Paper 6

2.1K 103 2
                                    

Semenjak kejadian Bladen menangis di hadapan Auren, Bladen jauh lebih banyak bicara dengan temannya itu. Walau belum sedikit terbiasa tapi dia selalu berusaha. Rasanya sulit untuk membuak diri lagi semenjak ia berpisah dengan kedua sahabatnya di Jerman.

Auren memang tidaklah sama dengan kedua sahabatnya dulu, tapi yang ia rasakan perempuan tulus mau menjadi temannya. Merasa diterima dan diperhatikan Auren membuat Bladen setidaknya mengenal kehangatan yang sudah lima tahun lalu dirasakannya.

Begitu pula dengan Auren, dirinya sangat senang mengenai fakta bahwa Bladen sudah mau mulai membuka dirinya perlahan demi perlahan. Baginya seperti ini saja cukup. Selama ini pula dia tidak pernah memiliki teman yang benar-benar mau menemaninya. Hanya Orion dan teman segengnya saja yang kadang suka menghampirinya tanpa sebab. Walau sebenarnya Auren senang dengan kenyataan itu, tapi tetap saja dia tidak pernah merasa menjadi bagian dari mereka.

Sudah dua bulan berlalu dan keduanya semakin dekat. Tak jarang Auren menginap di tempat Bladen, begitu pun sebaliknya. Saat ini Bladen banyak tersenyum tidak seperti pertama kali perempuan itu datang ke sekolah. Tentu tanpa ia sadari, semua perubahan itu selalu diperhatikan oleh satu laki-laki. Ya, laki-laki yang sama. Lelaki yang selalu menatapnya intens, Arfon.

"Bladen, gue hari ini balik duluan, ya? Soalnya gue musti nemenin nyokap gue ke nikahan," ucap Auren yang memanyunkan mulutnya sedih karena dirinya tak bisa pulang bareng dengan temannya itu.

Biasanya keduanya akan pergi ke suatu tempat terlebih dahulu, sebelum benar-benar pulang bersama. Maka arti pulang bareng adalah bermain bersama menurut Auren. Di sisi lain, Bladen yang tahu akan hal itu hanya mengangguk saja.

"Gak pa-pa. Lagian ini bukan pertama kalinya gue pulang sendiri tanpa main dulu."

Perkataan Bladen itu membuat Auren semaki cemberut.

"Jadi, lo gak bakal kangen sama gue?" tanyanya sedih membuat Bladen menatap temannya itu horor.

"Gak usah lebay. Geli tau gak sih, ren!" ujar Bladen dengan wajah gelinya membuat Auren tertawa.

Auren pun langsung mengambil tasnya dan menggendong tas sekolahnya.

"Okay deh, beb. Gue pulang cantik dulu, ya!" ucapnya sambil melemparkan beberapa kiss bye. Hal membuat Bladen geleng-geleng kepala dan tersenyum geli saja.

Temannya yang satu itu selalu terlihat manja dan pemalu. Perempuan aneh kedua yang pernah ia temui setelah Carrah. Akhirnya, setelah semua segala peralatan sekolahnya masuk ke dalam tas, ia langsung beranjak dari kelas yang mulai sepi untuk pergi ke parkiran tempat ia biasa di jemput.

Sesampainya di tempat parkiran tempat ia biasa di jemput, Bladen mulai mengeluarkan ponselnya untuk memberitahu pak Yudi bahwa dirinya telah pulang. Namun belum sempat telponnya di jawab, motor sports berwarna hitam berhenti di depannya. Hal itu membuat dirinya mau tidak mau sedikit memundurkan tubuhnya ke belakang.

Tak dihiraukannya motor dan orang yang berada di atas motor itu. Ia tetap fokus menunggu pak Yudi menjawab. Tapi sangat disayangkan telponnya sama sekali tidak dijawab. Bladen akhirnya mulai kesal dan memberi pesan bahwa dirinya sudah pulang ke nomor yang sama sebelumnya.

"Kenapa? Enggak ada yang jemput?" tanya seorang laki-laki yang saat ini tengah membuka helmnya itu.

Tentu Bladen langsung menengok ke arah laki-laki itu dan yang ia dapatkan adalah wajah laki-laki yang selalu membuatnya rishi dan kesal setiap kali melihatnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Bladen acuh tak acuh yang membuat laki-laki tersenyum geli.

Baginya wajah jutek Bladen saat ini malah terlihat lucu dibanding pertama kali ia bertemu dengan perempuan itu. Ya, selama dua bulan ini dirinya selalu memperhatikan perempuan itu tanpa ia sadari. Bahkan ia rela jalan memutar setiap istirahat hanya untuk melewati taman yang biasanya menjadi tempat perempuan itu ada bersama Auren.

Different Girl ✔ (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang