20. Pandora Concerta

7 3 14
                                    

Rasa sakit pergilah.

Putri kecilnya tak bersalah.

Peri-peri tolonglah.

Kembalikan senyumnya seperti semula.

Jauh di dalam kegelapan hutan yang nggak boleh dimasuki oleh siapa pun, aku terus menyanyikan mantra. Nggak ada luka. Nggak ada darah yang menetes. Nggak ada tulang yang terkilir ataupun patah. Namun, entah kenapa rasanya sakit banget. Sesak. Serbuk sari dari bunga lili berwarna oranye itu mencekikku, memenuhi dadaku dengan peri kelabu.

Kenapa jadi begini?

Cowok yang seharusnya bisa kupercaya.

Cowok yang sudah jadi sahabatku sejak kecil.

Hanya karena foto-foto yang kupasang di internet, Yudis menuduhku? Katanya, aku ingin pamer ke April? Ingin membuat cewek itu sedih karena nggak bisa datang ke acara pembukaan pasar malam?

Yudis yang dekat denganku lebih dari siapa pun...

Aku nggak ngerti lagi.

Di matamu, aku ini terlihat seperti apa sih, Dis?

Cuma tetangga biasa yang nggak penting? Teman yang merepotkan dan selalu minta bonceng bareng? Cewek biasa yang benci sama saudara tirinya sendiri? Cewek yang selalu berandai-andai kalau lebih baik ibu dan saudara tirinya itu mati dan menghilang saja dari muka bumi ini?

Apa itu yang kamu lihat dariku, Dis?

Aku, seorang bawang merah yang selalu membuat bawang putih menangis? Aku, seorang saudara tiri yang jahat dan suka melakukan hal buruk kepada Cinderella?

Lagi pula, apa salahnya sih benci April? Cewek itu saudara tiri yang nggak ada hubungannya denganku, jadi wajar saja dong kalau aku membencinya?

Kenapa kamu nggak setuju dan malah membela April sih, Dis?

Kamu kan seharusnya paling tahu tentang perasaanku.

Kamu seharusnya mengerti.

Kuhembuskan napas panjang, mencoba mengeluarkan gumpalan serbuk sari yang memenuhi dadaku. Sayangnya, nggak ada yang berubah. Semua masih terasa sama. Peri-peri bersayap kelabu masih beterbangan di seluruh bagian hutan, menjatuhkan daun-daun kering ke depan pipiku.

Lama.

Sudah berapa lama aku di sini?

Apa sudah waktunya makan malam? Aku nggak tahu. Nggak ada cahaya matahari yang masuk ke hutan ini. Semuanya terhalang oleh daun-daun lebat dan awan mendung yang menggumpal. Satu-satunya alat yang menunjukkan waktu hanya ponsel mati yang berada di genggamanku. Dengan segenap kekuatan, kuberusaha untuk menyalakan kembali benda itu.

Ada banyak pesan masuk, tapi aku sama sekali nggak berniat untuk membukanya. Ada beberapa panggilan masuk juga, dari Yudis yang nggak kuterima. Kuabaikan semua itu, dan hanya melihat beberapa angka yang tercantum di pojok kanan atas layar.

Dengan kesunyian yang kurasakan di dalam hutan ini, kupikir sekarang sudah sekitar jam sepuluh malam, tapi ternyata aku salah. Masih jam tujuh. Jauh dari jam makan malam atau jam tidur.

Kuulurkan satu tanganku ke udara. Tepat di ujung telunjuk, satu peri kecil hinggap. Peri bersayap kelabu itu memberitahuku.

“Ada yang datang,” katanya.

Awalnya aku nggak ngerti apa yang dia maksud. Ada yang datang ke dalam hutan kegelapan ini? Siapa? Penyihir jahat yang ingin memetik apel beracun? Pemburu yang mencari monster? Atau mungkin seorang pembunuh yang ingin menyembunyikan mayat korbannya? Aku nggak habis pikir. Siapa sih, yang datang di saat seperti ini?

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang