17. Terima Kasih

1.7K 147 1
                                    

17. Terima Kasih

"Hidup memang nggak selalu sesuai sama keinginan kita. Tapi kita selalu punya pilihan untuk tetap bahagia sekali pun keadaan memaksa untuk menyerah."

***

"Mentari pacaran sama Semesta sebenarnya cuma karena hartanya aja. Bukan karena cinta. Buktinya kelihatan banget gimana sikap dia ke Semesta selama ini. Dia kelihatan jutek kalau sama Semesta. Kelihatan kalau cuma mau numpang hidup enak doang."

Langkah Mentari dan Semesta berhenti tepat di ujung koridor ketika mendengar kalimat itu terucap dari beberapa cewek yang berjalan di belakang mereka.

Kedua tangan Mentari mengepal kuat seiring dengan napasnya yang kian memburu menahan emosi. Ia berbalik badan hendak menghampiri Jena dan dua temannya—Aradea dan Lizzie—yang kini berhenti lima langkah dari tempatnya. Sayangnya pergerakan Mentari dengan cepat dihentikan oleh Semesta. Cowok itu mencekal pergelangan tangan Mentari, lalu menyembunyikan Mentari di balik punggung lebarnya.

Tangan besar Semesta semakin turun hingga cekalan tangannya berganti menjadi genggaman erat. Semesta membawa Mentari berjalan menghampiri Jena, Aradea, dan juga Lizzie yang tampak masih mematung di tempatnya. Hingga mereka berlima, berdiri di tengah-tengah koridor dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Dengan jarak satu langkah.

"Coba lo ngomong di depan gue," suruh Semesta tanpa ekspresi. Ia menatap ketiganya bergantian. Dan terakhir tatapan mata elangnya berhenti tepat di Jena. Cewek itulah yang terlihat paling benci dengan Mentari. Entah apa penyebabnya. Apalagi setelah kejadian mengenai nilai kemarin.

Mendapat tatapan demikian dari Semesta, bukannya takut, Jena, cewek yang mengenakan dress selutut berwarna hitam dengan rambut kuncir kuda itu justru tertawa pelan. Tawa yang sebenarnya bertujuan untuk meremehkan Mentari yang kini tengah menatap dirinya dengan tatapan berapi-api.

Jena mengangkat sebelah alisnya. Membalas tatapan Mentari dan Semesta begitu santai. Tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Lo mau protes, Ta? Bukannya apa yang gue, Aradea, dan Lizzie omongin barusan itu emang fakta? Mentari cuma mau harta lo. Bukan mau lo."

Semesta menghadang Mentari yang hendak maju ke arah Jena. Ia melemparkan tatapan lembut pada Mentari. Mengisyaratkan agar cewek itu tetap tenang. Biar dirinya saja yang menghadapi ketiga teman kelas mereka yang suka mencari gara-gara ini.

Memutar bola matanya malas, Jena lalu melanjutkan ucapannya. Ia menatap Semesta dengan kedua alis terangkat setelah memberikan lirikan sinis sekilas ke arah Mentari. "Harusnya lo sadar kalau cuma dimanfaatin Mentari, Ta. Bukan malah bucinin cewek kayak—"

"Diem, lo!" sentak Semesta membuat bibir Jena kembali terkatup karena kaget.

Semesta menatap Jena dengan kilatan penuh amarah. Tadinya Semesta tidak mau marah-marah tidak jelas dengan manusia sejenis Jena ini. Karena hal itu hanya akan menghabiskan energi dan membuang-buang waktu. Namun, melihat cewek itu tidak berhenti menghina Mentari, bahkan dari kemarin-kemarin, ia jadi geram sendiri. Ia tidak terima Mentari diperlakukan seperti itu. Jangankan oleh Jena yang notabene hanya orang lain, Kakeknya saja berani ia lawan kalau sampai menghina Mentari.

Semesta menunjuk ke arah Jena menggunakan jari telunjuknya. Ia menatap Jena penuh ancaman. Seumur hidup baru kali ini ia bertengkar dengan cewek dan merasa sedendam itu. "Kali ini gue masih maafin lo. Tapi sekali lagi gue tau lo ngomongin cewek gue, apalagi sampai jelek-jelekin cewek gue, habis lo sama gue!"

Semesta menambahkan. "Lo berdua juga!" katanya menatap bergantian ke arah Aradea dan Lizzie yang hanya diam sejak tadi. Mereka memang tidak seberani Jena untuk menghadapi kemarahan Semesta. Cowok pendiam, akan tetapi terlihat amat menyeramkan ketika sudah marah seperti ini.

PELUK UNTUK SEMESTA (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang