14

308 27 0
                                    

14

"Hmph..." Aku mendesau di tengah-tengah ciuman kami. Aku dan Valerie masih di basement apartemen. Mesin mobil belum juga mati. Membuat uap hangat dari nafas kami menempel dan jadi embun di kaca mobil yang buram.

Tangannya tergantung di tengkukku. Sesekali ia menarikku dan mencari sudut yang strategis untuk bibir kami. Tangannya yang dingin dan lembab merabai pahaku. Seolah sedang mendeklarasikan kekuasaannya, Valerie mengusap hampir seluruh permukaan tubuhku dengan ibu jarinya.

"Val..." Kupanggili namanya ketika ada kesempatan. Kepalaku mulai ringan dan sepertinya kami mulai kekurangan oksigen.

"Iya... Iya..." Valerie mundur, menguasai iblis di dalam dirinya. "Ayo kita turun." Ia mematikan mesin mobil. Satu tangannya mengusap bibir. Noda lipstiknya mengotori punggung tangannya.

Aku tersenyum ketika melihat tatapan matanya yang kelam karena hasrat. Temanku ini istimewa. Atau mungkin aku yang kurang bergaul. Aku tidak tahu kalau ada orang yang hidup dengan urgensi seksual sebegini besar. Valerie bersikap seolah seorang pecandu.

"Kita bawa belanjaan sekalian. Kita di kamar saja. Aku sudah tidak tahan."

Aku mengangguk dan mengambil belanjaan kami cepat-cepat. Kami berjalan menyusur keremangan basement. Valerie memeluk pinggangku dari samping. Wajahnya ia sandarkan di bahuku. Seolah aku bisa menguap begitu saja kalau ia melepaskan diri.

Di ujung lorong, samar kulihat bayangan seseorang. Bersandar di dinding konkrit seolah sedang menunggu. Aku menyipitkan mata. Menduga kalau itu adalah Diang. Tapi bukan. Orang itu bukan Diang. Jadi aku mengabaikan keberadaannya.

"Abra?" Aku mengenali wajahnya yang sebagian gelap karena penerangan basement yang minim. Jarak kami dekat. "Ada apa?"

"Ikut denganku," jawabnya lembut.

Aku dan Valerie menghentikan langkah. Kami berdua bingung.

"Kamu bilang menyewaku 12 jam?" tanyaku pada Valerie. Kemunculan Abra tentu tidak biasa. Ia tak pernah menginterupsi ketika aku masih dalam waktu kerja.

Valerie mengangguk. Ia mengawasi lelaki di depan kami dengan seksama. "Aku masih belum selesai," keluh wanita itu.

"Sebentar saja. Ikut aku, Arung."

Valerie menggigit ujung jarinya. Kemudian menggeleng. "Beri kami waktu 1 jam saja. C'mon... Aku sudah bayar, 'kan?"

Tapi, bukannya menjawab atau bernegosiasi dengan halus, Abra malah menarik tanganku dengan kasar. Lengannya membentangi leherku. Barulah aku sadar. Keadaan ini tidak baik sama sekali.

Sedang, urgensi Valerie membuat wanita itu jadi gusar. "Hei!"

"Tunggu di kamarmu. Urusanku hanya sebentar."

Valerie tidak setuju. Sepertiku, ia juga merasakan bahaya dari lelaki ini. Ia mencoba mendekat.

"Abra, apa-apaan sih?" Aku berusaha melepaskan diri. Menyikut perutnya—kalau itu bisa membantu situasi.

Cengkraman Abra mengendur. Membuat Valerie merasa punya kesempatan melayangkan tinjunya ke wajah lelaki itu.

Gagal. Abra menangkap tangan Valerie dan membalas tinju yang gagal tadi dengan pukulan yang solid. Valerie meringkuk karena rasa sakit di ulu hatinya. Ia merabai jaketnya dan hendak mengambil ponsel.

Abra lebih cepat. Ia menendang Valerie hingga perempuan itu tersungkur ke lantai. Aku tak bisa tinggal diam. Aku menendang punggung Abra. Namun, lolos. Aku tidak sehebat itu, dan Valerie sudah mengerjaiku habis-habisan di mall tadi. Lututku gemetar hebat.

"Valerie..." Aku ingin mendekat pada temanku itu. Namun, Abra yang tak bisa mengendalikan emosinya sudah membuat Valerie babak belur. Ia menginjak telapak tangan Valerie sebelum menyeretku pergi.

"Val!"

Dia belum mati. Aku melihat kepalanya bergerak-gerak. Aku melihat matanya berkedip. Ketika menyaksikan aku pergi.

"Apa yang kamu mau, Abra? Valerie bisa saja mati kalau kita meninggalkannya begitu saja di sana."

Abra tidak memperdulikan kalimatku. Ia sibuk mengikat tanganku dengan ikat pinggangnya. Keningnya berkeringat meski kami di dalam mobil dan berpendingin. Di punggung tangannya ada noda darah. Mulai kering dan berwarna gelap.

"Apa itu darah Valerie? Abra!" Aku sengaja berteriak di telinganya. Lelaki itu tersentak. Ia melolot padaku dan menampar pipiku keras.

"Ini karena perempuan itu! Kalau dia tidak mengganggu bisnisku, kamu dan lesbian itu pasti sedang asik sekarang."

Abra tidak bicara soal Valerie. Apa dia bicara soal...

"Diang?" gumamku.

"Cih!" dengus lelaki itu. "Aku akan membuatnya menyesal karena telah menggangguku."

"Apa yang sudah kamu lakukan sampai dia memburumu, Abra?"

Abra agak bingung dengan pertanyaanku. Ia mengamatiku dengan seksama. "Kamu sudah tahu? Kenapa kamu tidak langsung melapor padaku?" Lalu Abra memukulku lagi. Ia merasa dikhianati.

Mulutku kesemutan karena pukulannya, jadi aku diam. Membiarkan Abra melajukan mobilnya entah ke mana.

Tahu-tahu saja kami sudah sampai di halaman sebuah hotel tua yang terbengkalai. Abra membukakan pintu untukku. Ia menarikku ke luar dari mobil dan menyuruhku berjalan duluan. Mendaki satu persatu anak tangga menuju lantai 5. Seharusnya aku ada di atap gedung lain dan bersenang-senang dengan Valerie. Kesialan ternyata belum berlalu.

"Abra... Lepaskan aku..." rintihku ketakutan. Ini terlalu berbahaya. Kalau tahu masalah akan seheboh ini, aku pasti akan memilih untuk tertangkap dalam razia pada waktu itu.

Sekarang, kalau aku mati, siapa yang akan menjaga adik lelakiku?

"Mana bisa demikian, Arung? Kalau aku terseret dalam masalah ini, kamu juga akan terseret." Abra tersenyum. Samar aku melihat kemarahan dan rasa takut di sana. Aku tak akan mengomentarinya.

"Bagaimana mungkin aku ada hubungannya? Aku tidak tahu apa-apa."

"Ya... Tapi orang itu lemah padamu. Kita akan bernegosiasi dengannya."

Beberapa waktu kemudian, Diang muncul entah dari mana, ia mendekat ke arah kami. Dan baru sekaranglah aku tahu benar, seperti apa bentuk senjata yang ia sembunyikan di pinggangnya selama ini.

"Abra lepaskan aku," rintihku ketakutan.

"Tidak, kalau ada yang terbunuh hari ini, seharusnya adalah kamu," kata Abra dingin, membuat kakiku semakin lemas.

"Biarkan Arung pergi, dan menyerahlah." Diang memberi peringatan pada Abra. Tapi lelaki itu semakin erat menggenggam lenganku.

Pelan-pelan Diang berjalan, semakin dekat dengan kami, "Diam di sana, atau pelacurmu tidak akan kembali ke temat tidurmu malam ini." Sebuah benda yang dingin menyentuh leherku, aku tak bisa melihat sama sekali, dan aku tak tahu bagaimana rasanya ditempeli pisau, atau senjata api.

"Mustahil ia bisa menyakitiku tanpa menyakitimu terlebih dahulu, Arung," bisik Abra di telingaku. Aku tidak menjawab omong kosongnya, di sudut hatiku, sejumput rasa percaya masih ada untuk Diang.

Aku dan Diang, kami saling menatap. Ia jelas memusatkan perhatiannya pada kami, ia mengarahkan senjatanya pada kami. Dalam gerakan yang lambat, sangat lambat, aku dapat menangkap bibirnya menggumamkan sesuatu.

Mungkin, kata maaf.


3. Cerita Etalase dan Tempat Tidur GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang