"Pak, jelas-jelas ini perundungan, kenapa bapak melepaskan mereka begitu saja tanpa diberi sanksi?" Bu Shani nampak kesal saat anak-anak nakal itu keluar dari ruang Bimbingan Konseling dan meninggalkan Raisha disini bersamanya dan Pak Joko-guru BP.
Pria itu menghela napas, ia menatap Bu Shani yang duduk bersama Raisha di depan mejanya.
"Maaf, Bu Shani. Tapi seperti yang ibu tahu, kita tidak bisa berbuat banyak karena posisi Kiara itu adalah anak dari donatur utama sekolah ini. Jika kita hukum dia, orang tuanya bisa tidak terima dan kita akan berada dalam masalah, Bu," ucap Pak Joko dengan nada yang membuat Bu Shani semakin kesal.
"Lalu kenapa Raisha di skors sedangkan gadis itu dibiarkan bebas begitu saja?" sergah Bu Shani lagi. Ia merasa hukuman untuk dua murid ini tidak adil.
Raisha yang sejak tadi diam kini semakin menunduk, ia memainkan jemarinya karena merasa gugup. Bahkan keringat terlihat membanjiri permukaan kulitnya.
"Raisha memukul Kiara, Bu Shani. Disini Kiara yang menjadi korban."
"Jadi bapak menuduh Raisha yang memukul Kiara begitu saja? Bapak, saya tahu Raisha, dia tidak mungkin melakukan hal itu jika tidak ada yang membuatnya emosi. Bapak juga bisa tanya siswa kelas 10 IPS 1 dan IPS 2, mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi karena kejadiannya di depan kelas mereka."
"Bu, saya minta maaf, ini sudah keputusan yang..."
"Yang tidak adil? Iya? Bapak ini guru konseling seharusnya tidak memihak siapapun, bapak harus adil!"
"Bu Shani..."
"Aku izin keluar." Raisha tiba-tiba berdiri dan memotong perdebatan antara Bu Shani dan Pak Joko. Ia rasa ini terlalu berat baginya mendengarkan dua orang dewasa berdebat tentang benar atau salah.
"Raisha kamu mau kemana?" tanya Bu Shani. Raisha yang sudah berada di ambang pintu itu lantas berhenti dan menoleh, "mau pulang."
Mobil sedan yang tadi pagi mengantar Shani sudah siap di depan gerbang sekolah, Gracia buru-buru datang kesini dari rumah sakit setelah Shani meneleponnya dan mengatakan kalau ada masalah.
Raisha berjalan ke arah mobil itu dengan tatapan dari para murid-murid, entah apa yang ada di pikiran mereka Raisha tidak peduli. Yang sekarang ia inginkan adalah pulang dan tidur, hari ini cukup melelahkan baginya.
"Raisha! Raisha, tunggu!" Ella berteriak dan mengejar gadis itu namun Raisha sama sekali tidak berhenti. Ia terus berjalan sampai akhirnya ia masuk ke mobil Gracia dan tidak menghiraukan Ella.
"Argh! Demi Tuhan, Ge, aku kesel banget sama guru BP sialan itu! Masa dia belain anak yang jelas-jelas bully Raisha cuma karena dia anak donatur!"
"Babe, calm down dulu, ya? Kita obrolin di rumah, kamu boleh marah, kamu boleh kesel, tapi jangan lupa ada Raisha disini." Gracia berusaha menenangkan gadis itu karena ingat dengan pesan psikiater yang sering menangani Callie, dua gadis itu butuh ketenangan, dan aura positif.
"Ya tapi tetep aja, Ge. Kalau aja dia tau siapa papa Raisha sama Callie, udah jantungan dia pasti." Bu Shani melipat kedua tangannya di depan dada saat Gracia mulai menjalankan mobilnya. Sementara Ella dari luar hanya bisa diam melihat Raisha pergi bersamaan dengan mobil sedan itu.
* * *
"Call, aku gapapa. Jangan dipikirin, ya? Aku cuma mau tidur, capek banget abis hajar orang."
Gadis berambut pirang yang berdiri di samping ranjang tidur Raisha langsung menaikkan alis, air mukanya berubah menjadi kesal namun semua orang tahu kalau apa yang dikatakan Raisha itu hanya kiasan belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gistara [Callie - Ella]
Fanfiction"Lo punya pasukan sepuluh, Callie punya Ella satu!" -gistara (n) suara yang indah A jkt48 gen 10 fanfiction heroeslegacy©2023