Hangat

1 0 0
                                    

Tebaran tawa yang mengalun begitu tinggi. Hanya ada wajah bahagia. Bahkan daging yang menggosong di atas panggangan tak melunturkan senyum salah satu dari kita.di langit hitam dan angin dingin ini.

Tak ada diantara kita yang mengeluh. Hanya kehangatan dari api dari pemanggang mengusir rasa dingin. Menggosip hal-hal yang baru saja terjadi. Lalu tertawa mengingat pertemua pertama kita. Tertawa keras karena aku kepedasan sampai menangis.

Kita tertawa begitu keras sampai lupa waktu dan orang tua menegur untuk tak terlalu berisik. Kita meminta maaf dan menahan tawa selama beberapa detik. Diantara kita berlima mencoba diam. Namun, apa mungkin bagi kita berlima yang berkumpul untuk tetap diam saja?

Tawa kita pecah lagi. Seakan tak akan ada yang mengganggu. Seakan-akan tak memiliki beban sedikit pun.

Kita berlima membicarakan banyak hal sampai atmosfer beralih ke lebih serius. Kita berlima mulai membicarakan masa depan. Keinginan kita, perguruan tinggi yang kita inginkan, dan ingin menjadi apa. Pembicaraan mulai bergeser ke pernikahan dan target umur untuk menikah.

Pembicaraan itu membuatku merasa hampa. Aku mulai mempertanyakan apakah kita akan kembali bersama seperti ini. Mereka menjawab bahwa mereka pasti akan sering bermain bersama lagi. Hanya saja perasaanku ragu. Entah kenapa aku tak percaya omongan mereka. Padahal mereka adalah orang yang paling kupercayai di dunia.

Waktu terus berjalan dan kami meraih impian kami masing-masing. Ada diantara kita yang gagal dan ada juga yang berhasil. Begitu juga denganku yang berjalan sendirian diantara kebingungan ini. Perasaan yang tak terbayang muncul.

Perasaan kalut dan kebingungan yang tak berujung. Aku seperti berjalan di jalan yang lurus yang tak berarti. Apakah seharusnya aku mulai belok di gang itu, atau aku tetap berjalan lurus seperti yang seharusnya. Tak ada tempat untuk bersandar.

Baru kusadari bahwa aku sudah terjebak di balik tembok kesendirian. Aku tak bisa mempercayai siapapun lagi. Termasuk mereka yang dulu kupercayai. Dadaku terasa sesak tanpa sadar.

Ingin kupotong nadiku. Ingin kubekap mulutku sendiri. Ingin kuhancurkan kepalaku dan seisi otaknya. Apakah akan ada yang menangis jika aku melakukannya sekarang.

Pada akhirnya aku sendirian di sini. Menanggung rasa sakitku sendiri. Aku lupa bagaimana caraku tertawa dengan lepas. Semuanya terasa perih bagiku. Hatiku seperti penuh luka dan darah sampai itu semua menghitam.

Aku sendirian dan menganggap mereka semua tidak mengkhawatirkanku. Di dalam ruangan yang gelap ini aku jadi semakin merasa sepi. Kunyalakan api itu. Diantara dingin yang kurasakan hanya api kecil itu lah yang menemaniku.

Kurebahkan diriku. Entah sejak kapan api yang kecil itu menjadi besar. Perlahanmemelukky yang sedang tidur di ranjang. Kepada Api yang membara, kuucapkan terima kasih karena telah memelukku dengan penuh kehangatan di akhir hidupku.

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

*

#YangAbadidalamKata #EventSenandikaWMM #Day3

Kalimat yang tak sempat kuucapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang