Pena yang Terlihat

5 0 0
                                    

Kenapa?

Kenapa Rosa menemukan dirinya sedang membuat sketsa wajah Gilang di halaman belakang bukunya saat sedang belajar matematika?

Baru saja ia ingin menghilangkan jejak bukti itu namun Bu Fira—selaku guru matematika tercintanya— memanggil namanya untuk mengerjakan soal di papan tulis. Ia pun harus mengurungkan niatnya itu dan menuruti apa yang diinginkan gurunya.

Selagi Rosa maju, Dini—yang selalu menemani Rosa di mana pun ia berada— ingin mengecek jawaban Rosa namun justru menemukan hal menarik, bahkan sebelum ia sempat menyentuh buku itu. Segera saja ia mengeluarkan ponsel dan hendak memfoto sketsa tersebut.

Tepat saat Dini menyentuh tombol kameranya, bel istirahat berbunyi dan Rosa sedang kembali ke meja mereka. Hal itu menyebabkan Rosa mencubit pipi Dini dan berusaha merebut ponselnya itu untuk menghapus barang bukti memalukan di dalamnya.

“Wee, wee, kejar aja kalau bisa~!!” Dini tertawa lalu berlari dari kelas mereka.

“Dini, kembali!” Rosa mengejar dari belakang. “Liam, pacarmu ngeselin, nih!”

Rosa berteriak untuk menarik atensi Liam, lelaki yang sedang dekat dengan Dini. Liam menyengir dan justru menyemangati Dini walau tak tahu apa yang menyebabkan mereka bekejar-kejaran seperti itu. Dasar bulol.

Gilang yang melihat hal itu juga tertawa walau tak tahu apa yang terjadi. Ia menghampiri Liam yang duduk di belakang meja Dini. “Yuk, login.” Segera saja Gilang duduk di kursi Dini, menghadap Liam.

Matanya tak sengaja melirik ke meja Rosa. Ia terdiam beberapa saat, memastikan apa yang dilihatnya itu adalah benar. Senyum geli mengembang dari wajahnya lalu segera ia menutup buku Rosa dan menyimpannya di kolong meja sang gadis.

“Kamu ngapain sentuh barang Rosa? Nanti kena omel, loh.” Liam memperingati Gilang tentang omelan lagenda dari Rosa yang konon dapat membuat ketua OSIS mana pun memohon ampun padanya.

“Pengen aja,” balas Gilang dengan cuek sembari berpindah ke tempat duduk Rosa dan bersandar pada tembok. “Jangan bilang-bilang aku habis sentuh barangnya, ya. Aku gak mau kena semprot naga satu itu.”

Liam terkekeh pada ledekan Gilang tentang Rosa. “Cepuin, ah.” Tentu saja itu hanya candaan belaka. Jokes je, bang.

Rosa sedang cemberut saat ia memasuki kelasnya karena uangnya habis untuk menyuap Dini menghapus foto tentang sketsa wajah Gilang di ponselnya, sedangkan Dini full senyum sembari menikmati sosis bakarnya.

Wajah Rosa memerah saat melihat siapa yang sedang duduk di kursinya. “Ngapain duduk di tempatku, Gilang?” tanya Rosa dengan jutek, seperti biasanya.

Tentu saja dibalas cengiran oleh Gilang. “Jangan ganggu aku sama Liam, dong. Kamu gak lihat kami sedang asyik berduaan?” ucap Gilang yang disambut tawa dan cemooh dari Dini, sedangkan Liam asyik menikmati suara dan senyuman bidadarinya itu.

“Aku mau duduk.” Rosa berucap sembari menyilangkan tangannya. “Kamu 'kan bisa duduk di samping Liam? Sama-sama di pojok kalau alasanmu ingin dekat dengan tembok.”

Tepukan di pundak didapat Rosa oleh Dini. “Ya sudahlah, mungkin Gilang sudah pewe (posisi uwenak) sekarang. Kamu duduk di tempatku saja.”

Mata Liam segera melebar dan berpindah ke bangku di sebelahnya untuk mempersilahkan Dini duduk di bangkunya. Dini pun dengan senang hati menduduki bangku Liam dan ikut menikmati permainan lelaki itu.

Di saat kedua temannya sedang bermesraan, menikmati indahnya HTS, Rosa menatap mereka dengan geram. Mau tidak mau, ia duduk di kursi Dini dan bersebelahan dengan Gilang. Ia memainkan ponselnya, acuh tak acuh pada apapun yang ada di sekitarnya. Bahkan berusaha pura-pura tak menyadari Gilang yang terus tersenyum padanya.

Pena di Ujung KelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang