19

308 23 0
                                    

19

Sebulan lagi Lanang akan mulai sekolah. Dan mendaftar sekolah bukanlah semudah menjejal uang ke gedung dengan papan nama terhormat itu saja. Aku sudah pernah mendengar bahwa semua hal yang kita inginkan tentu memiliki syarat. Kali ini, akta kelahiran.

Meski tercipta dari proses pembuahan kromosom X dan Y, Lanang sudah tak punya ibu. Lanang tidak punya bapak. Ia hanya punya aku. Jadi, akulah yang harus mengurus semuanya. Setelah lama berpikir, akhirnya aku mendapat ide yang bagus luar biasa.

Idenya kusesuaikan dengan kemampuanku saja. Tidak terlalu rumit, hanya butuh rasa tak tahu malu. Syukurnya, sudah lama aku dicap sebagai perempuan tak tahu malu dan tak punya harga diri.

Aku hanya perlu menemukan seorang lelaki yang dapat membantuku mencari akta kelahiran untuknya. Bagaimana caraku? Tentu aku akan datang ke gedung kantor catatan sipil Purasabha. Di sana ada banyak ruangan yang dipisahkan menurut jabatan dan bidangnya. Seperti sebuah istana dengan banyak kastil di dalamnya. Aku akan menemukan seorang lelaki dengan mata tajam seperti elang. Tak berhenti menggodaku, tak berhenti menatapi garis halus di antara kancing bajuku.

Lalu aku akan menawarkan diri sekalian. Dengan jalan itu, maka akta kelahiran akan segera ada di tangan. Ia tak perlu membayarku lagi, kupikir yang terpenting adikku bisa pergi ke sekolah nanti.

Sekarang, aku akan mencari pekerjaan baru dulu. Aku akan datang ke bar itu. Cheecks. Bar yang menyewakan perempuan untuk perempuan. Ada jaminan kesehatan dan perlakuan yang beradab. Aku akan melamar di sana. Sejak Abra tak ada, aku kini bisa melakukan apa saja. Toh, setidaknya aku sudah punya pengalaman. Dengan Valerie dan... Ah...

Katanya inilah tempat bagi orang yang terlalu banyak punya cinta. Tapi tak menemukan seseorang yang begitu pantas dibanjiri kasih sayang. Maka dari pada mubazir, datanglah para wanita banyak uang ke sini. Begitu orang kaya biasanya, terlalu banyak yang mereka tutupi. Sehingga tak ada waktu untuk mengejar kebahagiaan. Menikah mugkin hanyalah investasi. Komitmen yang membuat frustasi. Maka ada perempuan-perempuan sepertiku, yang menjual cinta.

Meski aku tak akan bisa menjawab kalau ada yang bertanya: apa itu cinta bagiku?

Bar Cheecks nampak mencolok di antara gedung-gedung kota Purasabha. Lampunya menyala warna biru dan merah muda. Orang-orang datang dan pergi. Semuanya berpakaian wah, sehingga aku tak bisa membedakan yang mana pelanggan, yang mana pekerja.

Seorang lelaki yang bersikap lembut menghampiriku. Tepat dua langkah ketika aku memasuki bar itu. Ia mengingatkanku pada Abra.

"Selamat malam. Namaku Abram. Ada yang bisa aku lakukan untuk membantu?" tanya lelaki itu padaku.

Aku membalas senyumnya. Ia ramah dan tak menghakimi. Aku mengangguk. "Aku ingin melamar kerja."

"Oh, tentu saja!" Baru kini ia memperhatikan wajahku dengan lebih teliti. "Kamu cantik. Nonaku pasti senang sekali. Duduklah di sana, sementara aku akan memanggilnya. Oh! Itu dia." Abram menyipitkan matanya ke arah lain. Aku mengikutinya. Lalu aku duduk sesuai himbauannya.

Suasana di dalam sini cukup lengang. Lampunya dibiarkan redup, namun kesan anggun masih sangat mencolok. Mereka mendesain interior dengan penuh perhatian. Sehingga tak nampak seperti ruangan para pendosa, seperti etalase ibuku dulu.

Tak lama, seorang perempuan dengan gaun satin berwarna pastel mendekat padaku. Tubuhnya tinggi, wajahnya terlalu cantik dan aroma tubuhnya luar biasa wangi. Ia tersenyum. Bersamaan dengan itu lesung pipinya meninju hatiku. Memaksaku membalas senyumnya yang misterius dan melumpuhkan. Masing-masing tangannya membawa gelas kaca yang berayun indah saat ia berjalan. Seolah ia sudah latihan lama untuk melakukannya.

3. Cerita Etalase dan Tempat Tidur GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang