BAB 3

8 2 0
                                    

⚜️

Air mata Annachi terus saja menetes, seakan mencoba menceritakan bagaimana tersiksa nya gadis kuat tersebut. Mencoba menceritakan bagaimana sakitnya ketika ia di abaikan oleh ayahnya hingga tak segan berlaku kasar padanya. Air matanya begitu ingin sekali menceritakan sebuah kisah miris dari sang tuan.

Annachi menagis dalam diam, tak mengeluarkan isakkan sama sekali. Ia menatap sendu pada netra sang ayah yang menatapanya rumit.

"Dari kecil, ayah gak pernah senyum sama Acii, bahkan sampai sekarang. Selama 17 tahun ayah gak pernah nampakin senyum ke Acii, seakan-akan senyum ayah itu sangat mustahil buat Annachi lihat sedetik saja."

"Kalo semisal senyum ayah itu mahal, bilang sama Acii berapa harganya. Biar Acii bisa nabung terus beli senyum ayah meskipun gak sampai sedetik. Acii...
cuman pengen lihat ayah senyum ke Acii, makanya Acii ngelakuin semua itu"

"Jujur, ada 4 alasan yang Acii punya, makanya sampai bisa berani ngebohongin ayah selama ini" Annachi menatap lekat bola mata sang ayah. Meemandang wajah ayahnya yang tampak sudah keriput. Sungguh, ingin sekali Annachi berjalan mendekati ayahnya dan menyentuh wajahnya.

"Yang pertama, Acii pengen ayah akuin sebagai anak. Kedua, Acii pengen buat ayah bangga sama diri aku. Ketiga, Acii pengen ayah senyum ke Acii, meskipun sedetik itu udah buat Acii senang" air mata Annachi masih saja menetes.

Ia menatap dalam netra ayahnya. Bibirnya bergetar, seolah tak mampu untuk mengeluarkan isi hatinya, serta alasan ke4.

"Alasan ke 4, Acii takut ayah siksa"

Ya!! Itu adalah alasan terakhir Annachi. Ia takut, sangat takut ketika ayahnya kembali menyiksanya seperti dulu. Sungguh, Annachi tak ingin kembali merasakan siksaan ayahnya yang selalu bermain tangan.

"Ayah selalu main tangan sama Acii, ayah gak pernah mikirin keadaan fisik Acii saat di siksa. Ayah tau, rasanya sakit banget pas ayah cambuk, pas di tampar, bahkan saat ayah ngelampiasin emosi ke Annachi. Semuanya sakit yah. Tapi..." Annachi menjeda ucapan nya, mencoba menahan rasa sesak yang benar melandanya.

"Tapi.. yang lebih sakit itu, Acii gak di akui sebagai anak sama ayah" Farel benar-benar tak bisa menahan bulir bening yang sudah memberontak di pelupuk matanya, rasa sesak pada ulu hatinya sangat menguasai ketika mendengar segala keluh kesah dari Annachi.

"Tadi...Acii pulang di antar sama teman Acii. Dia bingung banget saat Acii bilangnya rumah ini itu rumah Acii, trus dia nanya ke Acii, Annachi posisinya di sini sebagai apa, Acii langsung jawab, kalo Acii itu anak bungsu di sini"

"Tapi teman Acii bilang kalo anak bungsu keluarga Azalfa itu Farel, bukan Acii. Rasanya sakit banget, yah. Rasanya sesak banget, saat Acii harus nerima kenyataan bahwa Acii gak bakal pernah di akui sebagai anak."

"Rasanya sakit, yah. Pengen nyerah" jantung Satria langsung saja berdetak kencang mendengar ucapan Annachi. Ia terdiam ketika merasakan rasa nyeri di hatinya. Bahkan Fairuz, Fadel dan Farel sudah mematung di tempat mendegar apa yang Annachi lontarkan.

"Acii selalu iri saat dengar cerita teman-teman di sekolah. Iri banget saat mereka mulai cerita tentang bagaimana baiknya sosok ayah mereka. Mereka bilang, pelukan seorang ayah itu nyaman banget. Sama halnya kayak pelukan seorang Ibu. Acii pengen banget ngerasain rasanya di peluk sama ayah itu gimana. Soalnya kalo minta peluk sama bunda, itu sulit, yah."

Annachi benar-benar mengeluarkan seluruh keluh kesahnya yang sudah terkubur dalam hatinya. Ia sangat menginginkan pelukan dari pahlawan hebatnya ini. Ia sangat menginginkan hal itu. Sangat!.

"Mereka bilang, ayah itu seorang pahlwan dan cinta pertama bagi anak perempuan. Tapi...kenapa ayah jadi luka pertama bagi Acii?" pandangan Annachi langsung terlihat kosong. Memandang pada netra ayahnya yang sudah terdiam dengan mata yang berkaca-kaca.

"Acii_" Satria menyebut nama sang putri dengan lirih, rasa sesak masih saja menggoroti hatinya. Ia benar-benar merasa jantungnya tertusuk oleh ribuan jarum, membuat nafasnya terasa tercekat. Ia memandangi Annachi, memandang sayu pada netra sang putri yang terlihat kosong.

"Kenapa, yah?"

"Ayah benci sama Acii?, karna kelahiran Acii ngebuat bunda meninggal?" Annachi bertanya dengan nada lirih, masih setia dengan pandangannya yang kosong. Ia seakan-akan seperti raga tanpa jiwa

"Annachii capek, yah. Pengen istrahat bentar" ujar Annachi, lalu berjalan menaiki tangga yang menghubungkan Lantai 1 dan lantai 2.

Annachi berjalan dengan pelan, masih setia dengan pandangannya yang mengosong. Berjalan meninggalkan 4 anggota keluarga nya yang sudah terdiam dengan perasaan sesak yang menguasai.

Fairuz mendongak, mencoba menahan bulir bening yang ingin sekali keluar. Rasanya benar-benar sesak, sangat sesak. Bahkan, ia tak pernah merasakan rasa seperti ini selama hidupnya. Ia langsung saja berjalan ke arah kamarnya, meninggalkan anggota keluarga nya yang lain.

Tubuh Annachi langsung meluruh di balik pintu kamarnya. Perlahan netra hitamnya mulai memanas, ketika rasa sesak itu semakin menguasai nya.

Ia benar-benar ingin menyerah. Andai saja bunuh diri bukanlah hal yang di larang oleh agama, maka sudah dari dahulu Annachi akan melakukan nya. Ia tak mampu, sangat tak mampu untuk menghadapi dunia kejam ini dengan seorang diri, tanpa uluran tangan dari anggota keluarga nya yang lain.

Terlalu banyak luka yang keluarga nya torehkan pada hatinya, seakan-akan luka tersebut harus di takdirkan dalam dirinya. Ia lelah, ia ingin sekali istrahat.
Jujur saja, do'a Annachi yang masih ia panjatkan sampai sekarang hanya lah 1, "bahagia".

Ya!! Annachi hanya menginginkan kebahagiaan. Ia ingin sekali merasakan kebagian yang tulus, bukan kebahagiaan yang ia buat dengan kepura-puraan.

Menciptakan banyak topeng agar terlihat bahagia bukan lah hal yang mudah. Ia harus selalu memasang senyum manis ketika berada di luar kamar, tetapi jika sudah berada di dalam kamar, maka topeng itu akan meluruh.

Setiap malam Annachi selalu menangis di dalam lemari kosong yang berada di kamarnya. Ia melakukan hal itu agar tak ada seorang pun yang mendengar tangisannya yang tersirat banyak luka.

Annachi berdiri dan perlahan berjalan ke arah lemari tempat benda-benda yang amat berharga dalam hidupnya.

Mengambil boneka panda yang warnanya sudah memudar. Ia menatap boneka tersebut dengan senyum tipis. Boneka yang berada di genggamannya adalah boneka pemberian ayahnya saat ia berumur 5 tahun.

Apakah kalian berpikir, Satria memberinya dengan ikhlas?, tidak!!.

Boneka ini di berikan dengan amat terpaksa. Dulu saat Annachi berumur 5 tahun, ia ingin sekali membeli sebuah boneka. Karna selama ini ia tak memiliki mainan apapun. Hanya 1, yaitu sebuah liontin yang sempat ibunya tinggalkan.

Annachi yang sewaktu itu menginginkan sebuah boneka, merengek kencang ke ayahnya. Hingga ayahnya menyuruh salah satu maid mengambil sesuatu yang berada di tong sampah dekat mansion. Dan benda tersebut adalah boneka panda yang sekarang berada di pelukan Annachi.


*
*
*
*
*
*

"Terlalu banyak suara yang saya dengar, dan lebih dari setengah nya itu menyakitkan. Boleh tidak tutup telinga saya sebentar, sebelum air mata saya jatuh. Sebab saya takut, topeng bahagia saya luntur" Annachi Zahira.

Change In The AntagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang