10. Pengkhianat

7 4 11
                                    

“Kami janji kami bakal cepat pulang. Sampai saat itu, tolong jaga April, ya.” Dengan air mata yang sudah mengering, wanita itu memelukku.

Aku nggak bisa membalas pelukannya. Aku cuma berdiri diam seperti manekin, menatap kosong ke arah pintu mobil yang terbuka. Pria tanpa wajah itu duduk di kursi pengemudi. Mesinnya sudah menyala. Laptop, berkas-berkas dokumen, dan barang-barang yang mereka butuhkan juga sudah siap di dalam tas yang dibawanya.

Apa mereka benar-benar serius?

Apa pria itu benar-benar percaya padaku dan membiarkanku mengurus ptri manjanya ini sendirian?

Wanita itu sudah memberikanku cukup uang, lengkap dengan kartu kredit yang bisa kugunakan untuk keperluan darurat. Biaya administrasi rumah sakit sudah mereka lunasi, begitu juga dengan biaya kamar, obat, dan lain-lain. Seharusnya aku nggak perlu terlalu pusing dengan keuangan. Walaupun begitu... aku masih nggak menyangka.

Aku yang selama ini selalu membenci mereka, melirik mereka dengan tatapan sinis, selalu menghindar kalau diajak mengobrol sama mereka. Dan sekarang, mereka mempercayakan putri kesayangan mereka padaku?

“Ayah tahu kamu anak baik, Aulia.” Pria tanpa wajah itu tadi berkata seperti itu sebelum masuk mobil. “Ayah yakin kamu bisa diandalkan.”

Apa kalimat seperti itu pantas diucapkan oleh orang yang sudah membohongi dan mengingkari janjinya padaku?

Aku nggak tahu. Peri-peri mengelilingi pria tanpa wajah itu seperti lebah yang beterbangan di sekitar sarang. Sayap-sayap berwarna merah mendominasi, kepakkannya membuat telingaku berdengung, nggak bisa mendengar apa-apa.

“Tenang aja, Om, Tante. Kami pasti jaga April, kok.” Di sebelahku Yudis memberikan senyum lebar, menyuruh pria tanpa wajah dan wanita tua itu agar nggak terlalu khawatir. “April pasti baik-baik saja sama kami.”

Wanita tua yang memakai blazer berwarna biru dongker itu tersenyum, mengusap pucuk kepala Yudis, lalu berterima kasih dengan suara yang terkesan lembut.

“Kalau begitu, kami berangkat dulu, ya.”

Setelah pamit dan memastikan semua kebutuhan kami terpenuhi, mobil yang mengangkut sepasang orang tua palsu itu pun melaju. Mereka keluar dari area parkir rumah sakit, lalu menyatu dengan mobil-mobil lainnya di ujung jalan.

“Kenapa kamu setuju begitu aja, sih?!” aku bertanya ke Yudis. Cowok itu datang sejak beberapa jam yang lalu setelah pulang sekolah. “Kenapa kamu mau aja disuruh jagain April?”

Yudis mengernyit mendengar pertanyaanku itu, seolah ada sesuatu yang aneh. “Emang apa salahnya?”

Eh, dia malah balik tanya.

“April itu saudara lo, kan? Temen kita. Temen gue. Jadi wajar aja dong kalau gue mau nemenin dia pas lagi sakit kayak gini?”

Apa yang salah? Aku sendiri juga nggak tahu apa yang salah. Hanya saja, ada rasa sesak yang nggak kumengerti tiba-tiba menyerang dadaku. Perasaan yang aneh, suara-suara yang bicara di dalam telingaku, mengatakan kalau semua ini nggak benar.

Aku nggak seharusnya menemani April di sini, begitu juga dengan Yudis.

Alasannya? Aku nggak tahu. Aku cuma nggak mau. Peri kecil dengan sayap yang berbentuk seperti kelopak mawar itu memberi tahuku kalau ada yang salah. Dia berputar-putar dengan cepat, memberikan tanda bahaya ketika Yudis berada terlalu dekat dengan April.

Walaupun begitu, aku sadar nggak ada yang bisa kulakukan.

Aku nggak bisa begitu saja melarang Yudis untuk datang ke sini dan menjenguk cewek manja itu.

Aku nggak bisa melarang dia untuk masuk ke ruangan April di rawat, lalu duduk di kursi sebelah tempat tidur cewek itu,

Yang bisa kulakukan saat ini cuma bersikap setenang mungkin, menunggu jarum menit berputar, detik-demi detik hingga matahari perlahan turun di balik awan.

Tenang, Aulia, tenang. Nggak ada salahnya menemani April sebentar di rumah sakit ini.

Kukuatkan hatiku sendiri untuk melihat sesuatu yang menantiku ke depannya. Tinggal sebentar lagi. Beberapa jam lagi pasar malam itu akan dibuka. Nggak ada salahnya aku menjaga April di sini. Yang penting, aku masih bisa menikmati pasar malam itu nanti.

Benar begitu, kan?

Aku bertanya ketika kami berada di depan kamar rawat April. Setelah mengantar keberangkatan pria tanpa wajah dan wanita tua itu, Yudis dan aku kembali ke rumah sakit, menepati janji kami ke mereka.

Ada mesin minuman di ujung lorong. Yudis memasukkan selembar uang. Dua botol kecil air putih keluar dari mesin. Cowok itu memberikan salah satunya padaku.

“Lo bilang apa tadi?”

Sepertinya dia nggak dengar, jadi aku mengulangi pertanyaanku sekali lagi. “Nanti kita jadi ke pasar malam, kan?”

Yudis meneguk minumannya dengan cukup cepat, seperti orang yang habis olahraga dan benar-benar kehausan. Beberapa tetes air tumpah ke bajunya, tapi itu sama sekali nggak jadi masalah.

“Pasar malam?” Cowok itu menaikkan alisnya. “Nggak bisalah, Lia. Lo lupa? Kita kan harus nemenin April.”

Seketika cahaya yang dipancarkan peri-peri di sekitar Yudis itu padam, membuat cowok itu jatuh ke dalam bayang-bayang.

Nggak bisa? Apanya yang nggak bisa? “Kamu kan sudah janji mau nemenin aku ke pasar malam itu, Dis.”

Cowok yang duduk di sebelahku itu menggeleng. “Sekarang situasinya udah beda,” katanya. “Gue mau aja nemenin lo pergi ke pasar malam itu, tapi entar siapa yang jagain April?”

“Kan ada suster sama dokter!”

“Nggak.” Sekali lagi Yudis menggeleng. “Gue nggak bisa. Gue udah janji sama ayah lo buat jagain April.”

Lalu bagaimana tentang janji kita?

Kamu sendiri yang bilang akan menemaniku pergi ke pasar malam itu.

Kamu sendiri yang bilang akan menemaniku naik wahana, makan es krim atau apa pun yang aku mau.

Apa janji itu nggak ada artinya, Dis?

Apa semua yang kamu bilang kemarin itu cuma main-main?

Yudis mengucapkan satu mantra andalannya. Peri-peri dengan sayap biru beterbangan. Namun, semua itu sia-sia.

Api yang muncul dari peri merahku sudah berkobar besar mengelilingi tubuh Yudis. Butiran-butiran air dari peri biru itu nggak bisa memadamkannya, sekeras apa pun mereka mencoba. Bahkan setelah beberapa lama, peri-peri bersayap biru itu juga ikut terbakar. Tubuh kecil mereka berubah menjadi abu, lalu hilang begitu saja terbawa angin.

Tinggal satu peri yang tersisa di sisi Yudis. Peri dengan sayap berbentuk kelopak bunga mawar.

Peri kecil itu bertahan dari badai api yang menerpanya. Seluruh amarah dan kekecewaan yang kurasakan, seolah nggak berarti apa-apa di hadapan peri itu. Bukan hanya itu. Yang terjadi selanjutnya malah lebih buruk.

Peri bunga itu melemparkan kembali bola-bola apinya ke arahku, membuatku terbakar dan merasakan sesak yang sangat mendalam. Rasanya seperti nggak bisa bernapas, nggak tahu kenapa.

Hal ini nggak pernah terjadi padaku sebelumnya.

Peri bersayap mawar itu menyerangku?

Perasaan yang kumiliki menyakiti diriku sendiri?

Kenapa bisa begitu?

***

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang