Bab 3

18 8 21
                                    

Seandainya saja tidak dosa memukul suami, Ayesha sudah pasti akan memukul dan mendorong laki-laki yang sialnya sangat dia cintai ini. Namun, di sisi lain Ayesha cukup senang saat Rashad bersikap manja seperti ini, dan terus mengajaknya ke mana pun dia akan pergi.

“Tapi, Mas ....”

“Udah, Sayang ... ayo ikut. Pasti seru. Adek juga belum pernah kan, lihat seluruh area masjid ini?” Rashad tak mau mendengar apa pun lagi dari sang istri. Setengah memaksa laki-laki itu menggandeng tangan sang istri untuk ikut dengannya. Sebenarnya dia juga penasaran dengan apa yang ada dalam masjid itu, sekaligus berharap dia bisa menemukan situs peninggalan era Khalifah Harun yang masyhur, yang selama ini tidak pernah diketahui orang.

Rashad mempercepat langkah menyusul teman-temannya ditemani Ayesha. Pautan tangan keduanya tak sedikit pun terlepas. Namun, seiring itu juga kegelisahan yang dirasakan Ayesha makin kuat.

“Mas, feeling aku nggak enak. Apa nggak sebaiknya kita urungkan saja niat ini?” bujuk Ayesha berharap sang suami akan memahami maksud perkataannya.

“Sayang tenang aja, ya, kan ada Mas. Mas akan jagain Adek. Lagian kita cuma keliling komplek masjid ini, nggak ke mana-mana,” sanggah Rashad yang tentu saja membuat hati Ayesha sedikit merasa kecewa.

Dalam diam Ayesha terus mengikuti langkah Rashad menuju ke bagian atas dekat masjid, area pertama yang jadikan tujuan penjelajahan. Tak ada yang istimewa atau hal apa pun yang menunjukkan ada sesuatu yang sedang mereka cari. Hanya kubah masjid dan hamparan atap kosong yang cukup luas. Memang, mereka bisa melihat pemandangan kota dari sana, tetapi bukan itu yang mereka inginkan.

Mereka memutuskan untuk turun, setelah beberapa di antaranya selesai dengan urusan foto yang sudah pasti akan mereka unggah ke sosial media masing-masing. Rashad dan Ayesha masih terus bergandengan tangan tiap menyusuri bagian demi bagian atap, seolah tak ada hal apa pun yang bisa memisahkan mereka. Bahkan, saat menuruni anak tangga, sang pria selalu memastikan keamanan sang istri.

Mereka mulai menyusuri bagian kanan dan kiri masjid. Dari luar, tak tampak apa pun yang membangkitkan rasa penasaran, tetapi seketika semuanya bergegas menuju sebuah ruangan saat mendengar teriakan dari Zura.

“Hai, Teman-Teman ... aku menemukan ruangan rahasia, ayo ikuti aku!” teriak Zura.

Rashad dan Ayesha sekilas beradu pandang. Reaksi keduanya sangat bertolak belakang. Sang istri langsung menunjukkan wajah datar, dalam hati dia selalu mengatakan agar Rashad tak melanjutkan rencana ini. Namun sayang, sang pria hanya tersenyum manis sambil mengelus punggung tangan Ayesha untuk meyakinkan  bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Ayo kita ikuti mereka,” ajak Rashad yang makin menggenggam erat tangan  Ayesha.

Saat memasuki ruangan, mereka semua dapat melihat sebuah tangga yang diperkirakan memiliki ratusan anak tangga. Mereka saling beradu pandang, meyakinkan satu sama lain untuk tetap melanjutkan ekspedisi tersebut.

“Mas, Adek beneran takut. Kalau di bawah sana ada monster yang nyeremin gimana?” bisik Ayesha yang hatinya makin tak keruan.

“Sayang, monster itu hanya ada dalam imajinasi Adek aja. Makanya, jangan keseringan nonton anime. Gini, kan, jadinya.” Menyebalkan! Kenapa Rashad harus menegur Ayesha dengan cara seperti ini?

“Apa hubungannya coba imajinasiku sama keseringan nonton anime? Masih untung aku nontonnya anime, kalau drakor, udah pasti repot sendiri, kan. Bisa-bisa aku menganggap aktor drakor itulah suamiku,” gerutu Ayesha yang rupanya terdengar oleh sang suami walaupun tidak begitu jelas.

“Kenapa Sayang?” tanya Rashad memastikan.

“Nggak ada apa-apa. Udah ayo buruan turun, terus cepat balik lagi. Firasatku beneran buruk, Mas,” rengek Ayesha.

“Sayang, di sini nggak ada yang membahayakan. Percaya sama Mas. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja, selama Allah ada bersama dengan kita. Adek cuma kepikiran, karena di bawah itu gelap. Iya, kan?” Rashad masih berusaha menenangkan sang istri, walaupun saat ini hatinya juga mulai waswas. Namuh, berkali-kali dia tepis agar tidak terpengaruh oleh pemikiran Ayesha.

Mereka pun akhirnya sampai di lantai dasar yang cukup gelap dan sedikit pengap. Beberapa di antaranya sedikit terbatuk karena debu yang mungkin sudah bersarang tahunan atau justru puluhan tahun di sana. Tak ada sedikit pun penerangan, hingga mereka harus mengeluarkan gawai masing-masing untuk menyalakan aplikasi senter untuk menerangi langkah.

Dengan tetap menggandeng tangan Ayesha, Rashad mencoba melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan dengan cahaya yang sangat minim. Masih belum ada hal spesial yang menarik perhatian Rashad maupun Ayesha, yang kini justru makin merengek ingin segera kembali.

Tak lama, gema suara Mahin membuat mereka kembali berkumpul untuk melihat apa yang sudah gadis itu temukan. Dia menunjukkan sebuah lukisan seorang pria berjubah sedang memberikan sebuah jam pada orang lain.

Diam-diam Rashad terus memperhatikan lukisan tersebut. Memorinya membuka sebuah informasi yang pernah dia baca dari sebuah buku tentang pemberian sebuah jam kepada Karel Agung oleh Khalifah Harun.

Kalau dari bentuknya, itu mirip dengan deskripsi jam yang Khalifah Harun berikan kepada Karel Agung. Tapi, kenapa lukisan ini diletakkan di sini? Kenapa tidak di museum yang bisa dilihat oleh  banyak orang? Apa jam itu sebenarnya juga masih ada di sekitar sini dan betul-betul memiliki kekuatan magis? Hingga tidak ada siapa pun orang masa kini yang bisa melihat jam itu?

“Aku yakin, ini adalah lukisan Khalifah Harun Ar-Rasyid yang memberikan hadiah jam kepada Karel Agung.” Apa yang Mahin katakan memang sejalan dengan yang Rashad pikirkan.

“Kamu benar, Mahin ... memang ada jam air yang terbuat dari perak berlapis emas milik Khalifah Harun Ar-Rasyid. Kemudian beliau menghadiahkan jam tersebut kepada kerajaan Eropa Timur,” sahut Rashad.

“Tapi, kan jam itu hanya ada deskripsinya aja, Mas. Sampai saat ini, belum ada orang yang benar-benar bisa memastikan bagaimana wujud jam itu,” sela Ayesha yang sebenarnya juga sedikit mengetahui tentang Khalifah Harun Ar-Rasyid, walaupun tak sedetail Rashad dan Mahin.

“Lihat ini ...,” Mahin menunjukkan sebuah lukisan yang dia buat sendiri, “aku dapat informasi dari berbagai sumber kalau jam air itu bentuknya besar. Kira-kira seukuran pintu rumah.” Mahin pun melanjutkan penjelas tentang detail jam tersebut, di mana ada dua belas patung penunggang kuda yang berbeda-beda dan akan keluar tiap benda penunjuk waktu itu berdentang.

“Deskripsimu memang sesuai, Mahin. Tapi, kabarnya jam itu sudah dihancurkan karena orang-orang Eropa di zaman itu menganggap bahwa jam tersebut berisi jin,” jelas Rashad.

“Sejujurnya aku tidak yakin itu! Apa tidak ada replikanya? Itu hanya rumor, kan? Belum ada buktinya!” Mahin butuh validasi.

Ayesha dan Rashad (1001 Cinta di Kota Baghdad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang