..
"Uhuk! Ugh!"
Dia mengeluarkan banyak air dari dalam tubuh lewat mulutnya. seolah baru saja tenggelam.
Matanya memerah dan wajahnya pucat. Matanya meliar menatap ke sekeliling, mencari siapa yang ada di sini.
"Itu rasanya kalo Lo ngga nurutin apa kata gue." Ucapan itu adalah sambutan pertamanya.
Jantungnya berdebar. Hema. Saudara tiri, Anak dari Ayah tirinya.
Wajah itu, bukan seperti yang biasa Ia lihat. Seolah Dia berubah menjadi lebih muda dalam sekejap.
"Heh bego! Denger ngga lo?!"
Pekikan itu kembali menyadarkan Jamaika dari lamunannya. Tubuh yang basah dan lengket itu membuatnya sadar.
Dia pernah merasakan hal ini dahulu, saat minggu pertama Hema, Anak dari Ayah tiri nya, bergabung di keluarga mereka.
Jamaika. Berdiri dan menatap Hema yang tidak lebih tinggi darinya, dengan itu, membuat Jamaika, Mika atau mereka biasa menyebutnya Ai. Menatap Hema dengan kepala yang sedikit menunduk.
Mika menatap Hema sedikit intens, membuat remaja labil itu mendorong bahunya kasar.
Mika terkekeh. Siapa orang bodoh yang tak menyadari apa yang tengah terjadi padanya.
Selain itu, Dia merasa puas bahwa Dia kembali di waktu yang terlalu jauh, meskipun tak bisa menghentikan proses pernikahan sang Mama dan Papa tirinya.
Mika pergi meninggalkan Hema di bibir pantai, dengan wajah kesal yang masih terpampang di wajah Hema.
Lani, Sosok Mama yang dahulu Ia amat segani dan kagumi rupanya, hanya wanita egois yang tak mau memikirkan pendapat dan keluhannya.
Hingga ketika Ia berjalan melewati mereka berdua-pun. Beliau sama sekali tak meliriknya.
"Hema sayang."
Atau mungkin sedang mencuri hati Anak tirinya. Mika miris, Dia bahkan tak pernah paham akan hal ini sebelumnya.
Apa Dia amat tidak peka?
Kesan Mika memang cupu, nolep dan lugu, atau lebih terkesan seperti Anak bodoh.
Helaian rambut yang selalu menutup wajahnya itu menambah kesan suram yang bisa menimbulkan rasa jengkel kala beberapa Orang melihatnya.
Mika mendengus. Menyugar helaian rambut basahnya ke belakang. Dahi cantiknya menjadi atensi beberapa Orang yang tak sengaja menatapnya.
Atau seperti mata sirennya yang mengambil alih kesadaran pengunjung pantai yang harus merelakan air kelapanya jatuh karna terlalu fokus padanya.
Atau seperti beberapa perempuan yang menggigit jari saat melihat bibir kecil nan tebal miliknya.
Mengapa dengan begitu mudah Orang-orang terpesona padanya? Apa memang semudah itu?
Lantas, bagaimana bisa, sejauh dirinya hidup dahulu, Mika tak mengandalkannya?
Karna Dia tak suka perempuan.
Apa?
Sekali lagi?
Karna Mika tak suka Perempuan. Atau lebih tepatnya tidak tertarik pada perempuan.
Entah gangguan seksual atau semacamnya. Namun, sekarang ia bahkan tak merasa terganggu atas kenyataan itu.
"Mika."