24. Kabut di Tengah Hutan

5 3 8
                                    

“Aulia, boleh aku pinjam buku catatanmu?”

Walaupun April sudah boleh pulang ke rumah, tapi dia belum bisa bergerak bebas. Kakinya masih dalam proses penyembuhan, masih susah untuk dibuat berjalan. Tentu, bersekolah juga belum bisa. Seharian ini cewek manja itu cuma bersantai di atas tempat tidur, membaca majalah, bermain HP, atau entah apa pun yang dia lakukan.

Sepulang sekolah sore ini, dia memanggilku. Bisa kudengar dia menyebut namaku ketika aku ingin berjalan ke kamar.

“Ada apa?” dengan enggan, aku menjawabnya. Kuhampiri kamar cewek itu, kubuka pintunya, lalu kulihat dia sedang duduk bersandar di dinding kasur. Kakinya lurus, tertutup selimut.

“Di sekolah tadi, ada tugas atau PR, nggak?”

 Aku menggeleng. Tadi pelajaran matematika sudah masuk ke bab baru, pelajaran sejarah cuma membaca apa yang ada di buku dan diberikan sedikit penjelasan oleh guru. Kimia hanya praktik di lab. Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia juga cuma begitu-begitu saja. Nggak ada PR.

April kelihatannya mengerti. “Kalau gitu, aku pinjam buku catatan kamu, ya.”

Seketika alisku mengernyit. Peri-peri bersayap merah tentu nggak setuju dengan hal itu. Mereka berputar-putar di hadapanku, mengatakan kalau cewek manja itu nggak punya hak untuk meminjam buku catatanku, dan aku pun nggak wajib untuk menuruti permintaannya.

“Mending kamu fokus sama pengobatanmu aja,” kataku. Sorot mataku menajam, mencoba sedikit mengintimidasi April. “Nanti kalau sudah sembuh aja, kalau kamu sudah bisa sekolah lagi.”

Akan tetapi April sepertinya nggak terpengaruh. Senyumnya melebar, dan kulihat kilau matanya yang penuh harapan ketika sedang memandangku. “Pliiiisss, Aulia.” Dia mengatupkan kedua telapak tangannya, seperti sedang memohon. “Aku nggak mau ketinggalan pelajaran.”

Aku berdecih. “Catatanku nggak lengkap. Aku sering ngelamun di kelas.”

Tapi sekali lagi April tetap keras kepala. “Nggak apa-apa,” katanya. “Daripada nggak sama sekali.”

Cewek itu tertawa. Aku nggak ngerti apa yang lucu mengenai hal itu.

Kuhembuskan napas berat. Aku sudah kehabisan alasan. Akhirnya aku mengangguk, membuka tasku, lalu mengeluarkan buku catatanku.

“Terima kasih.”

Buku itu masih ada di tanganku, tapi April sudah lebih dulu berterima kasih, seolah yakin aku akan meminjamkan buku itu padanya.

Ya sudahlah, Dari ambang pintu tempat aku berdiri, aku melangkah masuk.

Kalau diingat-ingat, sejak pria tanpa wajah itu menikah lagi, ini pertama kalinya aku masuk ke kamar April. Ruangan yang dulunya kamar tamu yang membosankan dan biasa saja itu sekarang sudah berubah, menjadi kamar seorang gadis yang penuh dengan warna merah muda dan pernak-pernik yang menyilaukan mata.

Di sisi tempat tidur, ada beberapa boneka beruang yang berjejer rapi. Seperti barang koleksi, berang itu punya beberapa aksesoris yang bisa dibilang cukup lucu. Ada beruang grizzly yang memakai topi dan dasi kupu-kupu, beruang kutub yang memakai syal rajut berwarna biru muda, lalu juga yang memakai kacamata. Di sisi kamar yang lain, ada meja belajar dan rak penuh buku. Bisa kulihat tas sekolah April berada di sana, tergeletak di dekat lemari baju. Di sekitar area itu juga, ada sebuah gitar yang kelihatannya sudah tua. Gitar listrik yang warnanya sudah sedikit memudar, tapi entah kenapa masih terlihat bagus, seolah April sering merawatnya.

“Jangan lupa besok pagi kembaliin.” Kuperingatkan April ketika kuserahkan buku catatanku itu padanya.

Apri menerima buku itu dengan senyum. “Tenang aja,” katanya. “Nanti malam aku kembaliin, kok.”

Dia membuka buku, membolak-balik halamannya, lalu mengamati halaman tengah yang berisi catatan pelajaran hari ini.

“Tulisanmu bagus banget, Lia,” April berkomentar.

Aku ingin berterima kasih, tapi kuurungkan. Aku hanya diam, memberikan senyum canggung yang nggak bisa kuartikan.

“Bisa tolong ambilin buku catatanku yang ada di atas meja belajar itu?” April mengacungkan jarinya, menunjuk tumpukan buku yang berada di dekat tas sekolahnya.

Karena dia belum bisa bergerak bebas, jadi mau nggak mau aku harus mengambilkannya. Aku melangkah mendekati meja belajar berwarna merah jambu itu, mengambil buku sesuai yang April mau. Di sana, mataku nggak sengaja bertemu dengan gitar tua yang bersandar di dekat lemari.

“Kamu... bisa main gitar?” aku iseng bertanya begitu, sambil memberikan buku catatan kepada April.

Cewek manja itu mengangguk pelan. “Bisa,” katanya. “Dikit-dikit.”

Alisku terangkat, sedikit nggak percaya. Akan tetapi, melihat adanya sebuah gitar yang tergeletak di sudut kamar ini, mungkin April memang bisa bermain gitar seperti apa yang dia bilang.

“Papa yang mengajariku.”

Papa? Siapa yang dia maksud? Pria tanpa wajah itu? Kayaknya nggak, deh. Sejak aku kecil, pria tanpa wajah itu kelihatannya nggak terlalu tertarik dengan dunia musik. Nggak pernah juga kulihat dia main gitar. Jadi, ‘Papa’ yang dimaksud April kali ini mungkin... Ayah kandungnya?

Satu peri kecil muncul dari kilau mata cewek itu. Sayapnya yang berwarna kelabu mengepak, membawa makhluk kecil itu terbang mengelilingi gitar tua yang tersimpan di pojok ruangan.

“Gitar itu dulunya juga punya Papa.” Bibir April membentuk senyum kecil. “Dia sayang banget sama gitar itu.”

Aku... nggak ngerti mau bicara apa. Aku hanya berdiri, diam di samping tempat tidur cewek manja itu.

Aku nggak pernah berpikir tentang ayah kandung April sebelumnya. Apa yang terjadi padanya, kenapa mereka bisa terpisah. Karena masalah rumah tangga? Atau karena pria itu memang sudah tidak ada? Meninggal, mungkin? Terkena penyakit, atau sesuatu yang lain?

Aku nggak tahu. Aku nggak berani bertanya. Lagi pula, itu juga bukan urusanku. Aku nggak mau ikut campur terlalu jauh ke dalam kehidupan April dan keluarganya.

Walaupun begitu, ada satu hal yang nggak bisa kupungkiri.

Peri kecil bersayap kelabu yang keluar dari mata April itu, membuat penglihatanku tertutupi kabut.

***

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang