Ayana berulang kali membetulkan ikatan rambutnya. Dia berdiri di dalam toilet Sea Stars lebih dari sepuluh menit yang lalu. Setelah yakin tampilannya cukup rapi, Ayana segera keluar. Takut ketahuan jika bersembunyi terlalu lama."Loh, belum pulang, Ya?" Yuni mengernyit begitu mendapati Ayana tiba-tiba berdiri tak jauh darinya. Dia menilik wajah gadis di hadapannya yang terlihat lebih segar.
Ditatap sedemikan lekat, membuat Ayana yang terbiasa bersikap acuh, kini mulai waswas. "Kamu mau ngapain, Yun?"
Bukannya menjawab, Yuni justru mengendus tubuh Ayana. "Mau pulang kok malah wuangi tenan tho, Ya?"
Ayana membeliak, dia berdehem sembari mengulur waktu untuk mencari jawaban. "Yaa biar gak kecut kalau pepet sama orang, Yun. Memangnya yang lagi pedekate doang yang boleh wangi?"
Yuni melongo. Tak habis pikir dengan jawaban Ayana yang kini berbalik padanya. "Hubungannya apa, coba, wangi sama pedekate?"
Tak ingin meneruskan obrolan, Ayana segera melipir ke pantry. Dia menoleh sekeliling sebelum mengeluarkan ransel dari laci, lalu mengembalikan minyak wangi dari saku ke dalam ransel. Gadis itu mengembuskan napas panjang, sebelum melangkah meninggalkan pantry. Dia berjalan beriringan dengan Yuni yang baru keluar dari toilet menuju ke depan.
"Cepet banget. Langsung pulang, Yun?"
"Hu um," Yuni membenarkan polesan bibirnya. "Kamu pulangnya sama siapa?"
Ayana melirik sesaat ujung tangga yang masih kosong. "Yaelah, pake tanya. Jomlo mah bebas, Yun." Keduanya tergelak. Yuni keluar lebih dulu, diikuti Ayana. Dia memutuskan menunggu di luar saja.
"Langsung balik, Ya?" Wahyu yang duduk di atas motor merah menyapa. Lelaki itu masih menghabiskan sisa tembakau yang ada di tangan kanannya.
"Iya. Duluan, ya, Yu." Yuni melambai pada kedua sahabatnya, dan berjalan cepat menuju lelaki yang menunggu di ujung parkiran.
"Diih, yang ditanya siapa yang jawab siapa." Wahyu mencebik, lantas membuang sisa tembakau dan menginjaknya.
"Duluan, Yu." Tak ingin tertangkap basah lagi, Ayana bergegas menyusul Yuni yang sudah dibonceng kekasihnya meninggalkan halaman toko.
"Bareng nggak?" Teriak Wahyu yang berbarengan dengan suara motor matic.
Ayana menoleh, "Enggak usah. Mau mampir-mampir dulu."
Langkah gadis itu sedikit lebih cepat dan berbelok ke minimarket yang letaknya hanya dua blok dari Sea Stars. Ayana memutari isi minimarket,setelah memastikan Wahyu tak lagi mengikutinya dia mengambil sebotol air dingin dan segera membayar. Gadis itu duduk di teras minimarket, meneguk air dingin dengan cepat seiring degup jantungnya yang berantakan.
Duh, begini amat jadi pacar pura-puranya si bos.
Getar ponsel di saku celana, mengusik Ayana yang tengah menenangkan diri. Nama si bos terpampang nyata tengah memanggil.
"Kamu di mana?"
"Saya di minimarket sebelah, Mas."
"Ok, tunggu di sana."
Ayana menatap ponselnya tanpa berkedip. Hanya begini? Seperti tawanan yang kabur saja. Gadis itu mendengkus, memangnya dia berharap yang seperti apa? Ah, lagi-lagi suara hatinya berisik. Gadis itu lantas meneguk air di genggamannya hingga tandas, meredam dada yang mulai bergemuruh.
Kurang dari lima belas menit sebuah Avanza hitam yang nomor platnya tidak asing, terparkir di pelataran minimarket. Ayana tak segera berdiri, dia menata hatinya agar kembali ke setelan pabrik. Setelah yakin hatinya sudah membaik, dia setengah berlari menuju mobil Ibra.
"Maaf lama," suara kembut Ibra menyambutnya ketika Ayana baru saja memasuki mobil.
Ah, sepertinya sia-sia gadis itu menenangkan diri. Belum apa-apa, si bos sudah menyemburkan tembakan romantis.
Ayana hanya berdehem, tak ingin membalas. Dia memilih menekuri jalanan. Sepanjang perjalanan tak ada suara lain selain deru napas keduanya. Ibra sepertinya tipe yang senang dengan keheningan.
Di tengah kemacetan yang menjadi rutinitas di sore hari, Ayana sesekali melirik lelaki di sampingnya. Pandangan Ibra lurus ke depan, siluet lekuk bibirnya yang sempurna berpadu dengan hidung yang menjulang menambah denyut di dada Ayana. Gadis itu segera mengalihkan pandang.
Sudah tahu si bos tampan, kenapa malah dilihatin sih, Ay?
Ayana tak berhenti menggerutu dalam hati. Dia jadi menyesal mengiyakan permintaan Ibra. Kalau tahu jadi begini, dia harusnya bisa gigih menolak ide jadi pacar pura-puranya si bos. Ya, namanya juga manusia. Yang awalnya biasa saja, tapi ketika titel pacar--walaupun--pura-pura tersemat, pandangannya pada Ibra jelas mulai berubah.
Ayana jadi lebih memerhatikan wajah Ibra, bahkan dia tahu kalau ada dua jerawat kecil di kening lelaki itu. Ketika Ibra menatapnya, dia jadi salah tingkah. Padahal dulu biasa saja. Ternyata menjadi pacar walaupun pura-pura, rasanya hampir sama dengan pacar sungguhan. Eh?
"Kenapa ngelihatin saya sampai begitu?"
Ayana mendelik, lalu mengerjap ketika kesadarannya mulai kembali. Astaga! Bagaimana bisa sampai ketahuan, sih? Gadis itu menggigit bibir, di kepalanya sibuk merangkai kata.
Bisa saja dia memilih berpaling, tapi dia bukan gadis remaja lagi. Sebisa mungkin Ayana mengatur suaranya agar tak bergetar karena gugup.
"Lagi ... latihan, Mas." Untung saja ide di kepalanya tak pernah habis.
Ibra meneleng, sepertinya lelaki itu bingung. "Latihan?" Dengan kening yang berlipat, lelaki itu menatap Ayana penuh tanya.
"Ya ... sebagai ... wanita yang, yang ... tengah jatuh cinta, harus bisa menatap pasangannya dengan penuh cinta juga, kan? Nah, ini saya lagi latihan menatap Mas Ibra dengan cinta."
Ibra mengangguk lembut, matanya kini kembali beralih pada jalanan yang mulai lancar. Senyum tipisnya terukir tanpa Ayana tahu.
"Jadi, gimana? Sudah bisa menatap saya penuh cinta?"
Ah, dasar Ibra kurang asem pedes manis kecut!
"Ya, menurut Mas Ibra ini tatapan saya gimana?" Oke, Ayana. Maju tak gentar, membela keselamatan jiwa raga! Enggak boleh goyah!
Tepat ketika berada di tengah jebakan lampu merah, Ibra menoleh dan menatap Ayana lebih lama. Kedua matanya menyipit mengamati wajah gadis yang mulai memerah pipinya. Meski ditatap sedemikian lekat, gadis di sebelahnya tak juga melepas pandang.
"Menurut saya, tatapan kamu masih samar." Ibra kembali fokus pada kemudi.
Seketika Ayana merasa bagai tersiram air es. Dia lega luar biasa. Setidaknya lelaki itu tak membaca kegelisahannya.
"Tapi gerak tubuhmu sudah cukup meyakinkan Bunda kalau kamu pacar saya."
Dan Ayana ingin tenggelam saat ini juga. Bagaimana dia bisa membaca gerak tubuhnya sementara dia merasa tak ada yang berbeda?
"Tidak usah latihan terlalu keras. Biarkan mengalir alami, Ay. Yang terpenting, jadilah dirimu sendiri."
-o0o-
4 Februari 2024
VitaLama juga kita tak bersua? Setahun, ya? Wkwkwkw
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Chapter
RomanceAyana terikat hubungan palsu dengan Ibra, pemilik toko tempatnya bekerja. Niatnya untuk menolong si bos, membuat Ayana berada dalam dilema. Sikap manis Ibra dan keluarganya membuat Ayana takut. Ayana meminta hubungan 'palsu' mereka berakhir, tapi I...