Bab 5

2.7K 382 37
                                    



Hari ketiga, kegiatan ditutup sebelum jam makan siang. Kresna menyempatkan diri mengunjungi pusat oleh-oleh untuk mencari pesanan Ajeng sekaligus membelikan orang rumah beberapa pakaian berbahan dasar batik, sebelum ke bandara dan kembali ke Ibu Kota.

Pukul tujuh malam lebih sepuluh menit, taksi yang mengantarnya sampai di depan rumah. Ia turun dengan raut wajah gembira. Namun, ekspresinya berubah dalam sekejap ketika di ambang pintu rumah, ia menyaksikan istrinya berbagi tawa dengan seorang pria.

Kresna mengenali laki-laki itu. Anak tetangganya yang baru pulang satu bulan yang lalu usai menyelesaikan program magister di luar negeri.

"Jadi ceritanya dulu itu saya pas tidur pernah digigit sama tikus, makanya saya trauma sampai sekarang, Mas ...."

Suara dan tawa lepas Rindi membuat kaki Kresna terpaku. Ayah kandung Ajeng itu mengamati interaksi sang istri dan Deny dengan detakan jantung yang sangat kencang.

Beberapa hari terakhir, Rindi bersikap teramat kaku terhadapnya. Selama ia di luar kota, istrinya itu juga tak mau menjawab teleponnya. Tapi di sini, di rumahnya sendiri, Rindi tampak asyik berbincang dengan laki-laki lain.

"Tikusnya itu gede banget. Segini nih!" Rindi mengambil vas buka dari atas meja, lalu mengacungkannya ke arah Deny. Detik berikutnya, suara tawa keduanya kembali memenuhi ruang tamu.

"Ko bisa tikus sebesar itu masuk rumah, Mba?"

Deny, si tamu yang mampu membuat kekesalan Kresna merangkak naik ke ubun-ubun berusia satu tahun lebih tua dari Rindi. Tapi pria yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas swasta tersebut memanggil Rindi dengan embel-embel 'Mba'. Mencoba lebih menghormati sebab Rindi sudah bersuami.

"Bisalah, Mas ... rumah saya kan ndak ada langit-langitnya, maklum orang kampung. Eh, iya ... silakan, Mas Deny ... diminum dulu kopinya."

Sudah cukup. Kresna tak sanggup lagi mendengerkan lebih lama. Telinga dan hatinya terasa panas ketika sang istri memanggil 'Mas' pada pria lain dengan begitu merdu.

Langkah tegap Kresna mulai terayun. Tanpa menoleh dan bersuara sedikit pun, ia menyeberangi ruang tamu.

Rindi terperangah saat melihat sang suami masuk tanpa memperdulikan keberadaannya. Ia kemudian memasang wajah tak enak. Pasalnya, Deny tampak terheran-heran dengan sikap Kresna, yang pasti bagi sebagian orang, perbuatan Kresna bisa dikatakan tidak sopan.

Deny lekas undur diri setelah menyesap sedikit kopi yang terhidang di samping sepiring bolu keju. Ia jelas merasa jika atmosfer di rumah itu telah berubah menghitam.

Sepeninggal tetangganya, Rindi bergegas masuk ke kamar. Di sana, koper dan tas suaminya tergeletak tak beraturan di depan lemari. Dugaan Rindi, Kresna melemparkannya sembarangan.

Sementara Kresna sepertinya ada di kamar mandi. Ada suara gemericik air yang dapat Rindi dengar.

Rindi langsung mengambilkan baju ganti. Sewaktu ia tengah menutup lemari, pintu kamar mandi terbuka. Kresna menghampirinya terus menyambar piyama di tangannya dengan kasar.

Helaan napas berat, Rindi buang bersama sisa kesabaran yang semakin sedikit jumlahnya. Ia lantas memilih pergi ke dapur untuk menyiapkan wedang jahe. Kresna biasanya meminta minuman itu sepulangnya dari perjalanan jauh.

Dengan membawa segelas wedang jahe di atas nampan, Rindi mendekati ruang tengah. Semua orang ternyata sudah berkumpul di sana. Kresna sedang membagikan oleh-oleh.

Gelas yang isinya masih mengepulkan asap, Rindi taruh di atas meja, perempuan itu lantas duduk di sofa paling ujung, dekat dengan televisi.

"Yee ... semua yang aku mau, Ayah beliin. Terima kasih, Ayah ...." Ajeng bersorak tanda bahagia. Tangannya memegang boneka panda dan tempat pensil dari kain batik. Sedangkan di pangkuan gadis itu ada baju tidur dengan corak batik parang juga sebuah tas kecil dari rajutan benang wol.

Ingin Menepi (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang