Rashad berjalan di tengah keramaian. Dia merasa begitu aneh dengan apa yang telah terjadi padanya. Pun, terus memikirkan di mana raganya sendiri berada. Di sana sangat ramai, tetapi seperti hampa, tak ada satu orang pun yang dia kenal. Beruntung Rashad cukup fasih berbahasa Arab, walaupun tetap terasa asing karena yang masyarakat gunakan di sana tidaklah sama seperti yang biasa digunakan setiap harinya.
Saat ini dia hanya ingin menemui Mustafa yang menurut wanita tua itu, sedang menunggunya di gubuk kecil tak jauh dari pasar. Itu satu-satunya gubuk yang memiliki sebuah pohon kurma di halamannya. Pasti tidak akan sulit untuk menemukannya.
“Aku berani bertaruh, ketertarikan khalifah pada Ayesha, pasti hanya sesaat. Seperti biasanya. Lalu dia akan kembali ke Ratu Zubaidah sembari mencari selir kesayangan yang baru.” Tanpa sengaja, Rashad menangkap dengan jelas pembicaraan dua orang wanita asing yang menyebut nama sang istri.
Sontak Rashad berencana mengikuti kedua perempuan yang menutupi sebagian wajahnya dengan sehelai kerudung. Di belakang keduanya, pria itu terus mendengar ocehan mereka tentang wanita bernama Ayesha. Cukup lama mendengar hal yang tidak ingin didengar, Rashad pun menghentikan keduanya.
“Apa kalian mengenal Ayesha? Bisa tolong saya menemui dia?” tanya Rashad penuh harap.
Kedua perempuan lantas mengernyitkan dahi, diikuti tatapan mata tajam ditandai dengan melebarnya kelopak mata indahnya. Sesaat mereka beradu pandang, kemudian kembali memperhatikan Rashad, meniti tiap inci tubuh kekar di hadapan mereka.
“Siapa di kota ini yang tidak mengenal Ayesha? Selir kesayangan khalifah,” sahut salah seorang di antara mereka.
“Wahai pemuda, siapa dirimu ini hingga berani berpikir untuk menemui Ayesha? Apa nyalimu begitu besar dan sudah berani mati?” sahut yang lainnya.
Rashad menghela napas dengan kasar. Tangannya terangkat, menggaruk alis yang sebenarnya tidak terasa gatal, seraya menentukan kalimat yang tepat untuk mengutarakan apa yang ada dalam benak.
“Sebaiknya urungkan niatmu untuk bertemu secara langsung dengan anggota kerajaan. Apalagi dengan orang-orang kesayangan khalifah. Dia tidak akan membiarkan siapa pun bisa bebas bertemu secara langsung dengan selir kesayangannya!”
“Hei! Ayesha adalah istriku. Tidak ada yang bisa menghentikanku untuk bertemu dengannya, termasuk khalifah!” ucap Rashad dengan tegas.
Sekilas keduanya kembali berpandangan, sejurus kemudian tertawa hingga siapa pun yang ada di sekitar sana menatap mereka bertiga dengan tatapan aneh.
“Apa kau sedang mabuk atau sudah gila?” tanya seorang di antaranya yang memakai kerudung warna merah dengan eyeliner yang cukup tebal menghiasi matanya.
Rashad menatap tajam kedua wanita itu, bersiap memberikan penjelasan yang dibutuhkan. "Saya bukan bermaksud bercanda. Aku benar-benar mencari Ayesha, istriku. Ada sesuatu yang penting yang perlu dia ketahui," ujar Rashad dengan serius.
Wanita berkerudung merah tersenyum sinis, "Kau membuat lelucon yang cukup aneh, pemuda. Khalifah tidak akan memperdulikan urusan semacam ini. Lebih baik kau pergi sebelum terjadi masalah. Sudahlah, sebaiknya kita pergi saja. Pemuda ini benar-benar sudah tidak waras.”
Kedua perempuan itu lantas meninggalkan Rashad dengan rasa frustrasinya. Di tempat asing, berpisah dengan istri yang sangat dicintai, benar-benar bagaikan mimpi buruk yang ingin segera dia akhiri. Namun, seketika Rashad teringat untuk menemui Mustafa. Kali ini dia benar-benar berharap bahwa pria itu bisa memberikan sedikit informasi tentang keberadaan sang istri.
Rashad kembali menyusuri jalanan yang cukup ramai, mencari gubuk kecil, tempat Mustafa biasa menunggunya. Tak lama, terlihatlah sebuah pohon kurma di pekarangan sebuah rumah berukuran kecil yang hanya berpagar kayu-kayu kecil. Dia pun mengetuk pintu seraya mengucap salam hingga sang pemilik gubuk membukakan pintu untuknya.
“Akhirnya kau datang juga. Masuklah! Kita harus merayakan keberhasilan kita menyusupkan racun itu ke dalam istana,” ucap Mustafa seraya mempersilakan Rashad masuk, bahkan menyediakan tempat duduk khusus untuknya.
Perlahan Rashad masuk, sambil tetap memperhatikan detail bangunan yang rupanya tak jauh berbeda dari bangunan lain di kota itu. Hanya ukuran yang membedakan.
Rashad duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. Di hadapannya tersaji sebuah gelas terbuat dari tembaga berisi minuman dengan aroma menyengat.
“Maaf, tapi aku tidak meminum minuman ini. Apa ada air?” tanya Rashad dengan nada sesantun mungkin.
Mustafa sontak terbahak. Lalu meminum minuman miliknya hingga tak bersisa, dan menuangkan lagi minuman dengan aroma yang sama ke dalam gelas kosong itu.
“Ternyata benar kata ibumu. Kau sangat aneh. Mungkin tadi malam kau terlalu banyak minum. Tapi tenanglah, ini barang baru dari negeri seberang. Yang jelas rasanya jauh lebih nikmat,” ujar Mustafa berusaha membujuk Rashad agar bersedia meminumnya.
“Aku ke sini untuk menanyakan hal penting. Apa kau mengenal Ayesha?” tanya Rashad langsung pada intinya.
Pria itu sudah tidak sabar ingin segera mengetahui kebenaran dan keberadaan sang istri. Kalau boleh jujur, dia sesungguhnya tidak bisa menerima jika Ayesha benar-benar menjadi selir. Jangankan membayangkan wanita yang dicintai menjadi milik orang lain, membayangkan berpisah saja rasanya dia tidak akan sanggup.
“Bagaimana aku tidak mengenali adikku sendiri, Rashad? Kau benar-benar aneh. Jangan bilang kau lupa kalau Ayesha adalah calon istri yang kau relakan menjadi selir Khalifah Harun Ar-Rasyid demi membalaskan dendam kematian adikmu, Sofia, yang tak lain adalah istriku!”
Mendengar penuturan Mustafa, seketika ingatan Rashad teringat tentang dia dan beberapa temannya yang berkumpul di Masjid 17 Ramadhan untuk melakukan riset. Ingatan itu terus berputar, hingga detik di mana mereka menemukan jam yang diduga milik Khalifah Harun Ar-Rasyid yang dihadiahkan kepada Karel Agung, kemudian jam itu berdentang begitu keras hingga membuat mereka semua tak sadarkan diri.
Penyesalan menyelimuti hati sang pria. Kalau saja saat itu aku tidak melepas Ayesha, saat ini kami tidak akan berpisah. Kalau benar kami ada di zaman yang sama dan dia menjadi selir khalifah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana beliau akan menyentuh istriku. Rasanya hati ini sungguh tidak rela membiarkan pria lain menyentuh istriku, sekali pun dia adalah seorang pemimpin kaum muslimin.
“Aku harus bertemu dengan Ayesha. Aku ingin memastikan keadaannya. Apa kau bisa membantuku?” tanya Rashad penuh harap.
“Kau tenang saja. Nanti aku akan mengatur pertemuan kalian. Tapi untuk hari ini, biarkan aku menikmati masa liburku. Malam ini aku harus kembali ke istana sebelum ada yang mencurigaiku!” Mustafa meneguk minumannya sampai habis, kemudian beranjak ke sebuah rak kayu untuk mengambil sesuatu.
“Ini dari Ayesha. Beberapa hari lalu dia menitipkan ini untukmu. Maaf, karena lupa memberikan itu padamu lebih cepat!” Mustafa menyerahkan selembar kertas berwarna cokelat berisi sebuah pesan dalam tulisan Arab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayesha dan Rashad (1001 Cinta di Kota Baghdad)
SpiritualAyesha dan Rashad yang hidup di masa modern terlempar ke masa kekuasaan Khalifah Harun Ar-Rasyid, untuk bisa kembali ke dunia mereka saat ini, keduanya harus bisa membuktikan kebaikan dan keadilan Khalifah Harun terhadap para musuh sang khalifah.