07

507 49 9
                                    

Naruto tidak berani menghentikan laju kakinya, dia terus berlari tanpa arah tujuan. Dadanya kembang-kempis, deru napasnya tidak teratur. Pakaiannya tak karuan, belasan tanda merah menghiasi lehernya. Rambutnya pun terurai bebas. Dalam pikirannya penuh makian untuk Raja Iblis yang tampak senang mempermainkannya.

Dia akhirnya terpaksa berhenti sejenak, membungkuk dengan tangan yang bertumpu pada lutut. Naruto meraup oksigen sebanyak-banyaknya sembari menyeka dahi yang basah. Sekujur tubuhnya dibanjiri keringat dan terasa lengket.

"Kakiku bisa copot kalau begini terus," keluhnya. Entah di mana ia sekarang, hanya ada cahaya bulan yang menerangi sekitar samar-samar. Netra biru terfokus pada satu pohon besar yang berdiri kokoh beberapa meter di depan sana, Naruto berharap bisa bersembunyi di baliknya. Ia menoleh ke belakang dan tidak mendapati tanda-tanda Raja Iblis menyusul, tapi terlalu dini rasanya jika ia bernapas lega sekarang.

"Dasar pria tak punya malu! Raja apanya? Dia tidak ada bedanya dengan preman, ah tidak, kurasa julukan preman terlalu bagus. Dia itu pria hidung belang, mata keranjang, dia yang paling buruk dari yang terburuk!" Naruto terus mengomel, mengungkapkan kejengkelannya tanpa menyadari kehadiran sosok yang dimaksud. Raja Iblis sedari tadi sudah bertengger manis di dahan pohon tempat Naruto bersembunyi.

Gadis manusia itu kini tampak menyedihkan di mata Raja Iblis. Mereka berdua tak ubahnya seperti burung elang dan burung pipit.

Hening.

Raja Iblis mengintip ke bawah, memeriksa targetnya yang mendadak diam. Sudut bibirnya terangkat, sarat akan cibiran. Bibir mungil itu lelah menggerutu?

Tak lama kemudian lirih isak tangis terdengar olehnya. Raja Iblis melihat pundak kecil di bawah sana bergetar.

Naruto menggigit bibirnya kuat-kuat sambil mengusap lehernya yang dipenuhi cupang. Ia menyalurkan ketidakpuasan hatinya dengan menggaruk leher, berusaha menghapus tanda yang ditinggalkan Raja Iblis di sana. Muak, Naruto sangat muak dengan permainan ini. Ia sudah berulang kali tertangkap dan dilecehkan pria itu. Namun, bisakah hal ini disebut pelecehan sementara mereka telah menikah?

Naruto semakin keras menggaruk lehernya, tertekan oleh pikirannya sendiri. Air mata tumpah ruah di pipi. "Aku benci semua ini."

"Aku ingin mati," gumamnya. Dia hidup, tapi kehidupannya untuk orang lain. Dia hidup, tapi udara yang ia hirup menyesakkan. Dia hidup, tapi dia tidak punya pilihan. Bukankah lebih baik mati?

Lagi pula, impiannya yang sederhana tidak akan pernah terwujud. Namun, sudah siapkah dia untuk mati? Apa dia akan menyerah begitu saja?

Tangan Naruto tidak berhenti, ia mengabaikan lehernya yang mulai berdarah. Dalam sunyi malam ia sibuk bertarung dengan isi pikiran.

Raja Iblis menginterupsi. "Mau sampai kapan kau di situ?"

Naruto tersentak, mengusap kasar pipinya lalu mendongak, mendapati Raja Iblis berdiri di atas dahan pohon.

"Baguslah kalau kau menyerah." Raja Iblis menghilang kemudian muncul di belakangnya dan berbisik menggoda. "Menyerah artinya kau bersedia melayaniku."

Naruto jelas tidak menginginkan itu, dia berlari lagi, kabur dari suaminya.

Raja Iblis memandang kepergian istri kecilnya dengan tatapan rumit. Punggung sempit itu perlahan lenyap ditelan gelapnya malam. Pria itu lantas menyusul dengan langkah santai, berdecak kesal, permainan ini menjadi membosankan.

Sementara itu Naruto masih berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Namun semakin lama ia berlari, semakin kelam pula jalur yang ia lewati.

Takut, Naruto berhenti untuk melihat sekeliling. Aku ini ada di mana?

Seingatnya tadi, dia berhasil mendobrak pintu kamar, menabrak dua pelayan, kabur ke halaman istana, menerobos semak-semak lalu—Naruto menjambak rambutnya. Tidak mungkin tempat tinggalnya dikepung hutan, kan? Seluas apa istana milik suaminya itu?

"Aarghh! Menyebalkan!" Gadis pirang itu berulang kali menendang akar pohon yang mencuat di bawahnya. Ia mendongak untuk melihat secercah cahaya bulan di sela-sela dedaunan lalu sekali lagi mengamati sekitar.

Oke, kini dia takut dengan hewan buas yang bisa muncul secara mendadak. Tidak lucu kalau dia mati diterkam harimau ataupun beruang.

"Hissh." Naruto menyentuh lehernya yang terasa sakit, luka di sana terkena keringatnya sendiri, perih. Dia harus segera membersihkannya.

Perempuan itu memaksakan kakinya untuk kembali melangkah, berbelok ke salah satu arah yang entah benar atau tidak. Dia harus bergerak. Suhu rendah udara malam ia abaikan. Lagipula tidak ada gunanya jika hanya berdiam diri, Raja Iblis masih mengincarnya.

Beberapa saat berlalu, kebahagiaan kecil merambati dada saat telinganya menangkap samar gemericik air. Naruto juga melihat adanya pantulan sinar rembulan tak jauh di depan sana.

Gadis itu setengah berlari. Ia berhenti setelah sampai di tepi sungai. Aliran airnya tidak deras. Naruto berjongkok kemudian mengaut air yang sedingin es untuk mencuci wajah dan membersihkan lukanya. Airnya menyegarkan.

Naruto ingin sekali masuk ke sungai, tapi karena tidak tahu berapa kedalamannya, ia mengurungkan niatan itu. Dia tidak bisa berenang dan tidak mau tenggelam.

"Kau berhenti lagi."

Naruto terperanjat kaget, tubuhnya hilang keseimbangan, ia memejamkan mata erat, bersiap tercebur. Namun, gadis itu merasakan kerah pakaiannya ditahan dari belakang sehingga tubuhnya belum basah kuyup.

"Ceroboh," ejek pihak lain.

Rona merah menjalar sampai ke telinga. "Aku seperti ini karena ulahmu, sialan!"

Raja Iblis menanggapinya kalem. "Oh."

Brengsek! Naruto mengumpat diam-diam. Sorot matanya menajam penuh dendam. "Lepaskan aku!"

"Baiklah."

BYUR!

Raja Iblis begitu tenang menonton istri kecilnya beratraksi di dalam air.

Naruto tak ubahnya ikan yang menggelepar di daratan. Kepanikan mengacaukan segalanya. Andai saja dia tenang, dia pasti tahu jika batas tinggi air hanya sampai perutnya.

"Sangat konyol," ledek Raja Iblis.

***


09122023

Keknya perkembangan hubungan mereka masih lamaaaa

Harap bersabar ^^

Idk, tapi pas ngetik bagian ini keinget terus sama muka Jaekyung (⁠╥⁠﹏⁠╥⁠)

Istri Keempat [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang