3. Mulai dari mana?

156 30 5
                                    


Seharusnya Ayana tak perlu memikirkan permintaan Ibra kemarin. Namun nyatanya, hampir semalaman dia tidak bisa tidur. Tubuhnya hanya bergerak gelisah di atas kasur. Sementara matanya meski terpejam, tapi masih terbayang-bayang rupa Ibra yang memelas padanya. 

Bagaimana wajah lelaki itu yang memelas padanya. Bagaimana tatapan penuh harap lelaki itu. Meski begitu, raut ketegasan tak pernah surut di wajah tampan Ibra. Sorot matanya selalu tajam saat menatap lawan bicaranya.

Sejak tiba di toko, Ayana berulang kali melirik pintu depan. Kepalanya seperti otomatis menoleh setiap kali pintu terbuka. Meski dia melakukan sesuatu, arah matanya kerap mencuri-curi pintu depan. Dia seperti tengah menunggu kedatangan seseorang. Padahal dia tak menunggu siapa-siapa. 

"Aya, cetak banner dari Pak Agus sudah selesai?" Wahyu menepuk pundak Ayana, membuat gadis yang duduk di belakang meja kasir itu gelagapan. 

"Ha? Apa, Yu?" Ayana menatap Wahyu yang menggeleng padanya. Gadis itu mengubah posisi duduknya, dan 

"Kerja kok ngelamun terus. Habis ditembak cowok, ya?"

Ayana seketika mendelik. Bagaimana bisa Wahyu tahu? Gadis itu mengatup, jangan-jangan semalam Wahyu ngintip.

"Lho, ngelamun lagi!" Wahyu menggeleng sambil berdecak. Lelaki itu berdiri sembari berkacak pinggang. "Beneran habis ditembak ini, kayaknya."

Ayana mengerjap, "Apaan, sih?! Sok tahu banget, kamu. Nyari apa?"

"Lagian, ditanyai dari tadi malah bengong aja. Itu bannernya Pak Agus sudah selesai belum?"

Gadis itu lantas mengecek buku catatan. "Udah, Yu. Barangnya ada di lemari tengah. Kan, kemarin kami wes tak bilangin."

Setelah mendapat informasi yang dibutuhkan, Wahyu lantas pergi begitu saja. Ayana memijit keningnya, heran dengan dirinya sendiri. Gara-gara Ibra, konsentrasinya jadi terganggu.

Apakah ini tanda-tanda dia sudah jatuh cinta pada lelaki itu?

Apa memang secepat itu?

Oh, tentu saja tidak!

Tak segampang itu.

Ayana yakin dia hanya terlalu terkejut dengan permintaan bosnya. Permintaan yang terlalu fiktif alias tak nyata. Permintaan yang hanya ada di novel-novel atau series. Bahkan di sekitarnya, dia belum pernah menemukan kasus seperti ini.

Apa mungkin Ibra terinspirasi dari novel?

Ayana jadi penasaran, apa isi ponsel lelaki itu. Jangan-jangan Ibra juga sudah download Wattpad dan sejenisnya. Gadis itu menepuk kedua pipinya bingung sendiri dengan isi kepala yang mendadak aneh. Dia lantas melirik pintu depan, tapi kemudian tersadar dan segera berdiri sambil berdecak. Dia butuh penyegaran.

Gadis itu berjalan menuju tangga, lalu berbelok ke ruangan kecil tepat di sebelah tangga. Ayana mengambil air, mulai membasuh wajah dan menepuk-nepuk pipinya perlahan. Setelah yakin kedua mata-dan juga kepalanya-lebih segar, Ayana keluar dari toilet. 

Langkah gadis itu tertahan. Tubuhnya seperti membeku saat menatap sosok yang menjadi pengganggu kepalanya seharian ini, berada di depannya. Dia bergeser ke kiri, memberi jarak. Namun keduanya sama-sama bergeser ke arah yang sama. 

Ayana berniat bergeser ke kanan. Berharap lelaki di hadapannya segera melangkah. Namun lagi-lagi keduanya melakukan hal yang sama. Ayana seketika mendesah.

"Mas Ibra berhenti, saya mau lewat dulu."

Yakin jika Ibra akan menurut, Ayana melangkah di sisi kanan tubuh Ibra. Namun baru dua langkah, Ibra menyentuh jemarinya. Hanya beberapa detik tapi mampu membuat Ayana seketika membeku. Lelaki itu mendekat ke telinga Ayana.

"Ikut saya naik sebentar," bisik Ibra lembut.

Selepas mengatakan itu, Ibra melangkah menaiki tangga. Meninggalkan Ayana yang berdiri bagai patung hidup. Gadis itu lantas menoleh sekitarnya, mengusap tengkuknya dan mengembuskan napas saat matanya tak menemukan siapa-siapa. 

Huft! Perang belum dimulai, tapi dia sudah waswas.

Gadis itu tak segera menyusul Ibra, melainkan kembali ke meja kasir. Duduk manis di kursi tanpa sandaran. Jemarinya memilah-milah nota tanda terima dan mengecek satu persatu pesanan yang belum selesai. Tak puas di situ, Ayana juga menata ulang lembaran uang di laci. Pokoknya harus sibuk!

"Aya, kamu ke atas sebentar. Kasir biar aku yang jaga." Pak Temmy tiba-tiba berdiri di sebelahnya. Ayana yang terlanjur fokus membaca nota, hanya menatap atasannya tanpa suara.

"Sekarang, Pak Tem?" Gadis itu melirik jam dinding, masih pukul sebelas lebih beberapa menit.

"Iya, sekarang. Buruan!" Pak Temmy menyeret Ayana hingga gadis itu meninggalkan kursi kebesarannya. Menimbulkan bunyi berderit karena Ayana berusaha bertahan dari duduknya.

Meski enggan, Ayana tak ada alasan mangulur waktu lagi. Dia menaiki tangga dengan malas. Saat tiba di pertengahan tangga yang berbelok, dia berhenti. Merapal mantra untuk dirinya sendiri agar tetap waras, barulah dia melanjutkan langkah.

Baru mengetuk satu kali, pintu sudah terbuka. Ayana semakin terkejut kala mendapati Ibra yang membuka pintu untuknya. Gadis itu refleks mundur satu langkah. 

"Masuk, lah. Saya ke toilet sebentar," ucap Ibra seraya berjalan meninggalkan Ayana yang masih tergemap. 

Mata Ayana mengikuti langkah Ibra yang menuju wastafel. Setelah mencuci tangan Ibra menoleh hendak ke ruangannya. Namun dia dikejutkan saat mendapati Ayana masih berdiri di depan pintu sembari menatapnya.

Merasa kepergok, Ayana bergegas masuk. Tanpa disuruh, dia langsung duduk menghadap meja kerja Ibra. Gadis itu menunggu dengan waswas.

Suara pintu yang ditutup membuat jantung Ayana semakin berdegup kencang. Berulang kali dia mengembuskan napas, berusaha menenangkan kinerja jantungnya. Saat Ibra sudah duduk di hadapannya, degup di dadanya semakin liar, tak kunjung mereda.

"Nanti malam ikut saya ke rumah."

Berulangkali Ayana mengerjap. Entah mengapa, kabel di kepalanya seperti korslet. "Gimana, Mas?"

"Gimana apanya?" Ibra menatap Ayana lekat. "Kamu nggak lupa sama yang semalam, kan?"

Ah! Dasar Ibra! Pertanyaannya ambigu sekali. Mana mungkin dia lupa. Semalam saja dia tak bisa tertidur. Ayana hanya memastikan telinganya tidak salah.

"Saya ke rumah Mas Ibra? Ngapain?" cicit Ayana sembari menunjuk dirinya.

Ibra memajukan tubuhnya, "Karena kamu pacar saya." Dia menatap Ayana lekat, lalu berdehem. "Pacar pura-pura saya," lanjutnya dengan suara lirih.

"Lalu apa hubungannya jadi pacar pura-pura sama ke rumah Mas Ibra? Ini beneran saya nggak ngerti ini gimana?"

"Saya mau kenalin kamu ke Bunda sebagai pacar saya."

Ayana mendelik, "Secepat itu?"

Ibra mengangguk, "Tujuan saya kan, memang itu. Membuat Bunda percaya kalau saya punya pacar."

"Tapi ... Tapi ...."

Hal yang paling Ayana takutkan telah hadir di hadapannya. Semalaman dia berperang dengan dirinya sendiri. Dia berencana membatalkan permintaan Ibra yang semalam terlanjur dia setujui. Karena dia tidak tahu harus bagaimana saat menjadi pacar pura-puranya Ibra.

"Tapi apa?" tanya Ibra masih dengan posisi yang sama. Lelaki itu seperti sengaja membuat Ayana kesulitan bicara.

"Saya harus gimana?" Ayana mencondongkan tubuhnya. Sedikit mengurangi jarak di antara mereka. Dia ingin terlihat tak gentar sedikit pun. Toh, dia sudah menganggap ini sebuah tantangan dari Ibra.

"Saya nggak tahu apa-apa tentang Mas Ibra. Nanti kalau Bundanya Mas Ibra tanya-tanya, saya harus jawab apa? Belum lagi, kedekatan kita masih terlalu jauh. Susah untuk meyakinkan Bundanya Mas Ibra secepat itu."

Ibra mengangguk, memahami maksud Ayana. "Jadi, kita harus mulai dari mana?"

-o0o-

Pippippip calon mantu ....

Selamat wiken.

2 Desember 2023
Vita

Next ChapterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang