'You know I love a london boy boy I fency you'
[🎶Taylor Swift - London Boy🎶]
Sebuah notifikasi muncul di layar handphone dengan menampilkan pesan berisikan sebuah penolakan dari salah satu penerbit yang sempat dirinya ajukan. Sejenak sosoknya menghela napas panjang sambil menyandarkan punggung pada sebuah kursi. Memijat pelipisnya perlahan dengan desahan yang terdengar mendalam. Kembali dimasukannya benda pipih itu kedalam saku mantelnya.Tatapannya melirik kearah koper berwarna hitam di hadapannya. Sesaat iris matanya memperhatikan sekitar dengan banyaknya orang yang berlalu-lalang. Suara bising mendominasi pendengarnya saat ini. Tidak lama pemberitahuan mengenai jadwal keberangkatan menuju London Inggris terdengar dengan selisih waktu kurang dari 10 menit. Tanpa terburu-buru salah satu lengannya manarik benda persegi itu pergi menuju Gate bersamaan dengan penumpang lain.
Saat berada di dalam kabin sosoknya mulai mengistirahatkan tubuh sambil memakai headphone yang sudah bertengger di telinga. Mengabaikan setiap penumpang yang masih sibuk mencari tempat duduk. Memutar music bersuara rendah dengan alunan ritme yang memenangkan.
Namanya adalah Lisya Syilvana, seorang gadis muda bersurai hitam legam dengan manik matanya yang kecoklatan. Memiliki tubuh tinggi semampai serta wajah oval yang membingkai paras rupanya. Mempunyai mimpi menjadi seorang penulis adalah tujuannya. Tentunya dengan karya-karya indah yang dapat memikat hati pembaca. Sosoknya begitu berbakat karena sifat keuletan serta prestasi yang sering dirinya dapatkan. Namun sayangnya Lisya harus menelan kenyataan pahit jika menjadi seorang penulis tidaklah segampang yang dibayangkan. Butuh pengorbanan dan juga waktu, bahkan uang untuk dapat menerbitkan sebuah buku menjadi karya seni.
Lisya juga sudah mencoba mengirim puluhan naskah ke beberapa penerbit dan hasilnya tetap sama. Sebuah kalimat penolakan yang selalu membuatnya kembali ciut dan putus asa. Sebenernya apa yang dicari para penerbit darinya yang sudah bersungguh-sungguh melakukan segala cara. Pemilihan kata serta diksi-diksi yang tercantum dalam KBBI sudah semua dirinya pelajari. Namun dirinya tidak pernah menyerah maupun berdiam diri. Segala cara terus dilakukannya mulai dari merangkak, memanjat, serta melewati berbagai kondisi yang dapat membuatnya kembali terpuruk.
Walaupun sering mendapat penolakan dari beberapa penerbit sesungguhnya bukan itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Melainkan masih banyak cara menuju kesuksesan yang dapat diraih dari kesungguhan hati. Lisya percaya akan hal itu, contohnya saja sekarang. Dirinya sedang berada di dalam pesawat menuju benua Eropa lebih tepatnya London, Inggris. Negara maju dengan sistem pemerintahan yang di pimpin oleh seorang Ratu. Namun setelah Ratu Elizabeth II wafat pangeran Carles III langsung mengambil alih peran ibunya sebagai kepala negara.
Sebuah hadiah mengejutkan yang tidak pernah disangka-sangka olehnya. Lisya memenangkan lomba cerpen tingkat internasional yang isinya adalah liburan gratis selama satu pekan menjelajahi negara yang terkenal dengan Istana Buckinghamnya. Awalnya dirinya sempat tidak percaya dan menganggapnya sebagai tipuan. Namun setelah mendapat pesan notifikasi langsung dari salah satu pihak penyelenggara membuatnya diam membeku sebelum beberapa detik setelahnya berteriak kegirangan.
Sebab negara itu sendiri termasuk kedalam Bucket List yang sudah sejak lama dirinya impikan. London adalah tempat terindah dan juga penuh dengan romansa yang selama ini sering dirinya bayangkan. Terlebih lagi penulis favoritnya juga bersekolah disana, yakni J. R. R. Tolkien dengan filmnya yang paling terkenal berjudul The Hobbit dan The Lord Of The Rings. Tidak ketinggalan juga pelukis yang membuatnya jatuh hati dengan karya-karyanya yang memikat, sosok yang dimaksud adalah Vincent Van Gogh. Dua sosok terkenal yang membingkai sejarah dunia dengan karya ciptaannya yang luar biasa.
Lisya kembali menatap ponsel pintarnya sebelum peringatan lepas landas berlangsung beberapa menit dari sekarang. Ditatapnya layar persegi panjang itu dengan seulas senyum di bibir. Sebuah gambar bangunan tinggi dengan jam besar diatasnya, Big Ben. Salah satu bangunan terkenal yang paling ikonik dengan arsitekturnya yang luar biasa indah.
"Tunggu aku."
Setelah itu layar handphonenya meredup digantikan dengan pantulan wajahnya yang terlihat damai meski masih merasa kecewa dengan penolakan yang dirinya dapat. Tidak lama pesawat yang Lisya naiki mulai lepas landas. Melihat dari arah jendela jika dirinya mulai meninggal tempat kelahirannya untuk seminggu kedepan. Semakin tinggi pesawat itu terbang dirinya dapat melihat gumpalan awal yang selama ini dirinya samakan dengan permen kapas. Burung-burung melintasi cakrawala dengan terbang berlawanan arah. Menikmati pemandangan yang menampilkan hal baru membuatnya merasa tenang dan sedikit menghilangkan stress yang dirinya alami.
Lisya sangat berterima kasih dan juga bersyukur atas kesabaran dan kerja keras yang selama ini dirinya pertaruhkan. Kedua kelopak matanya mulai terpejam dan menikmati waktu liburannya dengan perasaan gembira. Memilih mengabaikan penolakan dari beberapa penerbit yang sudah berkali-kali memenuhi ruang pesannya. Bahkan sudah menjadi makanan sehari-harinya.
"Benar, tidak ada tempat tidur senyaman awan."
Butuh waktu lebih dari 17 jam menuju London. Karena itu Lisya memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya dari pikiran negatif yang selama ini bersarang di kepalanya. Tentunya Jakarta sangatlah berbeda dari London terlebih negara itu adalah negara maju. Maka dari itu Lisya berharap jika dirinya dapat melihat hal baru dari sudut pandangnya yang lain. Memahami sekitar dengan pengalaman baru yang selama ini belum pernah dirasakannya. Juga belajar kultur budaya barat dengan kearifan lokalnya.
"London, aku datang."
Besok harinya pesawat yang di naiki Lisya akhirnya mendarat di bandara London Heathrow tepat pukul 9 malam. Gadis itu merasakan seluruh tubuhnya pegal-pegal serta kepala yang berdenyut nyeri. Bagaimana tidak, selama 17 jam lebih posisi duduknya sama sekali tidak berubah bahkan dirinya hampir tidak bisa terjaga karena rasa mual yang dialami. Jangan bilang kalau dirinya terkena Jet Leg?
Lisya menarik koper miliknya menuju Taxi yang sedang terparkir di depan bandara. Raut wajahnya cukup pucat dengan kedua mata terlihat sayu. Seorang supir datang membantu kemudian memasukkan kopernya ke dalam bagasi sementara Lisya masuk kedalam kursi penumpang.
"Tolong antar aku ke hotel ini." Lisya menyerahkan secarik kertas kepada supir Taxi yang sudah duduk di kursi kemudi sambil memasang sabuk pengaman.
Taxi yang di naikinya mulai berjalan meninggal bendara menuju Hotel Strand Palace yang akan menjadi tempat menginapnya selama satu pekan kedepan. Selama di perjalanan Lisya dapat melihat pemandangan dari gemerlap lampu-lampu jalan beserta bangunan klasik lainnya. Tubuhnya memang terlihat lemas namun rasa antusiasnya tidak bisa bohong. Seulas senyum terukir indah di kedua sudut bibirnya.
Sampainya di hotel Lisya langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil mendesah lega. Bahkan barang-barang miliknya tidak sempat dirinya bereskan karena terlalu lelah. Dari atas tempat tidur Iris matanya melirik kearah jendela yang terbuka lebar. Lisya bangun sejenak untuk kembali menutupnya. Tirai transparan berwarna putih terlihat berkibar terkena angin. Sedetik kemudian kedua bola matanya melebar sempurna. Binar cahaya terlihat seperti ribuan bintang yang berkelip.
"Aku akan mimpi indah malam ini." Rona merah nampak jelas di kedua pipinya. Wajahnya terlihat damai dengan surai hitam miliknya yang menari.
Di depan sana terpampang jelas menara Big Ben yang selama ini dirinya impikan. Dipisahkan oleh River Thames dan juga beberapa Yacht pemandangan itu bagikan surgawi yang tidak bisa terlewatkan. Gemerlap cahaya begitu indah di malam pertamanya setelah mendarat. Rasanya Lisya akan benar-benar mimpi indah malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Ben
Lãng mạnPencarian jati diri seorang penulis muda yang mendambakan sebuah kebahagian. Tentang apa itu cinta, pengorbanan dan juga rasa sakit. Pertemuannya dengan seorang pemuda asal Inggris membawanya pada satu hal yang berhasil dirinya sadari, jika cinta t...