9. Pria Yang Paling Kubenci

8 5 8
                                    

Ojek online yang dinaiki April sewaktu pulang sekolah mengalami kecelakaan. Aku nggak tahu bagaimana detail kecelakaan itu bisa terjadi, tapi untungnya nggak ada korban jiwa dalam kejadian sore itu.

April dilarikan ke rumah sakit terdekat. Salah satu kakinya patah, tapi kata dokter itu bukan luka permanen dan akan sembuh dalam waktu beberapa minggu. Ada beberapa luka robek di siku dan lengan akibat tergores aspal, nggak terlalu besar, jadi nggak perlu dijahit. Temperatur tubuhnya naik. Rasa syok membuat April terkena demam tinggi. Selain itu semua, kurasa nggak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan.

“Bagaimana ini, Pa?” Wanita tua itu bertanya ke pria tanpa wajah yang sedang berjalan mondar-mandir di ambang pintu. “Mama nggak usah ikut ke luar kota, ya. Papa bisa kan ngurus klien itu sendiri?”

Pria tanpa wajah itu nggak menjawab. Kakinya terus bergerak, bersamaan dengan tangan dan jari-jarinya yang terus menekan-nekan layar ponsel yang menyala.

Beberapa kali pria tanpa wajah itu menelepon seseorang. Beberapa kali juga dia bicara dengan orang yang ada di balik panggilan itu, meminta izin untuk mengundur pekerjaan yang harus dia lakukan di luar kota, menjelaskan peristiwa naas yang dialami putrinya itu sebagai alasan. Hasilnya?

Cahaya memudar dari sayap peri-peri yang beterbangan di sekitar pria itu. Tanpa harapan, dia mematikan ponsel, lalu menyimpan benda pipih itu kembali ke dalam saku celana. “Nggak bisa,” katanya. Lesu, seolah tenaganya sudah terkuras habis dan nggak banyak yang tersisa lagi. “Tanggal dan waktu pertemuan itu sudah disepakati jauh-jauh hari. Klien kita orang penting yang punya jadwal padat, kita nggak bisa mengundur jadwal seenaknya.”

Jari-jari terkepal erat di kepalan tangan wanita itu. Kuteknya yang berwarna merah tua menyatu dengan keringat dan air mata. “Apa nggak ada cara lain?” Nadanya suaranya meninggi, cenderung mendesak. “Suruh orang lain aja. Teman-teman kerja Papa. Pak Ryan, Pak Bima, Pak Edi, atau siapa pun. Suruh mereka ambil alih proyek itu sementara.”

Sekali lagi Pria tanpa wajah itu menggeleng. “Nggak bisa. Mereka sudah punya proyek sendiri-sendiri. Papa sudah tanya barusan.”

Air mata semakin deras, jatuh membasahi pipi dan kerah baju wanita yang duduk di sebelah tempat tidur April itu seperti hujan yang turun di bulan November. “Mama nggak mau, Pa. Mama nggak bisa ninggalin April sendirian kalau keadaannya kayak gini!”

Pria tanpa wajah itu berdiri, frustrasi sambil menggigit bibirnya sendiri. “Papa juga nggak mau pergi, Ma. Papa juga nggak tega ninggalin April. Tapi ya... mau bagaimana lagi?”

Angin malam berembus melalui sela-sela jendela. Bintang-bintang dan bulan tertutup awan kelabu. Dari jendela tempat aku berdiri, kulihat pemandangan kota yang padat. Gedung-gedung yang menjulang ke atas awan, papan-papan iklan yang penuh cahaya, jalanan yang sesak karena kendaraan. Dengan keramaian yang ada di hadapan mataku itu, anehnya aku nggak mendengar apa-apa. Nggak ada bunyi klakson. Nggak ada suara mesin-mesin mobil yang menderu. Di dalam indra pendengaranku hanya ada isak tangis. Ingus yang ditarik kembali, rintihan penuh penyesalan. Peri-peri bersayap kelabu milik wanita itu memenuhi ruangan.

“Nggak... pa... pa..., Ma.” Dari atas tempat tidur, suara lirih itu membangunkan semuanya. “Ma-ma sama Papa kerja a-ja. Aku baik-baik aja, kok.” Walaupun dengan mata yang masih terpejam, April berkata seperti itu dengan yakin, seolah sadar dan melihat perdebatan kecil yang baru saja Papa dan Mamanya ributkan.

Wanita itu menyeka air mata yang berlinang di pelupuk mata, lalu menggenggam erat jari-jemari gadis yang tergeletak lemas di atas tempat tidur itu. “April, April yang kuat, ya. Mama ada di sini. Mama bakal nemenin kamu, kok.”

Cewek itu meringis, merasakan sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Walaupun begitu, dia tetap tersenyum.

Kuhela napas berat. Nggak pernah kubayangkan hal seperti ini bisa terjadi ke cewek manja itu. Peri-peri beterbangan, sayap-sayap berwarna merah dan kelabu melebur menjadi satu. Api kecilnya membentuk kehangatan yang nggak kumengerti.

Di tengah perasaanku yang sedang tercampur aduk, Pria tanpa wajah yang berdiri di dekat tempat tidur April itu melirikku. Matanya berbinar, menatapku penuh harap. Dia melangkah mendekatiku, lalu berlutut untuk mempertemukan mata kami berdua.

“Aulia, Ayah percaya sama kamu.” Dengan gerakan lambat, pria tanpa wajah itu menggenggam tanganku. Satu peri bersayap api yang terbang di dekatnya menyala terang, seketika membakar mata dan dadaku.

A...yah, katanya? Sudah berapa lama dia nggak memanggil dirinya sendiri dengan sebutan itu?

Ayah? Ayah? Ayah itu siapa?

Bodoh banget! Pria tanpa wajah itu... Aku nggak bisa menerimanya.

Mulut, hidung, dan mata pria itu kembali, membentuk wajah seperti sosok Ayah yang dulu kukenal. Seluruh tubuhku gemetar. Kakiku goyah dan rasanya aku hampir jatuh, masuk ke dalam lubang hitam tanpa ujung. Aku nggak bisa. Aku nggak mau. Peri api itu kembali membakar, bara dan panasnya membuat wajah pria itu kembali meleleh menjadi gumpalan daging yang nggak berbentuk.

Nggak boleh. Aku harus tetap kukuh dengan pendirianku. Kakiku harus kuat, nggak peduli lubang sebesar apa pun yang berusaha menyedotku.

Aku nggak mau dibohongi lagi. Nggak mau jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya.

Pria itu bukan ayahku. Bukan. Bukan. Bukan. Ayah yang kukenal cuma ada satu. Cuma Ayah yang setia mencintai Ibu. Bukan yang menikah lagi dan berlutut di hadapanku ini.

Aku ingin menutup kedua telingaku, berusaha menghindari setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Namun, percuma. Dia sudah sangat dekat, mata kami sudah bertemu dan aku nggak bisa pura-pura nggak dengar dengan mengalihkan pandangan begitu saja.

“Selama Ayah ke luar kota nanti, kamu bisa kan jaga April?”

Suara berat pria itu meremukkan tubuhku.

Aku nggak tahu. Aku nggak mau tahu. Apa yang dia harapkan dariku? Apa dia pikir aku akan mengangguk dan terima begitu saja permintaannya? Yang benar saja!

“Ayah percaya sama kamu, Aulia. Ayah yakin kamu bisa menjaga April saat Ayah sama Tante Melissa ke luar kota.”

Percaya? Yakin? Peri-peri yang beterbangan di seisi ruangan itu tertawa. Apa yang bisa di percaya? Apa yang bisa diyakini? Aku nggak habis pikir.

Dulu, Pria itu yang mengingkari janjinya denganku. Dia yang mematahkan batang mawar yang menghubungkan jari kelingkingku dan kelingkingnya. Dia yang sudah menghancurkan kepercayaanku. Pria egois yang suka mementingkan dirinya sendiri. Pembohong.

Pembohong yang nggak akan pernah kupercaya lagi.

Lalu sekarang dia seenaknya bilang ‘percaya’ kepadaku?

Peri-peri itu tertawa lebih keras, bukan hanya peri tapi juga semua benda dan perabotan yang ada di ruangan itu. Kursi kecil yang ada di sisi tempat tidur, laci, meja dan majalah-majalah kesehatan yang ada di atasnya, lampu, pintu, sampai gorden dan jendela yang ada di balik punggungku. Mereka semua tertawa terbahak-bahak, terbatuk-batuk, bahkan ada yang hampir muntah.

Batang mawar tumbuh dari kelingking pria itu. Dia memintaku berjanji untuk menjaga dan mengawasi April sewaktu dia bekerja di luar kota. Akan tetapi, aku nggak bisa berjanji. Aku nggak mau. Jari kelingkingku nggak mengeluarkan apa-apa. Semuanya sudah habis terbakar sejak hari pernikahannya beberapa minggu yang lalu.

Batang mawar yang keluar dari kelingking pria itu hanya menjadi duri, merambat tanpa arah karena nggak bisa menemukan jari kelingkingku. Nggak ada bunga mawar merah yang mekar. Nggak ada janji yang mengikat jiwa kami berdua.

Peri bersayap merah membakar wajah pria itu lebih dalam lagi. Api yang lebih besar, lebih panas, dan rasanya nggak akan bisa dipadamkan walaupun semuanya sudah hangus menjadi abu.

Aku benci pria itu. Benci, benci, sebenci-bencinya.

Dia yang sudah menghancurkan kepercayaanku dan seenaknya sendiri menaruh harapannya di pundakku. Pria terburuk yang pernah kukenal. Aku benci dia.

***

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang