"Bahkan jika ingin mengulangnya sekali lagi pun, pasti tidak akan sama seperti sebelumnya."
~|~|~
Bahagia? Mungkin sebagian orang berpendapat, bahwa bahagia itu ketika kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, atau mungkin bahagia itu ketika cinta kita berbalas tak bertepuk sebelah tangan, dan bisa jadi juga bahagia itu, ketika seseorang yang kita sayangi terlihat bahagia, maka kita pun akan ikut bahagia.
Begitulah nyatanya, setiap orang pasti memiliki porsi kebahagiaannya masing-masing, yang sudah ditakar oleh Tuhan, tanpa adanya kekeliruan. Sekalipun bahagiaku dan bahagiamu sama, tetap saja semuanya memiliki takarannya masing-masing.
Begitu juga dengan kebahagiaan yang dimiliki oleh Harsa. Terlahir dari keluarga yang serba ada, tak menjamin ia hidup bahagia kala itu. Mengapa? Karena Harsa selalu dituntut menjadi seorang anak yang selalu bisa diandalkan dalam hal apapun, termasuk menjadi penerus Ayahnya. Sedangkan kenyataannya, Harsa sama sekali tidak tertarik akan hal itu, ia lebih memilih hidup sebagai anak perintis bukan pewaris. Entah dari mana prinsip itu muncul, hanya saja ia tidak ingin nantinya dibuat mabuk oleh harta orang tuanya, yang jelas bukan hasil dari jerih payahnya sendiri.
"Beda cuy, makan duit hasil kerja sendiri sama duit hasil kerja orang tua tuh. Rasanya kalo lo makan pake duit sendiri, kaya ada rasa bangga tersendiri gitu, karena duit itu lo dapetin dari hasil jerih payah lo, perjuangannya kerasa banget. Sedangkan kalo lo pake duit orang tua, gak ada rasanya cuy. Kaya air ngalir aja gitu, ditambah lo juga jadi gak tau namanya berjuang yang sesungguhnya."
Begitulah Harsa akan menjawab teman-temannya, jika mereka bertanya mengapa ia tidak menerima saja tawaran Ayahnya untuk meneruskan jabatannya sebagai pemilik suatu perusahaan besar.
Bahkan saat Harsa benar-benar ditekankan untuk tetap menjadi penerus Ayahnya, ia menolak keras dan meminta pilihan lain selain hal tersebut. Apapun iya ia akan sanggupi, asal jangan menjadi penerus Ayahnya.
"Aa mohon banget deh sama Ayah, permintaan apa aja bakal Aa turutin, tapi jangan jadi penerus Ayah."
Untuk yang kesekian kalinya, Tn. Dewantara memaksa anak sulungnya, dan sudah yang kesekian kali pula Harsa menolaknya. Baik Ayah maupun Anak sama-sama keras, sehingga membuat seseorang yang sedari tadi menjadi penonton perdebatan Ayah dan Anak itu, hanya mampu menghela nafas panjang beberapa kali.
Hana Winata, Istri dari Heru Dewantara sekaligus Bunda dari Harsa Yaksa Dewantara. Perempuan dengan sifat lemah lembut dan sabar. Juga seorang Ibu yang dikaruniai dua anak laki-laki yang memiliki sifat berbeda.
Jika Harsa memiliki sifat keras seperti Ayahnya, maka Candra–Adik Harsa, memiliki sifat lemah lembut seperti Bundanya. Namun, disisi lain Harsa memiliki sifat ramah seperti Bundanya, sedangkan Candra memiliki sifat dingin seperti Ayahnya. Ibarat kata, mereka itu saling melengkapi seperti Ayah dan Bundanya.
Kembali kepada dua orang yang sedang berdebat, kini Heru tampak sedang berfikir, setelah mendengar ucapan Harsa beberapa waktu lalu.
"Oke, kalo gitu. Kamu harus terima permintaan Ayah yang satu ini, atau kembali kepada permintaan awal."
Harsa tampak mengangguk setuju, persetan untuk permintaan apapun itu. Asal jangan menjadi penerus HH Company, itu cukup melegakan untuk Harsa.
Cukup lama Harsa menunggu Ayahnya kembali berbicara, hingga ia sudah berniat bertanya apa permintaannya. Namun, saat Harsa baru saja membuka mulutnya, Heru lebih dulu berbicara, yang berhasil membuat Harsa terkejut bukan main, sampai-sampai ia tak sadar jika mulutnya masih menganga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Kala Hujan | [ON GOING]
Fiksi Remaja"Kamu menjadi satu-satunya alasan mengapa aku bisa benci dan rindu secara bersamaan di kala hujan turun." -Rainata Kavilea Juwanda