***
Kini aku berada di kerumunan orang dengan tatapan seolah ingin membunuhku. Aku memang golongan mereka namun setelah mengetahuinya semuanya, aku tak lagi berpihak dan menjadi golongan mereka.
Pelan namun pasti, ku melangkah mundur. Satu, dua, tiga lalu aku berlari sekuat tenaga untuk menjauhinya. Mereka sangat tidak terima dengan kebenaran yang telah aku temukan, maka dari itu tatapannya menelan ku hidup-hidup. Mereka semua melebihi dari sosok setan yang terkutuk!!
Aku terus berlari entah kemana sebelum akhirnya aku terjatuh lalu ada sosok yang menyeret tubuhku. Seketika aku panik namun semuanya usah saat mendengar suara, "This is me, May. Don't worry."
Rasa takut, khawatir, dan kepanikan dalam diriku hilang seketika, disaat mengetahui siapa yang kini membawa ku pergi entah kemana. Kejadian ini bak sosok malaikat yang membawaku terbang melayang dari keburukan dunia yang sialnya telah ku percayai itu.
Dia. Sosok lelaki bermata elang.
"Apa yang terjadi May? Mengapa kamu ada disana?" Tanyanya saat kita berada disebuah tempat yang entah tak ku ketahui namanya. Yang terpenting, tempat ini seperti halaman rumah yang sangat indah. Apakah di kota ini masih ada tempat yang utuh disaat-saat serangan terus menerus terjadi?
"Aku ... Aku hanya ingin mengungkapkan kebenaran pada mereka semua, Zah. Apa aku salah?" Tanyaku seraya menatap mata elangnya yang kini malah dialihkan ke depan. Sepertinya ia benar-benar menjaga pandangannya dariku (?)
"Salah May. Biarkan kebenaran itu sendiri yang menunjukkan pada dunia. Setidaknya kamu sudah menjaga dalam hatimu." Lalu ku lihat Hamzah mulai memejamkan kedua matanya.
"Terus aku harus diam aja disaat mereka terus mempercayai kebohongan keji itu?"
"Kamu cukup do'a dan percaya pada Tuhan kalau semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya."
Kini kami sama-sama terdiam. Entahlah apa yang ada dalam pikiran Hamzah. Apakah dia tengah berpikir cara untuk memenangkan kebenaran ini? Atau mungkin dia tengah merindukan keluarganya? Oh iya! Aku melupakan suatu hal.
"Zah? Bolehkah aku bertanya?"
"Apa?"
"Apakah kamu tidak bertemu dengan keluarga mu disaat-saat seperti ini?" Tanyaku sedikit hati-hati. Sungguh, disisi lain aku takut membuatnya tersinggung. "Kalau kamu tidak mau menjawab, tidak apa-apa."
"Mereka sudah syahid sejak awal kami membuat perlawanan ini," jawabnya dengan nada yang terdengar biasa saja. Aku ... Tidak melihat aura kesedihan di netranya.
"Maaf. Aku tidak bermaksud dan aku turut berdukacita atas kepergiannya."
"Syukron."
"How's your feeling, Zah?"
"I'm fine of course. Seluruh penduduk Syam sudah menyiapkan dirinya dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan nantinya. Seperti halnya kehilangan sosok yang berharga dan sangat dicintai. Sejak kami kecil, sudah dibekali oleh jiwa pejuang tanah ini, May. Jadi kami sudah siap akan segala resiko dan konsekuensi dari hal tersebut. Jika kami mempertahankan sesuatu, maka siap tidak siap, kami harus menghadapi kepedihan yang pasti akan terjadi nantinya."
Tidak bisa lagi ku tahan air mata ini. "Lantas, seberapa besar rasa benci kamu pada sikap kami, Zah? Karena aku yakin kalau kamu juga manusia yang pasti memiliki rasa tersebut."
"May. Seseorang bisa berubah, tapi segala tindakan mereka tidak bisa. Jadi disini, kami tidak pernah membeci kalian semuanya namun yang kami benci adalah tindakannya," paparnya yang masih cukup membuatku bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bye Maya
Spiritual"Kami di sini hidup dalam kebenaran yang selalu dipandang sebagai kebohongan terbesar. Selalu hidup dibalik kebutaan dunia dari segala kenyataan yang kami dapatkan. Kehancuran, ketidakadilan, hingga pengusiran kami hadapi sendiri diujung pelupuk dun...