Bab 1

40 8 16
                                    

Di sebuah sudut kamar, Rashad duduk seraya membaca buku Sejarah Peradaban Islam karangan Prof. Dr. H. Syamruddin Nasution, M.Ag. Buku pertama yang dia beli sendiri dengan uang saku saat duduk di bangku SMA, tetapi belum sempat dia tamatkan karena kesibukan yang selalu mendistraksi. Sama seperti saat ini, wanita yang sedang sibuk memoles wajah di depan cermin sejak lebih dari tiga puluh menit lalu, sukses membuyarkan fokusnya untuk menuntaskan niat menamatkan baca buku tersebut.

Sesekali telinganya mendengar gerutuan wanita itu tentang alat make up yang terselip entah di mana. Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena beberapa detik setelah menggerutu, dia akan menemukan apa yang sedang dibutuhkan. Seketika garis bibir Rashad terangkat, membentuk seulas senyum mana kala Ayesha, sang istri tercinta, justru menutupi wajah yang sudah setengah jam lebih dia poles menggunakan berbagai macam produk, dengan sehelai cadar.

“Aku sudah cantik belum sih?” tanya Ayesha yang sebenarnya ditujukan untuk Rashad, tetapi tubuhnya tetap menghadap cermin.

Rashad menutup buku dan mengembalikannya ke tempat semula, sebuah rak buku berukuran sedang, terbuat dari bahan kayu yang cukup tebal dan kuat. Tak hanya satu, ada puluhan buku yang berjajar rapi di sana dan rata-rata berisi buku-buku Islami. Setelah itu, dia mendekati sang istri dan berdiri tepat di sampingnya. Mereka beradu pandang melalui cermin, dan itu sukses menghentikan kegiatan Ayesha yang sedang berputar-putar memperhatikan penampilannya sendiri.

Rashad menarik pelan tubuh sang istri hingga keduanya kini saling berhadapan. Netra coklat memperhatikan detail penampilan anggun wanita di depannya. Telapak tangan kekarnya lantas mengangkat dagu Ayesha, membuat keempat mata bertatapan di satu titik.

“Sayang ... kalau kita nggak segera berangkat ke Masjid Jami’ Sabata’sh Ramadan, karena Adek merasa masih belum cantik, Mas pastikan kita akan terlambat,” tutur Rashad dengan nada yang begitu lembut.

Ya, sekesal apa pun pria itu kepada sang istri, sebisa mungkin dia akan tetap berucap dengan lembut. Baginya, wanita bukanlah sasaran empuk untuk meluapkan kekesalan. Wanita butuh dibimbing, karena dia berasal dari tulang rusuk yang bengkok. Kalau dengan cara keras untuk meluruskannya, maka tulang itu akan patah, sebaliknya kalau didiamkan, ia akan tetap bengkok. Jadi, sudah sepatutnya sebagai suami, dialah yang bertugas membimbing Ayesha, memberinya pengetahuan agama agar sang istri menjadi wanita soleha yang dirindukan oleh Surga.

“Iya, sih, Mas ... tapi kan aku dandan juga buat Mas. Apa Mas nggak bangga kalau orang lain memuji istri Mas? Bukankah di balik kecantikan seorang istri, ada suami yang merawatnya?” kilah Ayesha yang menyadari sindiran halus sang suami.

Rashad menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Nggak, Sayang ... Mas nggak bangga kalau orang lain memuji kecantikan Adek. Apalagi kalau itu laki-laki lain. Yang ada Mas cemburu. Adek tahu, kan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib saja bahkan cemburu dan tidak ingin ada seorang pun yang melihat bayangan Sayyidah Fatimah? Sama seperti itu, Mas juga nggak suka. Mas lebih suka kalau Adek jadi wanita soleha. Karena seorang muslimah itu dinilai cantik bukan hanya karena wajah, melainkan karena akhlak dan kesolehaannya.”

Rashad sangat berhati-hati mengutarakan pemikirannya. Bukan tanpa sebab, kebanyakan wanita akan merasa risih saat laki-laki mengungkapkan perasaan. Mereka akan berpikir berlebihan dan justru menganggap pasangannya terlalu banyak aturan. Tidak, dia tidak ingin Ayesha merasakan hal itu. Kenyamanan sang istri adalah yang utama, karena Rashad menyadari, ketenteraman rumah tangga berada pada kebahagiaan istri.

“Kalau gitu, kenapa selama ini Mas biarin Adek dandan? Kenapa nggak Mas larang Adek dari awal kita nikah?” tanya Ayesha yang memang betul-betul penasaran, kenapa sang suami baru mengatakan hal itu, padahal pernikahan mereka sudah berjalan lebih dari satu tahun.

Rashad melingkarkan kedua tangan di leher Ayesha, mendekatkan wajah keduanya, hingga mereka bisa saling merasakan deru napas masing-masing.
“Karena Adek suka. Mas nggak mau merusak kesukaan Adek.”

“Terus, kenapa sekarang Mas bilang kalau Mas nggak bangga kalau punya istri cantik?”

“Mas bukan nggak bangga punya istri cantik, Sayang. Mas cuma nggak bangga kalau ada orang lain yang memuji kecantikan Adek. Karena kecantikan ini,” Rashad mengelus lembut pipi sang istri dengan telunjuknya, “hanya milik Mas, dan nggak boleh ada yang memujinya selain Mas. Kalaupun sekarang Mas protes, karena kalimat Adek yang nggak Mas suka, yaitu ingin dipuji orang lain. Memangnya nggak cukup, kalau Mas aja yang muji Adek?”

Ayesha melepas tangan sang suami, kemudian menautkan jari-jari mereka. “Mas nggak perlu khawatir. Lagi pula kan Adek pakai cadar, nggak mungkin ada orang lain yang bisa muji Adek. Ya udah, yuk, nanti keburu telat. Nggak enak sama yang lain,” ajak Ayesha yang hendak keluar dari kamar mereka.

Rashad hanya bisa menghela napas kasar mendengar penuturan Ayesha.
“Sayang, tunggu dulu dong. Apa Adek nggak melupakan sesuatu?”

Ayesha mengerutkan wajah, otaknya terus berpikir apa yang membuat sang suami bertanya seperti itu. Dia lantas melepas genggaman tangan dari Rashad, setelah itu mengecek tas yang dia bawa, memastikan tidak ada satu pun barang yang terlupakan. Jarak dari tempat tinggal mereka menuju Masjid Jami’ 17 Ramadan memang tidak jauh, tetapi rasanya sangat malas kalau harus bolak-balik hanya untuk mengambil barang.

Saking fokusnya Ayesha, hingga dia tidak menyadari kalau Rashad sudah kembali berada di sampingnya. Lelaki itu sedikit menunduk, kemudian berbisik, “Laa ilaha illallah.”

Ayesha tersenyum, menyadari apa yang telah dia lupakan. Dia pun menghadap ke arah sang suami. “Muhammadurrasulullah,” balas Ayesha dengan nada manja.
Mereka pun keluar kamar menuju Masjid Jami’ 17 Ramadan, tempat yang ditentukan untuk melakukan riset mengenai Kekhalifahan Harun Ar-Rasyid di masa lalu. Di mana, di masa itu Islam berada di puncak keemasannya.

Sesampainya di sana, keduanya mendengar perdebatan antara dua orang wanita lain mengenai Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sebenarnya inilah salah satu penyebab Rashad lebih sering menolak tiap kali diajak berkumpul bersama teman-teman kelas di kampusnya yang ternyata lebih didominasi oleh kaum hawa. Mereka itu suka sekali mengutarakan hal-hal konyol di luar nalar pria. Tak jarang mereka berspekulasi, lalu merasa kesal karena spekulasi mereka sendiri. Sudah cukup satu wanita yang terlihat ribet dengan segala keunikannya, yaitu Ayesha.

Rashad lebih suka menyendiri dengan buku-buku di tangan atau sibuk mengerjakan tugas kuliah dengan laptop. Namun, statusnya sebagai Mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di University of Baghdad, membuat dia harus pandai-pandai bergaul. Hidup di negeri orang tentu membutuhkan banyak koneksi, agar dia dan Ayesha tetap merasa memiliki keluarga di tengah orang asing.

Ayesha dan Rashad (1001 Cinta di Kota Baghdad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang