5. Bermain Peran

142 21 1
                                    


Rumah minimalis dengan halaman yang terbilang cukup luas itu tampak sepi. Hanya sinar lampu teras dan semburat lampu taman yang menandai kehidupan di rumah itu. Ibra yang baru saja membuka pintu gerbang kembali ke sisi kemudi, menyalakan mesin mobil dan memarkirkannya di carport. Setelah mematikan mesin kendaraan, dia memutar tubuh menatap gadis di sampingnya.

"Siap?" Tanyanya memastikan, diiringi dengan helaan napas berat.

Gadis di sampingnya hanya menaikkan kedua alis, lantas mengangguk pelan dengan gumaman tipis. Memangnya dia bisa mundur? Ayana hanya berdoa, semoga Ibunya Mas Ibra tidak segalak calon-calon mertua di televisi. Ayana menggigit bibir, merasa kurang ajar sudah membayangkan sesuatu sejauh itu.

Ingat, Ayana. Ini hanya pura-pura. Anggap saja kamu sedang bermain peran.

"Ayo turun!"

Begitu kakinya menginjak paving block, kedua mata Ayana terpaku pada rimbun berbagai aglonema dan bougenville putih, yang terlihat terawat dengan sangat baik. Semilir angin yang menggoyangkan pucuk kelopak mawar kuning, seakan menyambut kedatangan mereka. Ibra memimpin jalan, tanpa mengetuk pintu dia merogoh saku celana lalu memutar handle. Dengan memiringkan kepala, Ibra menyuruh Ayana masuk.

Meski didera rasa takut dan kecemasan yang luar biasa, Ayana mencoba melangkah perlahan. Dia duduk di sofa tunggal setelah Ibra mempersilahkannya melalui gerakan tangan. Tanpa bisa dia tahan, kepala gadis itu memutari seisi ruang tamu. Tak banyak yang mata gadis itu tangkap, sebab ruangan yang sejatinya sebagai tempat singgah sementara itu tak berisi terlalu banyak barang. Ayana menambahkan satu lagi list di dalam kepalanya. Tuan rumah yang simple. Penjelajahan matanya berakhir ke tubuh Ibra yang bergerak gesit. Lelaki itu melongok ke dalam ruang tengah, lalu kembali menatap Ayana.

"Mau minum apa, Ay?"

Kening Ayana berkerut, dia berdehem lantas menyunggingkan senyuman tipis. "Jus alpukat, ada?"

Mata Ibra mengerjap cepat, "Saya belikan sekarang."

Ayana gelagapan, kedua tangannya bergerak tak beraturan di udara. "Bercanda, Mas." Gadis itu meringis, "Air putih aja, deh."

"Kirain mau jus alpukat beneran."

Derap langkah kaki dari dalam rumah menghentikan gerakan bibir Ayana yang terbuka. Mereka serentak menoleh ke sumber suara. Berbeda dengan Ayana yang menaikkan kedua alisnya, Ibra justru mengernyit heran.

"Mas Ibra sudah pulang, toh?" Suara renyah seorang gadis dengan rok pink pucat selutut disertai senyuman lebar menggema seisi ruang tamu. Binar bening di kedua mata gadis dengan rambut diikat menggunakan jepit itu tertuju pada satu-satunya lelaki di ruang tamu.

Ibra berdehem pelan, "Kamu di sini, Sha?

Kepala gadis itu terayun lincah, "Iya, bantuin Bunda masak buat makan malam kita." Netra gadis itu terhenti memindai sosok gadis yang duduk di depan Ibra, menatapnya dengan senyuman tipis.

Tersadar sesuatu, Ibra menatap Ayana dan Asha bergantian. "Ay, kenalin, dia Asha."

Ayana segera berdiri, melangkah mendekati gadis yang berdiri kaku tak jauh dari tempat duduknya.

"Hai, aku Ayana."

"Asha."

Keduanya bersalaman sesaat, tapi Ayana dapat merasakan kelembutan kulit tangan gadis yang kini menatapnya penuh selidik. Merasa tak ada yang bisa Ayana obrolkan, gadis itu beranjak kembali ke sofa.

"Bunda di mana?" Satu tangan Ibra masuk ke dalam kantong celana. Tak segera mendapat jawaban, dia kembali menggumamkan nama gadis yang berdiri tak jauh darinya.

Next ChapterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang