Pena yang Dicari

3 1 0
                                    

Minggu demi minggu berlalu. Hari ini, Rosa pun tetap sibuk dengan kerja kelompoknya. Kali ini, ia harus membuat video kelompok untuk praktek jurus-jurus dalam silat. Sampai di rumah Dini untuk berlatih bersama, matanya menangkap pemandangan Gilang yang dibalut baju hitamnya. Pemandangan yang tak diinginkan Rosa karena ia kini harus menahan diri dari detak jantungnya yang hampir meledak.

“Mukamu merah.”

Dini berbisik sembari menyengir pada sahabatnya itu. “Baju hitam memang berbahaya untuk jantung,” ucapnya sebelum kabur dari cubitan maut Rosa.

Rosa mendengus lalu ikut memakan jajanan yang mungkin dihidangkan Dini untuk mereka berlatih. “Din, minta jajanannya, ya!” Ucapnya agak berteriak karena jarak antara mereka yang cukup jauh.

“Loh, itu punyaku, Ros.” Suara tersinggung Gilang menjadi distraksi. Rosa menoleh dan menemukan wajah cemberut lelaki itu yang segera duduk di sebelahnya. “Jangan dihabiskan, aku juga mau!”

Buru-buru Rosa mengambil sebungkus jajanan itu. “Mau kuhabiskan saja,” ucapnya sembari menjulurkan lidahnya, meledek.

Raut kesal Gilang semakin berkerut. “Sini, aku juga mau.” Ia dan Rosa kini berebut jajanan yang memang menjadi milik Gilang. Rosa hanya terkekeh dan terus meledek.

“Ayo, latihan. Jangan pacaran mulu!" Suara Dini memanggil mereka berdua yang masih belum bersiap-siap. Rosa memelototi kawannya itu, dasar kurang ajar!

Mereka pun berlatih beberapa jurus-jurus silat untuk membuat video praktek yang ditugaskan. Rosa cukup kesulitan di beberapa detail karena tubuhnya yang kaku mendatangkan tawa dari teman-temannya yang lain.

“Ros, meliuk-liuk, dong, tangannya! Kaku banget, sih.” Dini meledek gadis yang mukannya telah merah oleh rasa malu.

Mata Rosa tak dapat berhenti menangkap senyum dan tawa Gilang. Ia tertawa sampai matanya menyipit membentuk bulan sabit. Gemas sekali, ingin rasanya Rosa mencubit pipi sang lelaki berkulit tan itu. Mungkinkah ia benar-benar menyukainya? Gilang? Lelaki menyebalkan itu? Mana mungkin. Segera Rosa alihkan matanya pada laptop Dini untuk berlatih lebih keras agar tidak ditertawakan lebih lanjut.

Setelah adzan Maghrib, hanya tinggal Rosa yang lanjut berlatih di rumah Dini. Ia terus menerus menonton video tersebut hingga tubuhnya cukup terbiasa dan lentur.

“Tadi si Gilang senyumin kamu mulu, loh.” Dini, dengan cengiran khasnya menggoda Rosa.

Rosa mendecak. “Iya, bukan cuman disenyumin tapi sampai diketawain.”

Tawa Dini kembali mengudara, mengingat betapa kaku tubuh Rosa saat melakukannya tadi. Untung saja ia pekerja keras, gerakan yang ia lakukan kini tidak tampak seperti melakukan paskib lagi namun cukup memprihatinkan bila disebut sedang memperagakan jurus-jurus indah dari silat.

Setelah lelah, Rosa segera pulang ke rumahnya yang hanya beberapa langkah dari rumah Dini. Ya, mereka tetangga. Terima kasih pada jalur zonasi yang mempertemukan mereka.

“Loh, baru pulang, Ros?”

Rosa baru saja ingin membuka gerbang rumahnya saat Gilang melewatinya sembari menikmati es krim. “Rumah Dini lebih asyik daripada rumahmu, ya? Pasti kamu ada tugas menyapu rumah jadi baru pulang sekarang.”

“Bener, sih, tapi bukan itu alasannya.” Rosa berdecak kembali. Kenapa pula lelaki yang menjadi teman sekelas sekaligus tetangganya ini senang sekali bertingkah menyebalkan? Jalur zonasi harus memohon ampun karena mempertemukan mereka.

Gilang tertawa sehabis menerima respon Rosa. “Jangan galak mulu, dong.” Ia mengambil sesuatu dari kantong plastik hitamnya dan memberikannya pada Rosa. “Nih, biar kepalamu dingin.”

Mata Rosa melirik es krim yang diberikan Gilang dan menerimanya tanpa senyuman. “Terima kasih,” ucapnya sembari melirik ke arah lain, merasa gugup.

Senyum Gilang mengembang. “Sama-sama. Banyakin senyum, dong!”

Pena di Ujung KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang