Jisung menyerahkan tangannya ke seorang tabib untuk melakukan pengecekan dengan nadinya. Membiarkan sang tabib menyentuh kulit putihnya yang mulus. Netra indahnya tidak terfokus kepada sang tabib melainkan Jaemin yang sedang bersender ditembok.
Mata mereka terus berpandangan, keduanya tidak melepaskan kontak sama sekali. Karena Jisung tahu jika dia tidak melakukan itu maka Jaemin akan merasa cemburu sebab dirinya membiarkan orang asing menyentuh tubuh yang sudah Jaemin tandai sebagai miliknya.
Sang tabib segera melepaskan tangan Jisung dengan lembut, wajahnya memucat, bahunya bergetar, keringat membasahi seluruh tubuhnya.
"Ada apa?" Tanya Jisung dingin, matanya memutus kontak dengan Jaemin dan melihat ke arah tabib yang nampak ketakutan.
Jaemin mendekati tabib tersebut. Mengambil belati yang selalu berada di dekat dirinya, menodongkan belati tajam itu ke leher sang tabib.
"Dia bertanya kepada mu! Kenapa tidak menjawab!" Ucap Jaemin.
Sang tabib kini semakin bergetar ketakutan. Dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk sejak memeriksa keadaan tubuh Jisung.
Jisung duduk dengan anggun menatap segala kejadian tersebut dengan senyum culas, "Aku memberikan dirimu dua pilihan, jujur tentang keadaan diriku atau mati?"
"M-maaf yang mulia, hanya saja tuan muda Jisung tidak memiliki kekuatan sama sekali, dirinya benar-benar dilahirkan sebagai orang biasa!" Ungkap sang tabib takut-takut.
Senyuman culas Jisung berubah menjadi wajah yang memerah, tubuhnya bergetar menahan amarah.
Brak!
Jisung melempar segala barang yang ada di sana, Jisung bangkit menuju kearah tembok kemudian melayangkan tinjunya ke area tembok. Jisung terus-menerus melakukan hal tersebut hingga kedua tangannya berdarah.
Setelah beberapa saat Jisung akhirnya jatuh terduduk, tatapannya begitu sendu. Namun, tak ada air mata sama sekali seakan-akan mengering.
Jaemin mengikat sang tabib setelahnya dia berjalan mendekati Jisung. Memeluk Jisung untuk menenangkan pemuda itu, semua ini bukan salah Jisung ataupun tabib karena dirinyalah yang meracuni Jisung hingga tidak bisa membangkitkan kekuatannya sama sekali.
Jaemin terobsesi dengan Jisung, amat sangat ingin memiliki segala hal tentang Jisung. Dirinya tidak ingin Jisung pergi kemanapun atau mandiri, Jaemin ingin Jisung bergantung pada dirinya, menjadi sosok lemah yang akan selalu meminta bantuan kepadanya.
"Tenanglah! Kau masih bisa mengandalkan diriku!" Ucap Jaemin lembut walau terdengar jelas keinginan untuk menguasai.
Jaemin membawa kedua lengan Jisung yang sudah berdarah ke dekat wajahnya. Jaemin menaruh kedua tangan itu di masing-masing pipinya, mengelus pipinya pelan menggunakan tangan Jisung yang berdarah hingga wajah Jaemin yang bersih kini terkena noda darah yang cukup banyak.
Setelah puas mengelus wajahnya menggunakan darah dari lengan Jisung, Jaemin mengecup kedua tangan itu dengan lembut. Bibirnya juga ikut terkena darah. Hal ini membuat perawakan Jaemin menjadi sedikit menyeramkan.
"Jangan melukai dirimu sendiri, sebentar lagi kau akan menjual hidupmu kepadaku dan aku tidak menyukai sesuatu yang menjadi milikku lecet sama sekali!" Jaemin memberikan peringatan, dirinya menggendong Jisung ala pengantin.
Membawa Jisung menuju ke arah tabib yang terikat, sang tabib sudah menangis dan memohon untuk segera dilepaskan namun, sia-sia karena Jaemin tidak akan melepaskan tabib itu sebelum ada perintah dari Jisung.
Ketika Jisung sudah duduk dengan tenang, Jaemin beranjak pergi mengambil air hangat dan kain putih untuk membersihkan luka Jisung. Tidak butuh waktu lama Jaemin telah kembali membawa barang-barang yang dia butuhkan, Jaemin memang harus kembali dengan cepat karena dia tidak sudi Jisung berdekatan dengan orang lain selain dirinya.
Melihat Jaemin yang sudah kembali, Jisung tanpa banyak berucap menyerahkan kedua tangannya untuk dibersihkan oleh Jaemin.
Dengan penuh kehati-hatian Jaemin membersihkan luka dikedua tangan Jisung, setelahnya mengecup kedua tangan itu berulang kali. Puas dengan perbuatannya, Jaemin mengoleskan obat ditangan Jisung. Membalut luka itu dengan kain merah yang melambangkan seorang Na Jaemin.
"Apakah aku tidak memiliki sesuatu yang berharga?" Tanya Jisung.
Jaemin diam, mendengarkan segalanya. Jika sesuatu yang berharga itu mengancam keberhasilan dirinya untuk memiliki Jisung maka Jaemin akan berusaha untuk menghancurkan hal tersebut.
Namun, jika sebaliknya maka Jaemin akan mendukung bahkan membantu Jisung untuk menjaga apapun hal yang berharga dari Jisung.
Sang tabib diam, mungkin Jisung marah karena jika menjadi orang biasa dia tidak akan memberikan kontribusi kepada keluarga yang telah membesarkan dirinya, oleh karena itu Jisung menjadi marah. Begitulah yang tabib itu pikirkan tentang Jisung.
"Tenang anda masih memiliki sesuatu yang berharga, sejak turun-temurun keluarga Park adalah seorang yang diberkahi oleh dewa. Mereka terlahir dengan paras indah. Baik lelaki ataupun perempuan diberikan kesempurnaan yaitu memiliki rahim, mungkin kalian heran hanya saja itulah kenyataan yang ada. Seluruh keturunan keluarga Park memiliki rahim. Jadi anda tidak perlu sedih, mungkin dengan menjadi selir para bangsawan, anda bisa memberikan kontribusi kepada keluarga N...Argh!"
Teriakan itu adalah teriakan terakhir dari sang tabib karena Jaemin langsung melemparkan belati miliknya menuju leher sang tabib, dia tidak menyukai perkataan sang tabib yang seakan-akan menyuruh Jisung menjual diri demi keuntungan keluarga Na. Bagi Jaemin, Jisung hanyalah miliknya bahkan sejak Jisung pertama kali dilahirkan di dunia ini.
"Kau membunuhnya," terang Jisung menatap Jaemin yang hanya melihat mayat sang tabib dengan tatapan penuh dendam.
Jaemin belum puas jika hanya membunuh tabib itu, dia ingin menyiksa tabib itu hingga tidak akan pernah bisa bereinkarnasi lagi.
"Dia memperlakukanmu dengan tidak pantas, dia layak mati!" Jawab Jaemin jujur.
Jaemin mendekatkan wajahnya ke wajah Jisung, Jaemin mencium bibir Jisung dengan kasar melampiaskan rasa kesal karena perbuatan sang tabib.
"Mphhh..." Desah Jisung tertahan, Jaemin menyesap lidahnya, mengigit bibirnya kasar.
Tangan kanan Jaemin meremas pinggang Jisung, sedangkan tangan kirinya menekan kepala Jisung agar tidak melepaskan ciuman mereka.
"Mhhh," desah Jisung saat tangan kanan Jaemin mulai masuk ke rongga bajunya, Jisung membalas ciuman Jaemin tak kalah panasnya dengan yang dilakukan Jaemin.
Jisung juga merasakan kesal dengan sang tabib yang seenaknya beranggapan bahwa Jisung akan menjadi selir untuk membalas budi terhadap keluarga Na. Karena tangannya terluka Jisung tidak bisa meremas rambut Jaemin menyalurkan rasa kenikmatan dari ciuman dan gerakan tangan Jaemin. Jisung hanya mampu memejamkan mata dan sedikit mendesah di ciuman mereka.
Puas dengan perbuatan mereka, Jaemin menggendong Jisung yang menyenderkan kepalanya di dada Jaemin.
"Pastikan berita itu jangan sampai tersebar, kau tidak mau kan aku menjadi seorang selir dari bangsawan tua bangka yang mesum?" Seru Jisung, dia sadar sepenuhnya bahwa saat ini Jaemin adalah harapan satu-satunya untuk membalaskan dendam yang bersemayam dihatinya.
"Tenang saja, aku akan memastikan segalanya aman! Kau hanya perlu melayani diriku bukan bangsawan ataupun orang lain! Hanya aku," ucap Jaemin dengan segala perasaan posesifnya.
Jisung tersenyum miring, Jaemin sudah jatuh terlalu dalam pada lautan obsesi terhadap dirinya. Namun, Jisung masih ingin menggantung Jaemin lebih lama lagi.
"Bagus, hanya kau yang akan menjadi pemilikku!"
"Tentu, jadi kapan kau akan menjual hidupmu kepadaku?"
Soon>> O4 ; V E N O M
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO
Mistério / SuspenseMemuakkan! Kebencian yang aku pendam pada pria yang berada di hadapan ku sudah sampai ke sendi-sendi tulangku. Semakin besar kebencian ku, semakin aku merasa muak dengannya. "Jangan pergi!" "Kau tahu? Aku benar-benar membenci hingga rasanya aku...