Saat ini, Rosa sedang menyetel soundsystem untuk berlatih drama di kelasnya. Alisnya menekuk dan beberapa kali ia mengetes mikrofonnya. “Tes, halo, halo? Sudah jelas atau belum?"
Setelah dirasa sudah selesai, ia segera menyerahkannya pada sang ketua kelompok lalu duduk pada kursinya. Matanya dengan sigap menyapu kata demi kata yang ada pada naskahnya.
“Penggugat akan mengajukan bukti, Yang Mulia."
Walau mata juga seluruh tubuhnya dipaksakan berfokus pada latihannya, namun ia tak dapat menahan diri untuk tidak melirik teman-teman sekelasnya di ujung kelas yang sedang membuat patung untuk tugas seni budaya. Lebih tepatnya pada mata jernih dari lelaki yang sedang fokus menggunting kertas-kertas berwarna-warni itu.
Ia mengambil napas dalam dan berusaha fokus pada latihannya lagi. Semoga tak ada yang menyadari bahwa sebenarnya pikirannya melayang tak hanya di satu tempat.
"Fokus dong, Ros."
Dini, temannya berbisik sembari menyikutnya. "Kamu lihatin si Gilang mulu, loh. Jangan mengelak kali ini, kamu suka dia 'kan?"
Segera saja Rosa memutar matanya. "Aku gak suka Gilang." Lalu kembali berfokus pada naskahnya lagi. Ia berkata ketus namun terdapat rasa hangat di sudut hatinya saat Dini menyebutkan nama lelaki itu.
Kekehan halus diloloskan Dini. “Iya deh, iya.” Ia tahu, temannya tak akan mengakui perasaannya sendiri. Namun, itu bukan alasan untuk tidak meledeknya. “Gak enak, loh, naksir di penghujung kelas begini. Keburu lulus.”
Tentu saja Rosa tak mengindahkan apa yang dilisankan temannya itu walau hatinya pun memiliki kecemasan sendiri. Ia tahu tak ada lagi waktu untuk jatuh cinta. Walau pun Rosa menjadi lebih rajin merapihkan rambutnya juga memakai jepit di sekolah. Ia bahkan sedang menabung, bukan untuk makanan seperti biasanya namun untuk sebuah parfum berbau manis melon.
Mungkin mata jernih Gilang sedikit memiliki pengaruh pada jantungnya, atau mungkin cara Gilang menjaga penampilannya yang menginspirasi gadis itu. Yang jelas, ia tahu, ini adalah hal bodoh untuk diperjuangkan karena ia tak memiliki cukup waktu dan energi tersisa dari penatnya kesibukan kelas akhir.
Mungkin harusnya ia buang dan lupakan saja perasaan ini.
Waktu berlalu, ia selesai berlatih. Matanya tak menangkap keberadaan Gilang di mana pun. Mungkin lelaki itu sudah pulang? Entahlah, siapa juga yang ingin berlama-lama di sekolah untuk mengerjakan kerja kelompok pada hari Sabtu? Rosa pun berniat segera pulang sehabis ini.
“Gak makan dulu? Baru selesai latihan sidang 'kan?"
Rosa sedang membereskan barang-barangnya saat suara manis itu menghampiri telinganya. Rosa melihat ke belakang, Gilang baru saja masuk kelas dengan es doger di tangannya.
“Kalau aku jadi kamu, aku akan makan dulu," ucap Gilang sembari menyuap dirinya sendiri dengan jajanannya.
“Lapar, sih.” Rosa membelai perutnya. “Ya sudah, deh. Mau cari makan dulu.”
Gilang tersenyum. “Nitip, dong! Aku malas jalan.” Senyumnya berubah menjadi cengiran. “Boleh?”
Senyuman masam diberikan Rosa. “Gak mau.” Ucapnya. “Jalan sendiri, dong. Ribet kalau bawain makanan orang.”
“Ih, Rosa.” Wajah Gilang mengkerut. “Aku malas jalan sendirian. Bareng, yuk? Aku yang bawa motor.”
Jantung Rosa kembali berdegup kencang, darahnya seakan naik ke pipi. Ia memutar mata, seakan tidak senang dengan permintaan Gilang. “Ya sudah, deh.”
Mungkin hari ini adalah hari keberuntungannya. Entahlah, tidak usah terlalu dipedulikan. Mereka hanya mencari makan bersama, tidak lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena di Ujung Kelas
Teen FictionMenyukai seseorang di penghujung kelas 12 adalah hal yang sangat tidak ingin dirasakan oleh Rosa. Selain ia harusnya fokus mengejar materi pembelajaran dan mempersiapkan diri untuk langkah setelah kelulusan, menyukai seseorang di penghujung kelas 12...