5. Mengapa Langit?

7 0 0
                                    

                   Happy Reading

Orang indonesia, budayanya suka ngaret. Namun sebenarnya sebagian dari mereka juga benci dengan budaya ngaretnya yang sebenarnya sudah 'mendarah daging' dan melekat sejati pada sumsum tulang dalam kultur mereka.

Walau dicap budaya orang indonesia. Tapi tak semua warga 'konoha' ini suka ngaret. Seperti Asha, Asha benci sekali sama orang yang ngaret. Tapi dia sendiri tak sadar daksa kalau ia juga sering ngaret. Kalau ia ngaret, berarti ia tak sengaja. Oke, begitu pembelaannya.

"Huh ... pegel pantat tepos gue ini," keluh Asha.

Yang sebenarnya maksudnya itu, ia telah duduk lumayan lama di kelas XII Ipa 4 ini. Kelas yang menjadi ruangan Lintas minat geografi mereka.

Setidaknya sudah mau memasuki tiga puluh menit. Namun guru yang mengajar, tak kunjung datang ke kelas tanpa pemberitahuan atau informasi apa-apa, atau paling tidak memberikan mereka judul materi, dan mereka akan mencarinya sendiri.

Setelah bokongnya panas juga, akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari kursi dan melangkah keluar kelas yang sedang di isi oleh tiga orang siswi. Murid yang lainnya sedang berada di luar kelas, karna jam pelajaran di kelas mereka belum juga dimulai.

Asha menghampiri Aruna yang terlihat mengabadikan langit siang menjelang sore ini pada kamera ponselnya. Asha ikut bersandar pada pembatas kelas ini. Di sampingnya ada Feldy yang terlihat mengobrol bersama Melana, teman dekat Asha dari kelas bahasa 2.

Gadis itu memfokuskan pandangannya pada langit biru yang terang di ujung siang ini. Awan-awan raksasa mencuri atensinya dengan warna putihnya yang lembut.

Hanyut dalam terang, namun kalem-nya warna langit. Asha diperlihatkan kepada keindahan di dalam kesederhanaan, namun nyatanya tidak sesederhana itu. Sinar matahari, udara, dan susunan atmosfer, berkolaborasi dengan begitu luar biasa. Sehingga menghasilkan warna biru yang chic ini.

"Ash, coba lihat yang ini gambarnya lumayan'kan?" tanya Aruna yang memperlihatkan layar ponselnya.

"Bagus ini. Angle pengambilannya juga tepat, kamera nggak mengecewakan. makanya ada lebih wah di foto ini."

"Iya, langit tuh kalau sekilas dilihat kayak b, aja. Tapi kalau diperhatiin cantik juga, dan bisa lebih dari itu. Apalagi pas moment-moment emasnya. Kayak pas sunrise dan sunset," tutur Aruna sambil tersenyum kagum.

"Awan-awannya yang bentuknya random dan lucu juga jadi pemanis di langit," sambung Aruna menatap langit dengan pandangan terkagum.

Dengan senyum merekah, Asha mengangguk dan kini menatap Aruna. Dapat ia lihat raut wajah gadis berambut ikal itu yang  cerah dan terasa penuh aura positif. Asha jadi teringat sesuatu.

Saat mereka berdua pertama kali mengungkapkan dari hati ke hati, kecintaannya akan hal yang suka dipandang dikala kesunyian menghampiri di tengah-tengah keramaian aktivitas.

Waktu itu seperti ini ...

"Oh ya? jadi lo orang yang suka lihat langit?" Asha memastikan dengan perasaan yang excited.

"Soalnya baru-baru ini, gue baru nyadar. Kalau langit itu ternyata cantik banget. Selama ini gue tahu langit emang bagus, tapi baru kemarin-kemarin ini, ketika gue gak lagi ngerjain apa-apa tapi banyak pikiran.

Gak sengaja sih, noleh ke atas. Terus pas lihat langit, untuk beberapa detik gue terdiam, hanyut dalam pengamatan sambil ngedeskripsikan langit dalam hati. Itu juga gk sengaja, ngalir aja. Makin lama mandang, makin gue nemuin keindahan langit yang gak pernah gue sadari. Setelah hari itu, setiap liat langit gue selalu tersenyum. Padahal sebelum itu mungkin lagi gak mood, atau biasa aja."

{Langit kita}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang