Seluruh mata tertuju pada lelaki itu. Di podium, ia memegang kertas dan berkonsentrasi untuk membaca lantang puisi ciptaannya sendiri.
“Aku bangkit, membela pertiwi.”
Rosa menahan napasnya. Lelaki yang merupakan tetangga sekaligus teman sekelasnya itu sangat berbeda dari biasanya. Matanya tajam menatap penonton, suaranya bulat dan tegas namun tetap mampu membangkitkan emosi nasionalis yang terpendam di dalam tiap orang yang ada di sini.
“Mendongak, berseru NKRI.” Tangannya diacungkan ke langit. Atmosfer terasa tajam dan berat. “Melaju dengan pasti.”
Hampir saja Rosa mengamuk pada Dini yang mengikutnya. Dini terkekeh dan menyengir seperti biasanya. “Lihat pesona Gilang, tuh. Pantas saja banyak yang naksir, ya, kan?”
Tentu sikap acuh tak acuh Rosa yang diberikan pada Dini. Matanya menyapu sekitar, banyak gadis yang berbisik dengan raut terpesona. Tidak heran, Gilang memang sudah terkenal sebagai pujangga andalan di sekolahnya. Banyak gadis-gadis yang berkhayal dibuatkan puisi cinta dari sang pujangga. Rosa pun tak ingin berbohong, ia sama seperti gadis-gadis itu walau egonya tak menyuarakan dengan jelas—bahkan pada Dini, sahabatnya.
“Terbakarlah, Pemuda.” Gilang mendesis, menautkan alisnya seakan memberi perintah. “Biarkan suaramu memekakkan telinga.”
Pemandangan guru-guru yang berbangga hati pada muridnya juga menciptakan perasaan berat dalam dada Rosa. Ia tak tahu perasaan apa itu namun ia tak menyukainya, ia ingin perasaan itu segera pergi.
“Terbakarlah, Pemuda. Biarkan mereka mendengar!”
Rosa menggigit bibirnya. Gilang sangat ahli dalam sastra dan hal itu semakin menjadi daya tarik kuat bagi hati Rosa untuk semakin menginginkannya. Benarkah Rosa benar-benar menyukai sang pujangga? Bisakah ia menyanggah hal ini lagi dan lagi?
“Terbakarlah, Pemuda!” Seruan yang membangkitkan semangat diserukan Gilang, membuat napas siapapun tercekat di tenggorokan. “Biarkan mereka mendengar.”
Langit dan angin pun diam, seakan ikut khidmat dalam pembawaan puisi sang pujangga. Rosa terlena oleh mata jernih yang menatap tajam pendengarnya. Jantungnya berdegup kencang, darahnya mengalir deras, mulutnya pun bergumam, “Ah, astaga ...
“Sepertinya aku jatuh cinta.”
Mata Dini terbelalak mendengar gumaman yang dilantunkan temannya satu itu. Sadarkan Rosa tentang apa yang baru saja dilakukannya? Dini memilih tersenyum dan berbisik pada Liam yang ada di sebelahnya. “Hei, akhirnya Rosa mengakuinya.”
Liam ikut tersenyum senang dan melirik Rosa. Ia dan Dini kini melakukan tos kecil.
“Suara Pertiwi berseru dari sini, agar sabda Sang Garuda terdengar lagi. Biarlah mati para tikus berdasi.
“Terbakarlah, Pemuda.”
Waktu seakan berhenti bagi Rosa. Mata jernih itu di sana, mata yang bening bagaikan danau itu menciptakan rasa damai juga degupan hebat dalam dadanya. Mata itu, mata Gilang menatapnya dengan senyuman. Suara tepuk tangan dari sekitar mereka seakan tak terdengar dan mereka terkunci di dimensi lain.
Benarkan mereka benar-benar bertatapan? Benarkan Gilang menatapnya sembari tersenyum? Napas Rosa tercekat, ia ingin berteriak atau berlari sekencang-kencangnya.
“Gilang menatapmu.” Dini menyuarakan sesuatu yang paling ingin didengar Rosa saat ini. Ia bahkan tidak menunjukkan cengiran menyebalkan khasnya itu, ia terkejut dan menatap mereka berdua.
“Tidak ... ” Rosa menggeleng, ia kembali pada kenyataan. “Tidak mungkin seseorang yang sangat hebat seperti Gilang ... ” Ia bahkan tak dapat menyelesaikan kalimatnya.
Rosa berdiri dan pergi dari kerumunan menuju kamar mandi. Tidak mungkin. Ia tidak mungkin jatuh cinta pada Gilang. Pemuda itu terlalu hebat, terlalu tinggi untuk ia gapai. Ia bahkan tak pernah memenangkan lomba apapun, ia hanyalah gadis yang tak layak mendapatkan perhatian.
Namun, bolehkah jika ia hanya sekedar mengagumi lelaki manis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena di Ujung Kelas
Teen FictionMenyukai seseorang di penghujung kelas 12 adalah hal yang sangat tidak ingin dirasakan oleh Rosa. Selain ia harusnya fokus mengejar materi pembelajaran dan mempersiapkan diri untuk langkah setelah kelulusan, menyukai seseorang di penghujung kelas 12...