3

724 38 0
                                    

3

Olala. Sebuah penginapan kelas melati di pinggiran kota Purasabha. Tidak ada eksterior yang menarik hati, hanya sebuah halaman sederhana dengan beberapa tanaman bougenville berwarna merah yang norak dalam pot semen yang besar. Ada sebuah kolam di tengahnya dengan patung kuda jantan yang bersisian dengan patung lain menyerupai perempuan dengan bejana yang miring dan air mancur. Semua orang tahu, menginap di sini tidaklah mahal.

Tidak ada pelayan yang mengambilkan tasmu ketika datang, tidak juga ada minuman rasa jeruk yang disajikan dengan senyum. Semua orang datang, lalu lalang. Seorang resepsionis berdiri kaku di belakang meja depan. Tidak menyambut tamu. Hanya bicara ketika ditanya.

Kadang ia tak akan membalas salam kalian. Tak ada yang menggajinya untuk itu. Tugasnya hanya mencatat namamu, atau menunjukkan padamu di mana kamu sedang ditunggu. Atau menyampaikan padamu, berapa harga setiap 3 jam, apa mungkin kamu kamu ingin yang 6 jam? Mau short time? Apa kamu punya nyali mengakui kelemahanmu? Mau long time, agar kamu terlihat lebih perkasa? Seolah mereka tahu benar, semua yang datang ke sini, hanyalah lelaki hidung belang, seorang perempuan nakal atau selingkuhan. Berbaju pegawai, atau berbaju seperti mahasiswa.

Tak perlu malu jika datang, semua hal tabu di luar sana terkupas cangkangnya di sini. Tidak akan ada yang memandangmu murahan, atau gratisan. Semua sama di sini, ingin cari makan, ingin cari kepuasan, ada kerinduan, cinta yang ditentang. Dan lain-lain yang bisa kalian namai sendiri.

"Kamar 209," kataku.

Dijawab dengan sebuah anggukan. Aku dengan langkah yang hapal mengikuti garis lantai bertanda panah, menjelaskan dengan pasti di mana tangga untuk lantai dua, kamar nomor 9.

Di depan pintu sebuah nomor tertera di sana. 209, ditulis dengan kayu cetakan, diletakkan di tengah atas pintu kayu bohongan—yang lekas kita ketahui hanya terbuat dari 2 lembar triplek yang diolesi cat cokelat berkilat. Aku memperbaiki penampilanku sekali lagi. Menghela nafas panjang sekali lagi, kemudian mengetuk 3 kali.

Seorang perempuan membuka pintu. Aku kemudian minta maaf. Tidak bermaksud mengganggu, mungkin salah pintu. Aku mundur selangkah, hendak mengambil ponsel dan memaki Abra, ia tidak pernah salah tanpa konfirmasi. Tapi perempuan itu tak terlihat terganggu. Ia juga tak kunjung menutup pintu.

"Apa kamu Arung?"

Aku mengangkat wajahku dari layar sentuh. "Saya?"

"Artinya kamu tidak salah pintu." Ia tersenyum. Wajahnya memerah dan malu-malu. "Masuklah," katanya. Ia bergeser dari pintu. Dengan satu tangan masih di handle pintu dan posisi tubuh yang miring.

Aku tahu, ia ingin memberiku jalan untuk masuk.

Aku tak punya pilihan. Pintu ia tutup. Kemudian ia terbatuk-batuk. Ia paham, sesuatu sedang menganggu kami berdua tapi aku tidak mengerti apa.

"Hm, duduklah dulu. Mungkin kamu ingin minum?"

"Ya, mungkin," kataku ragu. Tidak pernah punya tamu perempuan, bagaimana cara membuat mereka senang?

"Apa kamu minum bir?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Tapi jika yang kamu punya hanya bir, aku akan minum untukmu." Aku memelankan suaraku. Masih aneh rasanya. Janggal, ketika dalam genderang telingamu hanya ada gaung perempuan, bukan lelaki lagi. Bahkan suaramu sendiri jadi terdengar aneh.

"Aku tidak akan memaksamu minum bir kalau kamu tidak mau." Perempuan itu tertawa sedikit.

Aku berusaha mendistraksi diri, kupindai interior kamar yang dipenuhi dengan karya seni gadungan, murahan yang hanya dibuat untuk meniru kesan artistik tapi membuang jauh kedalaman makna, tanpa dasar. Sehingga bukan peristiwa estetis yang esensial namun sekedar emblem sosial. Tentu tetap tak akan sama dengan kualitas aslinya.

3. Cerita Etalase dan Tempat Tidur GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang