“Mmm.. nakal Kamu..” Ibu dinda tersenyum merasakan tingkahku yang semakin “Jozz” itu.
Lalu aku duduk di antara kedua kaki Ibu dinda yang telah terbuka lebar, sepertinya sudah siap tempur. Ibu dinda kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangya.
“Ayo, sekarang Kamu rasakan memekku..!” ia membimbing telunjukku memasuki liang senggamanya.
“Hangat, lembab, sempit sekali Bu..” kataku sambil mengucek kedalaman liang kenikmatannya. “Sekarang jilat ‘kontol kecil’-ku..!” katanya.
Pelan-pelan lidahku mulai menjilat klitoris yang mulai menyembul tinggi sekali itu.“Terus.. oohh.. ya.. jilat.. jilat. Terus.. ohh..” Ibu dinda menggerinjal-gerinjal keenakan ketika kelentitnya dijilat oleh mulutku yang mulai asyik dengan tugasnya.
“Gimana.., enak ya Bu..?” aku tersenyum sambil terus menjilat.
“Oohh.. Soonn..” tubuh Ibu dinda telah basah oleh peluh, pikirannya serasa di awang-awang, sementara bibirnya merintih-rintih keenakan.Lidahku semakin berani mempermainkan kelentit Ibu dinda yang makin bergelora dirangsang birahi. Nafasnya yang semakin memburu pertanda pertahanannya akan segera jebol. Dan aku akan unggul 1-0, ee.. emangnya main bola.
Lalu, “Oooaahh.. Soonn..!”
Tangan Ibu dinda mencengkeram pundakku yang kokoh bagaikan tembok raksasa di China, sementara tubuhnya menegang dan otot-otot kewanitaannya mulai menegang, dan muncratlah‘lahar’Ibu dinda di mulutku. Matanya terpejam sesaat, menikmati kenikmatan yang telah kuberikan.
“Hmm.. Kamu sungguh lihai Soonn.. Sekarang coba gantian Kamu yang berbaring..” katanya.
Aku menurut saja. Batang kejantananku segera menegang ketika merasakan tangan lembut Ibu dinda yang mulai mempermainkan senjata keperkasaanku.
“Wah.. wahh.. besar sekali. Oh my god.. Ohh..” tangan Ibu dinda segera mengusap-usap batang keperkasaanku yang telah mengeras tersebut.
Segera saja benda besar dan panjang itu mulai berdenyut-denyut dan dimasukkan ke mulut Ibu dinda. Dia segera menjilati batang kemaluanku itu dengan penuh semangat. Kepala kejantananku itu dihisapnya keras-keras hingga aku jadi merintih keenakan.
“Ahh.. enakkee.. rekk..!” aku tanpa sadar menyodokkan pinggulku untuk semakin menekan senjata keperkasaanku agar makin ke dalam mulut Ibu dinda yang telah penuh oleh batang kejantananku. Gerakanku makin cepat seiring semakin kerasnya hisapan Ibu dinda.
“Ooohh Bu.. oohh.. mulut Ibu memang sakti.. ohh.. I’m coming.. ohh..”
Muncratlah laharku di dalam mulut Ibu dinda yang segera menjilati cairan itu hingga tuntas.. tas.. tas.. plass.
“Hmm.. agak asin rasanya Son punyamu.., tapi enak kok..” Ibu masih tetap menjilati kemaluanku yang masih tegak bagaikan tugu Monas di Jakarta, menara Piza di Italy, menara Eiffel di Paris.
“Sebentar ya.., Aku mau minum dulu..” katanya setelah selesai menjilati batang kejantananku.
Ketika Ibu dinda sedang membelakangiku sambil menenggak air putih dari kulkas. Aku melihat body yang wuih dan itu ohh, pantat yang bulat. Aku memang suka pantat yang bulat dan menantang. Aku tidak tahan cuma melihat dari jauh, lalu aku berdiri dan berjalan menghampirinya, lalu mendekapnya dari belakang.
“Sonn.. jangan nakal dong, biar Ibu minum dulu..!” katanya manja.
“Aku tidak tahan melihat pantat ibu yang bulat dan menantang itu.” kataku tak sabaran.
“Kamu suka pantatku, kalau gitu Kamu tentu mau kalau nanti pantatku mendapat giliran untuk Kamu obok-obok, bagaimana Son..? Mau ngobok-ngobok pantat Ibu..?” tanyanya.