Bab 5

19 7 29
                                    

Cahaya matahari yang menyilaukan masuk dari celah tirai berwarna coklat muda. Seorang pria berjanggut tipis perlahan membuka mata. Sesekali mengerang menahan sakit di kepalanya.

“Kau sudah bangun?” suara seorang wanita menyapa.

“Kerjamu hanya minum, minum, dan minum saja. Kau tidak pernah peduli atas dendam adikmu. Sudah kubilang, wanita itu tidak dapat dipercaya. Kalau saja bukan karena kau yang tergila-gila padanya dulu, aku tidak sudi kau berhubungan dengannya,” lanjut sang wanita mengomel.

Sang pria pun bangkit dari posisi tidurnya. Mata yang kini sudah terbuka lebar, langsung memperhatikan detail ruangan yang saat ini dia tempati.

Ini di mana? Siapa wanita ini? Kenapa aku berada di sini? Kepalanya menoleh ke sana ke mari, menelisik tiap sudut ruangan, mencari sesuatu. Ayesha ... di mana dia? Di mana istriku? Aku harus segera keluar dari tempat ini. Ayesha pasti sedang gelisah saat ini.

Sejak menikah, Rashad memang tidak pernah sedikit pun meninggalkan sang istri sendiri di tempat umum. Ke mana pun dia pergi, Ayesha sudah pasti berada di sampingnya, mengeratkan pegangan di lengan yang kekar.

“Maaf, Anda siapa? Dan, ini tempat apa?” Aneh ... sungguh aneh. Untuk pertama kalinya dia melihat seseorang berpenampilan jadul. Bahkan, model ruangan itu terkesan khas zaman jadul. Minim penerangan, tak ada satu pun alat elektronik yang bisa dilihatnya.

“Sepertinya kau terlalu banyak minum, hingga melupakan ibumu sendiri!” omel sang wanita sembari menata makanan di atas meja dengan cukup kasar.

Wajah Rashad mengernyit. Bagaimana bisa dia ibuku? Ibuku kan sudah meninggal satu bulan setelah pernikahanku dengan Ayesha. Wajahnya pun bukan ibuku. Sepertinya ada yang tidak beres. Keyakinan Rashad makin kuat, saat menyadari bahasa yang mereka gunakan juga sangat berbeda. Dia terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia saat mengobrol dengan sang ibunda, tetapi wanita ini justru menggunakan Bahasa Arab.

“I-ibu? Ta-tapi maaf, ibu saya sudah meninggal sekitar satu tahun yang lalu,” sanggah Rashad.

Sebuah gelas terbuat dari aluminium terjatuh ke lantai yang masih berupa tanah yang dipadatkan. Tampak genangan air mengitari sekeliling gelas.

Rashad terperanjat, memundurkan tubuhnya merasa takut. Ya Allah ... apa cerita Ayesha tentang penyihir-penyihir yang ada di anime itu benar? Jantung pria itu berdegup kencang, seiring dengan kerongkongannya yang terasa sulit hanya untuk menelan salivanya sendiri. Beberapa kali jakunnya bergerak naik turun, napas mulai memburu diikuti munculnya bulir keringat sebesar biji jagung yang di area kening.

“Dasar anak durhaka! Bisa-bisanya kau mendoakan ibumu ini mati? Ternyata kau masih belum sadar juga?” Suara omelan itu terdengar lebih tinggi dari sebelumnya.

“Maaf, tapi Anda ini siapa? Saya benar-benar tidak mengenal Anda. Apa Anda mengenal saya? Kalau begitu, artinya Anda juga tahu di mana keberadaan istri saya?” cecar Rashad yang makin membuat wanita paruh baya itu makin meradang.

Tanpa basa basi lagi, sang wanita langsung menyeret Rashad untuk masuk ke dalam kamar mandi dan memintanya untuk segera membersihkan diri. “Semoga setelah mandi, kau akan segera sadar dari mabukmu itu!”

Rashad langsung mengunci pintu kamar mandi. Setidaknya kali ini dia aman dari orang yang mengaku-aku sebagai ibunya. Namun, tanpa sengaja, sekilas dia melihat pantulan wajahnya dari cermin yang ada di sana. Awalnya Rashad sedikit cuek, dan berniat melepas pakaian yang aromanya sangat dia benci, yaitu alkohol.

Tunggu dulu ... itu wajah siapa? Rashad memutuskan untuk kembali becermin, untuk memastikan apa yang dilihatnya tidak salah.

Mata yang bulat itu makin membulat. Beberapa kali Rashad menarik-narik wajah yang sangat asing di matanya.

Rashad, dengan rasa takut yang semakin memuncak, mencoba memahami keadaannya. Dia melihat wajahnya sendiri, tetapi bukan wajahnya yang dikenal. Ada sesuatu yang tidak beres, seperti terjebak dalam realitas yang tak dikenal.

“Tidak mungkin ... ada apa ini sebenarnya?” gumam Rashad sambil mencoba memutar ulang memori sebelum akhirnya dia tersadar di tempat ini.

Nihil, tak ada yang bisa dia ingat kecuali teriakan Ayesha yang memanggilnya dengan sebutan “Mas”. Keadaan ini bisa saja membuat Rashad merasa gila kalau saja dia tidak ingat bahwa hal apa pun yang terjadi dalam hidup sudah tertulis sejak dalam kandungan.

Rashad bergegas mandi, mengguyur seluruh tubuh dengan air yang terasa lebih dingin dari biasanya. Berkali-kali dia menepuk kepala, berharap dapat menemukan hal masuk akal yang mampu mengubah hidupnya dalam sekejap mata.

Setelah ini, aku harus mencari keberadaan Ayesha. Dia pasti akan sangat kebingungan berada di tempat asing, apalagi tanpa aku, suaminya.

Tak lama, Rashad keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sangat aneh menurutnya. Di dalam rumah, wanita tua yang mengaku ibunya itu tampak sibuk dengan kegiatan di atas tungku.

Zaman apa ini sebenarnya? Kenapa wanita itu masih menggunakan kompor seperti itu?

“Tadi Mustafa datang kemari. Dia memintamu untuk segera menemuinya di tempat biasa,” ucap sang wanita tanpa menoleh sedikit pun pada Rashad.

“Mustafa? Siapa dia? Aku tidak mengenalnya. Dan tempat biasa? Di mana?” tanya Rashad dengan polosnya.

Wanita tua itu pun kembali menghentikan aktivitasnya. Seketika beberapa orang wanita masuk, melanjutkan apa yang sedang dia kerjakan.

“Apa kepalamu terbentur sesuatu? Atau amirul mukminin yang jahat itu menyuruh mata-matanya untuk membunuh anggota keluarga kita yang lain?” omelnya dengan suara berat yang terdengar seperti sedang menahan amarah sekaligus kesedihan mendalam.

Amirul mukminin? Siapa yang dia maksud? Sebenarnya aku sedang ada di zaman apa? Mungkinkah amirul mukminin yang dimaksud adalah salah satu dari khulafaur rasyidin?

“Bergegaslah! Ganti dulu pakaianmu. Tanyakan pada Mustafa, kabar baru apa yang dia miliki!” titah wanita itu seraya menjulurkan tangannya ke arah pintu keluar.

“Ta-tapi, di mana aku bisa menemukan baju yang lain? Aku benar-benar tidak mengetahui tempat ini,” ucap Rashad, dan saat dia melihat ekspresi wanita itu kembali berubah, dia pun berusaha menenangkannya. “Tolong jangan marah, tapi izinkan aku menjelaskan, karena bukan hanya Anda yang merasa bingung. Aku pun juga begitu!”

Rashad mulai memperkenalkan siapa dirinya dan dari mana dia berasal. Dia bahkan menyebut tahun di mana dia tinggal masa itu.

Wanita itu mengernyit, lalu mendekati Rashad. Jarak keduanya sangat dekat.

“Menurutmu, ceritamu itu masuk akal?” tanya sang wanita tua yang tangannya sudah berkacak pinggang.

“Kenapa tidak? Aku tidak pernah berbohong, apalagi kepada orang yang lebih tua,” sahut Rashad penuh percaya diri.

“Kau benar, kau memang tidak pernah berbohong. Tapi kali ini entah iblis apa yang merasuki otakmu hingga melupakan banyak hal. Atau memang benar kalau keluarga kerajaan sudah berbuat sesuatu padamu agar kita tidak mengusut kasus pembunuhan itu!”

Ayesha dan Rashad (1001 Cinta di Kota Baghdad)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang