabat dekat, namun ada masalah yang membuat hubungan mereka menjadi buruk.

Aku hanya bisa menangis, mendengar Mamahku berbicara seperti itu membuat hatiku teriris-iris. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan harapan Mamahku.

"Maaf, Mah." Hanya itu yang bisa ku katakan saat ini.

"Kamu contoh dong Kakak kamu, dari SD sampai lulus Sarjana, dia selalu menjadi lulusan terbaik. Masa kamu kalah sama Kakak kamu." Ucap Papah yang ikut memarahiku.

"Nay sudah belajar mati-matian, Mah, Pah. Kalian tahu kan Nay pulang sekolah langsung les, malamnya juga Nay belajar lagi, ya mungkin kemampuan Nay cuma bisa dapatin juara 1 di kelas. Seharusnya itu sudah cukup, yang penting nilai Nay enggak ada yang buruk, Mah, Pah." Ucapku dengan suara gemetar.

"Justru Mamah sudah membiayai sekolah kamu yang mahal, biaya les kamu juga mahal, semua fasilitas kamu pun tercukupi, tapi semua nggak ada hasil. Percuma kamu sekolah di sekolahan mahal kalau hasilnya begini."

Tangisanku semakin deras, perasaanku semakin hancur. Mereka tidak melihat bagaimana usahaku untuk mewujudkan semua keinginan mereka.

"Nay nggak pernah minta sekolah di sekolahan mahal, itu semua keinginan Mamah. Nay tahu, Nay nggak sehebat Bang Eza, Nay nggak sepintar Bang Eza, Nay nggak bisa banggain Mamah sama Papah, tapi kalian bisa nggak hargain sekecil apapun hasil dari apa yang sudah Nay perjuangin? Nay capek, Mah, Pah harus selalu menuruti semua keinginan kalian."

"Kamu pikir Mamah sama Papah nggak capek cari uang buat membesarkan kamu dari lahir sampai sekarang ini?" Ucapan Mamahku sudah benar-benar menyakiti perasaanku.

"Nay nggak pernah minta dilahirin di keluarga ini, Nay nggak pernah minta untuk Mamah menjaga Nay dari awal kehamilan sampai kelahiran. Kalau memang kalian sudah capek mengurusi Nay, lebih baik Nay pergi saja." Aku pun langsung berlari keluar dari rumah. Aku sudah benar-benar tidak tahan mendengar semua caci maki dari mereka.

Aku tidak tahu harus pergi kemana, tak punya tujuan, tak punya tempat untuk pulang. Aku hanya bisa berdiam di tempat ini, di Taman tempat biasaku untuk menyendiri melepas semua kesedihanku.

"Tuhan, Nay capek hidup seperti ini, Nay capek selalu dituntut untuk menjadi anak yang sempurna. Kapan penderitaan Nay berakhir, Tuhan? Rasanya Nay ingin mati saja." Ucapku berteriak.

Semua Aku  DirayakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang