Bab 1

6.8K 453 37
                                    



"Apa aku harus membawamu ke rumah sakit?"

Awalnya Rindi hanya mengernyit saat suaminya berkata demikian. Kedua tangan yang ia lingkarkan di lengan Kresna pun masih berada di sana. Ia lalu akan menyahut ketika bibir pria yang usianya terpaut sepuluh tahun lebih tua darinya itu kembali bergerak dan menyerangnya dengan kalimat yang halus tapi sangat pedas.

"Karena sepertinya telinga kamu bermasalah. Sudah ratusan kali aku bilang, jangan pernah merengek dan meminta hal konyol seperti tadi."

Pegangan Rindi di lengan sang suami terlepas sebab Kresna menarik tangannya, perlahan tapi bertenaga. Lelaki dengan ekspresi kekesalan yang teramat kentara tersebut lantas menyambung perkataannya yang belum selesai.

"Seperti inilah aku. Kalau kamu nggak suka dengan sikapku, kamu tau di mana pintu keluar rumah ini. Dan satu lagi, jangan terlalu banyak bicara, lama-lama aku benar-benar muak mendengarnya."

Kresna gegas menjauh begitu mulutnya terkatup. Ia bahkan tak mau repot-repot menoleh pada sang istri yang membatu di tempatnya berdiri. Hingga mobil membawa tubuh Kresna menghilang pun, Rindi masih tak bergerak. Bertetes-tetes air kemudian berlomba keluar dari kedua matanya, terjun bebas membasahi pipinya yang mulus.

Laki-laki yang Rindi nikahi memang memiliki sikap yang kaku dan sedingin es di kutub utara. Akan tetapi, sikap itu jarang ditunjukkannya pada perempuan-perempuan penghuni rumah ini, kecuali Rindi.

Kresna bisa sangat lembut dan perhatian pada ibu kandungnya sendiri juga pada Ajeng, anak gadisnya bersama Rindi yang berumur 11 tahun. Namun dengan Rindi, lelaki itu seolah tengah menghadapi orang asing. Tak pernah ada kata-kata manis atau pelukan sehangat senja dalam pernikahan mereka.

Sekarang pikiran Rindi sedang mencari-cari penyebabnya. Mengapa sikap Kresna tak juga mencair setelah sekian lama? Apa yang salah dalam dirinya? Ia sudah berperan menjadi istri, ibu, dan menantu yang baik.

"Nduk ...."

Rindi menelengkan kepala ketika punggung tangannya disentuh seseorang. Lalu, senyuman kecil ia bentuk di sudut bibirnya yang kaku.

Perempuan dengan garis-garis penuaan yang sangat jelas di wajahnya, duduk di kursi roda, lekas menggenggam tangan kanan Rindi erat. "Maafkan Kresna ... mungkin dia sedang banyak pikiran."

Gelengan samar, Rindi perlihatkan. Sikap sang suami dari dulu sudah seperti itu, jadi jelas masalahnya bukan beban pikiran. "Njih, Ummi ... sudah saya maafkan ...." Perempuan itu lantas berjongkok, menyamakan tingginya dengan sang ibu mertua.

"Tolong jangan marah sama anak ummi ...," pinta Masita. Wajah mertua Rindi itu muram. Pasti ia sedih, sudah tak terhitung lagi banyaknya kepedihan dan tangisan yang dikeluarkan oleh menantunya.

Rindi kembali menggeleng. "Saya ndak marah. Hanya sepertinya ... saya sudah lelah."

"Nduk ...." Kedua bola mata Masita mulai berembun. Ia takut menantunya akan menyerah. Ia tak ingin Kresna kehilangan istri sebaik Rindi.

Menghela nafas yang mendadak terasa sulit dan berat, Rindi mengungkapkan satu keputusan yang mungkin mestinya sejak lama ia ambil. "Ummi ... apa saya boleh pergi? Saya ndak sanggup lagi ...."

Istri mana yang akan baik-baik saja kalau sepanjang pernikahan, suaminya selalu berbicara dengan ketus dan kadang dibumbui dengan bentakan. Perempuan mana yang sanggup bertahan dalam rumah tangga yang di dalamnya tak ada perhatian dan kasih sayang.

Rindi dari dulu sudah ingin sekali melepaskan diri. Namun, ia urungkan niat itu demi putri dan ibu mertuanya. Ia kemudian mengganti niat pergi dengan tekad kuat untuk merubah tabiat Kresna. Tapi pada akhirnya ia gagal berkali-kali.

Ingin Menepi (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang