"Jika aku masih bisa melihat senyum mu, itu artinya duniaku masih baik-baik saja, begitupun sebaliknya."
~|~|~
Siang kali ini matahari cukup terik, sehingga beberapa orang memilih tetap berdiam diri didalam rumah. Tetapi tidak untuk orang-orang yang memang memiliki tuntutan pekerjaan atau hal lainnya, yang mengharuskan mereka keluar rumah. Sudah pasti mau tidak mau mereka harus berhadapan langsung dengan panasnya siang hari ini.
Sama halnya dengan Harsa, yang sekarang duduk disamping kemudi dengan Mario yang mengemudikan mobilnya. Sekarang mereka sedang terkena macet di jalanan Ibu Kota. Bukan tanpa alasan mereka mau keluar rumah di tengah terik matahari siang kali ini. Jika saja bukan karena Harsa yang ngidam kepingin makan rujak Bogor langsung di Bogornya. Benar-benar menyusahkan bukan?
Sebelumnya, Mario memang datang ke rumah mereka dengan tujuan mengantar Keyra yang katanya ingin mengobrol dengan Lea. Alhasil, Harsa pun menyarankan untuk keduanya tetap mengobrol bersama di rumahnya, sedangkan Mario harus dengan ikhlas mau mengantarnya ke Bogor hanya untuk membeli rujak Bogor dan memakannya disana. Memang ada-ada saja Harsa ini.
"Lagian lo kenapa segala pake acara ngidam rujak Bogor sih, Sa?" Lagi, pertanyaan itu terlontar dari mulut Mario. Padahal sebelum mereka berangkat, Mario sudah sempat menanyakan itu kepada Harsa.
"Gak tau ah Bang, gua juga gak ngerti. Tiba-tiba aja kepingin banget makan rujak Bogor." percayalah, Harsa pun sudah tampak frustasi menghadapi dirinya sendiri, "Padahal mendingan Lea aja yang ngidam kan ya, daripada gua. Lea juga pasti ngidam gak yang aneh-aneh banget."
"Emang udah jadi takdirnya, Lea yang serba gak ribet ketemu sama lo yang apa-apa pasti ribet. Biar Lea hidupnya ada ujian nya sedikit, karena kehadiran lo." tsunami fakta yang keluar dari mulut Mario benar-benar langsung membuat Harsa merenggut. Alih-alih mengiyakan ucapan Iparnya tetapi cukup jelas Harsa sedikit tidak terima.
"Bang?"
Percayalah, jika Harsa sudah tiba-tiba memanggil Mario seperti itu, tandanya ia ingin membicarakan suatu hal yang cukup serius dengan Abang Ipar sekaligus Sahabatnya.
"Kenapa? Ada masalah apa?" bahkan Mario sendiri saja sudah paham dengan kebiasaan Harsa yang satu ini, "Masih masalah masa lalu lo sama Zia atau apa?"
Harsa dengan cepat menggeleng, "Kalo sama Zia, gua anggap udah clear. Ini persoalan lain Bang-
Mario masih diam, menunggu Harsa melanjutkan ucapannya. Ia bukan tipikal orang yang penasarannya tingkat tinggi seperti Harsa. Jika seseorang ingin bercerita dengannya maka dengan senang hati ia mendengarkannya, dan sebaliknya jika seseorang itu kurang nyaman bercerita dengannya, maka ia tidak akan memaksa.
"HH Company, Bang." Harsa tampak menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Percayalah, sebenarnya ia cukup segan membahas hal seperti ini, "Bokap akhir-akhir ini sering banget sakit Bang. Makanya akhir-akhir ini juga Bokap sering banget telepon gua bahas perusahaan. Sebelumnya kita emang udah sepakat kan kalo gua nikah, yang jadi penerus itu Candra. Tapi, liat kondisi Bokap yang udah gak muda lagi ditambah sakit-sakitan, sedangkan Candra masih kelas tiga SMA. Bokap berusaha bujuk gua buat ambil alih dulu perusahaan sampe Candra udah cukup umur-
Lagi, Harsa tidak langsung melanjutkan ucapannya. Bahkan sepertinya, Mario juga sudah tahu apa yang akan laki-laki itu ucapkan selanjutnya.
"Turunin ego lo buat kali ini Sa." kalimat tersebut keluar begitu saja dari mulut Mario. Sebenarnya, dari awal Harsa menjelaskan pun, Mario sudah langsung paham akan semuanya. Sehingga tanpa butuh waktu lama, laki-laki itu sudah menyahuti ucapan Harsa, "Disini itu, lo bukan jadi anak yang mau menikmati harta orang tua, tapi berusaha jadi anak yang berguna buat orang tua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kala Hujan | [ON GOING]
Teen Fiction"Kamu menjadi satu-satunya alasan mengapa aku bisa benci dan rindu secara bersamaan di kala hujan turun." -Rainata Kavilea Juwanda