1

2.2K 41 6
                                    

1

Umurku 12 tahun ketika aku melihat ibuku duduk di sebuah etalase. Ukurannya 2meter ke atas dan 2meter ke samping. Terdengar menggelikan ketika aku tahu peti mati hanya berselisih sedikit dari ukuran itu. Hanya saja, mengerikan jika permukaannya terbuat dari kaca, jika kita bisa melihat tubuh yang warnanya pucat berbaring di sana. Apalagi matinya karena musibah.

Umurku 12 tahun ketika aku mendekati sisi depan kaca tebal itu. Ibuku membungkuk, sehingga aku dapat melihatnya lebih jelas, tapi aku tak merasakan nafasnya menyapu wajahku. Seperti yang ia lakukan setiap hari, jika akan mencium keningku, atau akan memarahiku.

Setelah hari itu, aku semakin sering datang. Biasanya sepulang sekolah, jam 12 siang. Ibu bilang harus mengganti baju dulu baru boleh datang. Agar tak ada orang yang boleh bertanya anak siapa, sekolah di mana dan, mengapa ada di sana.

Aku sudah biasa mendengar gunjingan orang-orang. Bicara soal lengkungan payudara ibu. Mereka bilang ingin bergantungan di sana.

Aku jadi ingat seekor monyet. Satu yang berwarna putih dan yang satu abu-abu saat study tour ke kebun binatang. Aku langsung bercerita waktu itu, kubilang apa pohon punya payudara?

Ibu Guru lalu bertanya, "Memangnya kenapa?" Esoknya ia memanggil ibuku ke ruangannya.

Ibuku mendengarkan, mengangguk. Aku duduk di sebelahnya, aku tahu ibu mencubiti pahanya hingga biru tua. Warna yang selalu ada di langit subuh. Saat ibu pulang bekerja.

Aku sudah biasa mendengar apa yang tak didengar ibu. 3 orang lelaki bilang ibuku paling cantik. Sore itu mereka bermain hom-pim-pa. Jika menang boleh menolak patungan. Jika menang boleh jadi yang pertama. Atau boleh juga melakukannya bersama-sama.

Aku iseng tanya, "Om, bisakah ibu punya suami tiga?"

Mereka bilang, "Tak apa karena perempuan lobangnya ada tiga."

Aku belum juga mengerti, tapi aku setuju. Kupikir kalau hanya satu maka percuma punya 3.

Suatu pagi, ibuku pulang dengan gembira. Aku digendongnya, disuapinya. Aku tanya, "Kenapa tiba-tiba?"

Ibu membuat sudut dengan bibirnya, katanya aku akan punya bapak secepatnya. Aku bingung, tapi ikut senang. Karena senyum artinya senang. Sejauh itu jika aku bertanya, ibu selalu bilang kawin dan kawin artinya punya suami. Begitu suami ibu ganti tiap hari, barulah hari ini aku tahu istilah 'bapak'.

"Apa bapak baik?"

"Ya."

"Apa bapak pintar?"

"Ya."

"Apa bapak pemarah?"

"Ya."

Dan secepatnya biru di paha ibuku pindah ke lengannya. Ke pundaknya, ke punggungnya.

Tapi syukur kata ibu, ia tak harus berenang di etalase lagi; ada bapak yang cari uang.

"Apa bapak seekor ikan seperti ibu?"

"Tidak. Bapak seorang pengusaha. Kerjanya berusaha."

Bapak pergi pagi, biasanya pulang dua hari lagi. Maka belum setahun, bapak bisa bikin rumah dengan 2 lantai, 10 kamar, 2 halaman dan 1 adik lelaki.

Sejak itu aku tidur sendiri. Sebab 'ibu' dan 'bapak' hakikatnya sekamar berdua. Adik kecil aku yang layani, kata ibu belajar jadi istri. Makan, popok, dan cuci baju. Sampai adik umur 2, nampaknya bapak lupa jalan pulang.

"Jangan ditunggu lagi," kata ibu. "Apa yang bisa di harapkan dari lelaki yang memilih istri dari etalase toko bordil?"

Aku belum paham. Tapi umurku sudah 15. Bapak tidak pulang. "Artinya bapak mati. Apakah bapak masuk peti?"

"Iya. Peti itu namanya rumah tangga, istri tua dan anak dua."

"Tepat," kataku. Maka tidak ada lagi yang akan memindahkan warna biru ke selangkanganku.

"Apa ibu akan kembali ke etalase?"

"Ya. Tapi kita sudah punya rumah. Rumah tak bisa dimakan, tapi bisa jadi etalase baru."

"Apa ibu senang?"

"Ya."

"Apa ibu merasa cukup?"

"Tidak. Sejak bapak pergi ibu jadi sendiri."

Aku mengangguk. Setelahnya kami tak pernah mengobrol lagi.

Umurku 17, ketika aku merasa paham bahwa cinta adalah sebuah kebetulan. Seorang lelaki datang ke rumah, di jari tangan kanannya terselip rokok, di tangan lainnya sebuah dompet kulit dengan beberapa lembar uang yang seperti tak sabar ingin dibebaskan.

Ibu mengajaknya berkeliling rumah. Boleh memilih siapa pun yang dia mau kecuali aku. Lelaki itu bilang, "Iya."

Tapi matanya melintasi mataku. Aku menunduk malu. Mungkinkah ia tertarik padaku melampaui gadis lain yang lebih dewasa, lebih pandai bersolek dan lebih manja?

Sampai langit berubah warna, ia pulang tidak bawa apa-apa. Tidak rokok yang terselip di antara jari, hanya dompet kulit yang kini terselip di kantong belakang celananya. Dengan jumlah yang masih utuh.

Ibu bilang, "Mana mungkin aku memberikan kamu padanya!?" Ia memaki dengan kata 'anjing' dua kali.

Aku ingin mengerti, "Kenapa ia tidak boleh memilihku?"

Ibu mengeja wajahku, kali ini agar aku mengerti. "Kamu itu anakku. Susah payah aku menjagamu sampai sebesar ini. Susah payah aku menabung untukmu selama ini, bukanlah untuk membuka pangkal kaki." Ibu kemudian pergi. Mulutnya penuh dengan keluhan, sehingga aku khawatir ia bisa tersedak kapan saja.

Aku tahu, Ibu ingin yang terbaik untukku. Ibu ingin ini dan itu. Tapi belumlah ia tahu, Bapak pernah menggagahiku sekali dulu. Mimpinya tentang anak gadis yang terhormat, sudah kukubur sejak saat itu, tanpa ia tahu.

Suatu hari, ketika ibu duduk di belakangku. Menyisir rambutku seperti setiap malam yang pekat. Seusai ia bermain dengan payudara dan kemaluanku. Ia berujar dengan suara tercekat. "Anjing itu datang lagi. Ia begitu menginginkanmu."

"Aku sejak dulu ingin memelihara seekor anjing," kataku.

Ibu berhenti menyisiriku. Katanya, "Tunggulah aku mati dulu, baru kuserahkan anak gadisku." Aku paham ibu sedang emosi. Dalam hati aku berdoa ia cepat mati.

Umurku 19 tahun hari ini. Dari cerobong kayu di rumah duka, asap mengepul dengan bau daging manusia. Ibu telah mati. Tinggal aku dan adik lelaki saja. Dengan rumah etalase yang mulai ditinggalkan. Temboknya sudah kotor, atapnya sudah bocor.

Semua orang sibuk menandur dosa dan sperma. Tapi lupa kalau rumah seperti tubuh, butuh dirawat dan diperdulikan. Demikianlah yang ibu tinggalkan, sebuah rumah yang tak bisa dimakan dan seorang adik lelaki.

Senang rasanya kini boleh memelihara seekor anjing, tapi terakhir kali ibu mengusir, ia tak lagi hadir. Aku pun sudah tak lagi menunggu, aku percaya cinta mungkin tidak ada.

"Kak, sudahkah waktunya pulang?" Adikku tanya.

Aku iyakan saja. Umurnya 6 ketika ibu tak ada. Umurnya 5 ketika ibu tak ada. Umurnya 4, 3, 2, dan 1. Ibu memang tak pernah ada baginya. Sementara bapak, apa itu bapak baginya? Ia pasti sudah lupa wajahnya.

"Iya, sudah waktunya pulang," kataku.

"Ibu?" tanyanya berharap.

"Tidak. Apa yang kamu tahu soal ibu?"

3. Cerita Etalase dan Tempat Tidur GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang