[03] Problem

144 18 0
                                    

"Menurut lo, ketulusan itu apa?" Celetuk Freen tiba-tiba tanpa menoleh.

"Ketulusan... Ketulusan bisa membuat seseorang terluka." Jawab Becky serius.

"Kenapa begitu?" tanya Freen dengan tatapan tak setuju.

"Karena ketika ketulusan itu tak dibalas, ia akan sakit hati."

"Bukannya ketulusan tak memintanya kembali?"

Kringg~
Suara bel masuk terdengar nyaring membuat percakapan mereka terputus. Seluruh siswa-siswi SMA Airlangga berlarian menuju ke arah lapangan untuk melaksanakan upacara pagi seperti biasa. Termasuk Freen dan Becky. Tetapi, percakapan mereka tadi masih bersarang di dalam pikiran Freen.

"Aduh... gue gak bawa topi, Freen." Panik gadis itu.

Freen pun memberikan topinya pada Becky, "nih pake aja." sembari menampilkan senyumnya.

"Lah, trus lo gimana? Ntar lo dihukum." tanya Becky dengan wajah khawatir.

"Gapapa, asal bukan lo yang kena." Freen mengusap pelan rambut Becky, memberikan senyum hangat seperti seharusnya.

"Yok buruan ke lapangan, ntar telat kita." Ajak Becky menutupi pipinya yang memerah merona seperti kepiting rebus.

Gadis penyuka warna pink itu menarik tangan Freen menuju ke lapangan. Disana, sudah banyak murid yang berbaris rapi sesuai kelasnya masing-masing. Juga, barisan khusus bagi siswa yang tidak menggunakan atribut lengkap.

Mereka berdua berjalan terpisah, Freen berbaris di barisan siswa yang tak taat aturan itu untuk nenggantikan posisi Becky. Sementara Becky berbaris di barisan kelasnya. Tentu hal ini menarik perhatian semua siswa. Bagaimana bisa seorang Freen Sarocha berdiri di barisan siswa yang tidak taat aturan. Namun, sepertinya gadis teladan itu tak memperdulikan tatapan tanya dari teman-temannya.

***

"Bagi yang tidak menggunakan atribut lengkap, tetap berdiri di barisan kalian dengan tangan hormat ke arah bendera!  Hingga jam pelajaran pertama selesai!" perintah tegas dari pak Prapto sebagai penanggung jawab siswa setelah upacara selesai yang sudah lelah dengan perilaku murid-muridnya.

Terik matahari pagi ini terasa begitu menyengat kulit. Apalagi dengan mereka yang menatap langsung kearah matahari berada. Hingga kelopak mata mereka berusaha keras untuk melindungi retina mereka agar tidak terkena dampak menatap sinar matahari terlalu lama.

Freen memaksakan dirinya untuk tetap berdiri tegak menyelesaikan hukumannya. Meskipun darah di hidungnya mulai mengalir perlahan. Beruntungnya jam istirahat telah berbunyi nyaring, mengundang atensi para murid untuk keluar dari kelas mencari makan.

Gadis teladan itu segera berlari ke UKS yang berada di depan kelas 12 IPA 1 dengan menutupi hidungnya --tak ingin orang-orang melihatnya dengan kondisi lemah seperti ini.

"Hai bro!" sapa seseorang dengan nada bersemangat ketika Freen telah mengambil satu tisu.

"Hai Fay!" Freen menyamai nada Faye, "kok lo disini? Bolos ya lo?" selidik Freen

"Biasalah, lagi males gue. Lo kenapa tuh?" tanya gadis itu khawatir ketika pandangannya teralih kearah tisu yang berada di hidung Freen.

"Gak pa pa, mimisen doang." Freen terkekeh, membiasakan apa yang terjadi.

"Lo bilang apa? Mimisen doang? Ah, lo mah. Apa-apa juga gapapa." gadis berperawakan tinggi itu berjalan menghampiri Freen. Menyuruh Freen duduk di ranjang UKS.

Tentu Freen tau apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan darah kental itu keluar dari hidungnya. Ia menegakkan tubuhnya di posisi duduk lalu mencondongkan badannya kedepan dan menutup kedua lubang hidungnya dengan cara mencubit hidung selama 5 menit.

"Lo sering gini Freen?" tanya Faye ketika melihat Freen dapat mengendalikan kondisinya.

"Enggak kok, ini kali pertama." balasnya ketika ia selesai dengan ritual mengatasi hidungnya yang mimisan.

Gadis ranking dua di kelas itu menyipitkan matanya, tak percaya dengan apa yang Freen katakan. "Lo gak perlu bohong. Gue gini-gini juga pengen jadi dokter. Cuman ya kebiasaan males gue aja jadi suka bolos gini." ia terkekeh diakhir katanya. Freen tersenyum paham.

"Lagian, lo tadi kenapa di barisan anak gak taat aturan, tumben? Ini kali pertamanya gue lihat lo gini. Kenapa lo?"

"Lagi pengen aja." jawab enteng Freen beserta senyum simpulnya.

"Lo, udah dua kali bohong sama gue. Gue tau sifat lo, Freen! We are different! Lo gak akan bisa jadi kayak gue dan gue juga gak bisa kayak lo. Semua orang udah tau lo kayak apa. Lo anak teladan Freen! Gak cocok kalo lo berdiri disana." protes Faye kesal.

"Yaudah sih, serah gue dong. Lo mau ngantin kagak?"

"Yok lah."

***
Kedua gadis itu mengantri di kantin membeli makan. Disana, seluruh pasang mata menatap Freen dengan tatapan rendah dan menjijikkan. Gadis kelinci itu tak mengerti apa yang tengah terjadi dan dimana letak kesalahan dirinya. Freen menoleh kearah Faye, ia sama sekali tak memperdulikan sekitarnya, fokus dengan makanan yang ingin ia beli.

"Oh ini, yang katanya suka sama cewek? Kalo gitu lepas aja jabatan dia dari OSIS. Jelekin image OSIS sekolah kita aja, iya gak?"

"Iya bener tuh, kalo bisa keluarin aja dari sekolah. Dasar lesbian!"

"Anak seorang koruptor ini gak tau malu ya? Udah diterima di sekolah ini eh makin ngelunjak."

Freen bisa mendengarkan semua cacian dan umpatan yang mengarah padanya. Beribu-ribu sayatan ia dapatkan siang ini. Hatinya hancur. Gadis itu meninggalkan kantin dan juga Faye.

"Freen! Kok lo ninggalin gue sih?" Faye mengejar Freen ke kelas mereka tanpa membeli jajan yang ia inginkan.

Bertepatan dengan kaki Freen memasuki kelas, ia mendapatkan lemparan sampah dari teman-teman sekelasnya. Mereka berdua tentu terkejut. Faye, gadis itu ditarik oleh salah satu temannya, Orn.

"Hati-hati sama Freen. Ntar lo disukain sama dia." itu bukan bisikan, itu adalah pernyataan yang dilayangkan untuk Freen seorang.

Gadis kelinci itu masih terpaku di tempat. Menyaksikan semua orang yang menatapnya dengan tatapan kebencian dan tatapan menjijikkan. Seakan-akan ia bukan lagi berlian yang dipandang luar biasa oleh semua orang.

Beautiful Pain [Oneshoot; Freenbecky]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang