21

267 25 0
                                    

21

"Jangan mengabaikanku. Aku masih bicara." Diang mengikutiku dari belakang. Ia mempercepat langkah agar bisa mengimbangi posisiku.

"Oh, jadi cuma kamu yang boleh menganggapku tidak ada sesuka hatimu?"

"Arung..." Diang menangkap pergelangan tanganku dan memaksaku berhenti.

"Lepas, Diang. Kamu mulai menyakitiku." Aku mendesis seperti seekor ular yang merasa kesal karena terus diganggu.

Diang melonggarkan genggamannya pelan-pelan. Ketika tanganku sudah mulai nyaman, ia ragu untuk benar-benar melepaskanku. Matanya memancarkan rasa ngilu akibat rindu. Aku takut itu dilakukannya karena mataku juga menunjukkan hal yang sama.

Lalu kami sama-sama menghela nafas. Kami lelah. Namun seolah kehabisan cara untuk memperbaiki keadaan. Sejak awal, fondasi yang kami bangun sudah salah. Dan kami sendiri pasti merasa enggan untuk merubuhkan yang sudah ada dan membangunnya kembali.

"Arung... Kita harus bicara."

"Itu terus yang kamu janjikan padaku. Tapi, pada akhirnya kamu tetap menguap dengan semua rahasiamu."

Diang tersinggung dengan tuduhanku. Tapi dia memilih untuk sabar. "Aku janji, kali ini aku tidak akan mempermainkanmu."

"Akhirnya kamu mengakuinya. Bahwa selama ini sikapmu padaku hanya sebuah permainan."

"Jangan menyerangku terus, Arung."

"Aku kesal padamu! Biarkan aku melampiaskan marahku!" Aku terengah. Sesaat rasanya keadaan sekitarku menjadi hening karena teriakanku. Beberapa orang menoleh untuk memastikan kalau kami tak akan saling jambak atau saling tikam.

"Begini, Diang. Mulai sekarang, jangan mendekati hidupku lagi. Aku baru saja bisa melupakanmu."

"Tidak boleh."

"Siapa kamu? Kenapa merasa berhak melarangku?"

"Aku mencintaimu."

"Bohong."

"Aku ingin bersamamu."

"Bohong lagi. Kamu hanya bisa bohong, bohong dan bohong."

"Kali ini aku tidak bohong."

"Berarti selama ini kamu memang bohong?"

"Ya Tuhan, Arung..." Diang menggaruk kepalanya dengan frustasi. "Begini saja... Ikut aku, kita bicara. 10 menit saja. Lalu setelah itu, kamu bebas melakukan apa pun. Termasuk meninggalkanku."

"Aku sudah berjanji pada Cantra untuk tidak membuat masalah. Aku tidak bisa ikut denganmu."

Diang menjilat bibirnya cepat-cepat. "Aku akan melakukan apa pun untuk 10 menitmu."

Aku memikirkan perkataannya. Perlahan aku terperdaya. "Setelah 10 menit, kamu akan meninggalkanku? Kamu tidak akan menggangguku lagi?"

"Ya, kalau itu yang ingin kamu lakukan." Diang berubah raut wajahnya. Ia terlalu cepat senang.

"Ada syarat lain," selaku. "Tidak ada yang melibatkan senjata."

Diang agak kaget dengan kalimatku. Namun ia lekas setuju. "Aku tidak bisa meninggalkannya. Tapi, kamu boleh membawanya. Jadi, kalau aku mulai berbuat yang aneh-aneh, kamu bisa..." Diang menaruh telunjuknya di pelipis. "Dor."

Agak ngeri saat memikirkannya. Namun aku mengiyakan pada akhirnya.

5 menit kemudian, kami berdua sudah duduk di dalam mobilnya. Ia meraih senjatanya dan mengulurkan benda itu padaku.

"Keluarkan pelurunya."

"Kenapa?"

"Agar kita tidak saling menyakiti."

3. Cerita Etalase dan Tempat Tidur GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang