15. don't let her free

210 26 0
                                    

Seorang gadis berlari begitu kencang di dalam rumah sakit yang ada di Jakarta. Larinya begitu kencang. Perasaannya tak karuan. Pandangannya buram karena air mata. Napasnya tak beraturan karena terus berlari mencari-cari ruangan.

Ia dikabari Bahar bahwa ia sedang berada di rumah sakit karena kondisinya yang drop parah. Juliana langsung berlari kemari, berpindah rumah sakit, meninggalkan Jendral yang berbaik hati mengantarkannya ke rumah sakit.

Namun ia meninggalkan Jendral di rumah sakit, kemudian pergi ke rumah sakit tempat Bahar dirawat.

BRAKK

Pintu ruangan yang ia cari-cari selama kurang lebih lima belas menit itu ia buka secara kasar, menampilkan seorang anak laki-laki yang nyaris botak dengan selang infus di hidungnya sedang terduduk di bangkar rumah sakit sembari memainkan ponselnya.

Begitu melihat Juliana, senyum Bahar langsung mengembang.

Juliana, dengan mata berkaca-kaca dan jantung yang berdegup kencang langsung menghampiri Bahar, menangkup pipi anak itu, kemudian memeluknya dan mulai menangis sekencang-kencangnya.

Bahar, anak itu terdiam. Bingung. Ia bingung harus bereaksi seperti apa. Ia akhirnya membiarkan Juliana menangis di pundaknya.

Entah kenapa—tangisan kakaknya terdengar sangat—pilu? Tangisannya terdengar sangat berat dan menyakitkan.

"K-kak Juli..." panggilnya pelan, tak tau harus bereaksi seperti apa.

Juliana melepaskan pelukannya ketika mendengar suara Bahar yang memanggilnya. Dilihatnya mata Juliana yang bengkak dan sembab. Matanya terlihat berkaca-kaca. Bibirnya bergetar hebat. Ia tau Juliana khawatir.

Bagaimana tidak? Orang yang sangat ia kenal, orang yang sangat dekat dengannya tiba-tiba dikabari bahwa ia drop dan masuk rumah sakit.

"GUE KHAWATIR, BAHAR!" Ingin sekali Juliana berteriak seperti itu, namun entah kenapa suaranya sama sekali tidak bisa keluar. Ia hanya bisa membuka mulut, tanpa bisa mengeluarkan sepatah suara.

Juliana diam. Termenung ketika sadar bahwa suaranya tidak bisa keluar. Suaranya seperti hanya sampai di tenggorokannya, kemudian seperti tertelan, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya sampai ia tidak bisa bersuara.

"Kak Juli?" Bahar menyentuh lengannya. "Kak Juli gapapa?"

Tidak apa-apa? Apakah ia tidak apa-apa? Apakah ia baik-baik saja? Apakah benar jika ia baik-baik saja?

Entah kenapa mendengar pertanyaan Bahar, hatinya tiba-tiba mencelos, bibirnya mendadak bergetar, matanya berkaca-kaca dan mendadak pandangannya buram karena air matanya tertahan.

Pertanyaan itu—membuatnya goyah.

Gadis itu kembali menangis, membuat Bahar kembali bingung dan tidak tau harus bereaksi seperti apa selain memeluknya.

"Kak Juli? Kak Juli kenapa? Kak Juli baik-baik aja?"

"Enggak Bahar. I'm not okay."

••••

Pukul 18.09

Lima remaja laki-laki duduk berkumpul di ruang tengah apartement. Kelimanya terdiam. Raut wajah kelimanya terlihat cemas, gelisah, takut, kesal, dan ingin menangis, semuanya bercampur menjadi satu.

Suasana ruang tengah seketika semakin mencekam ketika sebuah suara dari balik telepon terdengar.

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."

Angelo seketika berdecak marah. Melempar ponselnya ke sofa yang berisi tumpukan bantal. Menggigit bibirnya kasar dan memukul angin, karena Juliana tidak menjawab teleponnya.

Bukan hanya telepon Angelo saja, tapi telepon yang lain juga.

Hari ini Juliana tidak masuk sekolah dan tepat hari ini juga polisi malah datang untuk menginterogasi mereka. Jangan sampai Juliana membocorkannya.

Saksi kunci dan saksi mata perbuatan mereka adalah Juliana.

Angelo berniat membebaskan gadis itu kemarin, namun sekarang—niatnya berubah. Gadis itu tidak akan ia biarkan bebas. Tidak akan.

"Apa kita ke rumahnya aja—"

"TOLOL! MAU TINGGAL DI MANA LAGI TU CEWEK HAH!" bentak Angelo memotong ucapan Carlo.

Benar, mau tinggal di mana lagi gadis itu? Ia sudah diusir oleh sang pemilik kos karena tidak bisa membayar uang bulanan dan akhir-akhir ini gadis itu disekap di apartement Angelo.

Mau tinggal di mana lagi gadis itu?

"Bahar," celetuk Baskara membuat mereka semua seketika menoleh.

Benar. Bahar. Anak laki-laki penyakitan yang dibiayai oleh Juliana. Kenapa Angelo tidak memikirkan bocah itu?

Seketika wajahnya yang memperlihatkan kemurkaan langsung berubah menunjukkan senyuman miring. Ia seketika tertawa. Moodnya mendadak berubah. Kegelisahannya sedikit teratasi mendapat satu jalan keluar.

Angelo berbalik, mengambil ponselnya yang ia lempar ke sofa tadi, menekan satu kontak dan tak lama kemudian terdengar bunyi ponsel yang sedang memanggil.

Keempat temannya—Carlo, Hansel, Baskara, dan Galen mengamati Angelo dengan serius. Baskara membungkuk, menopang tangannya di lututnya dan menggigit bibirnya. Hansel duduk menyandar pada sandaran sofa, menggigit ibu jarinya. Carlo duduk tegak, namun jemarinya tak bisa diam. Jemarinya terus menjentik-jentik, berusaha mengatasi kegelisahannya. Dan yang terakhir Galen, wajahnya tampak serius. Posisi duduknya sama seperti Baskara, namun kakinya tak bisa berhenti bergerak.

"Eh? Kak Angelo? Halo kak? Kenapa, Kak?"














gara-gara udah lama ga ngetik, jadi kayak ada yang kurang :/ feelnya kerasa kurang huhuu:( maklumin ya guys<3

No CounterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang