09

347 54 7
                                    


Hinata segera memerintahkan semua pelayan pergi dari kamarnya usai Naruto pamit undur diri untuk menemui Raja Iblis. Ia memegang erat sapu tangan yang diserahkan kepadanya, meneliti pola sulaman itu sekali lagi dengan perasaan kalut.

"Ini tidak mungkin." Hinata tidak ingin memercayai pikiran gila yang terlintas di benaknya. Dia membuka lemari besar di sudut ruangan, menggeledah barang-barang yang telah lama tak tersentuh semenjak tragedi pembantaian keluarganya.

Akhirnya Hinata menemukan selembar kain lusuh dan menyandingkannya dengan sapu tangan pemberian Naruto. Dia bergumam lirih. "Polanya sama, bahkan letak motif bunga dan namaku juga... Bagaimana bisa?"

Kain lusuh itu adalah sapu tangan buatan adik perempuannya, Hanabi, yang tewas dalam tragedi lima puluh tahun silam.

Pikiran Hinata saat ini sangat berantakan. Rencana yang belasan tahun ia susun terasa sia-sia. "Jika memang perkiraanku benar, maka aku tidak bisa...."

Hinata tersenyum kecut. Pantas saja muncul perasaan akrab yang aneh ketika ia menatap Naruto untuk pertama kalinya. Pantas saja ia panas hati mendengar kedekatan Naruto dengan Ino dan Sakura. Pantas saja timbul rasa ingin melindungi saat bersamanya.

Pantas saja tanpa alasan yang jelas ia justru khawatir melihat Naruto keracunan, padahal dirinya sendirilah yang diam-diam menaburkan racun ke setiap hidangan kala itu.

"Hanabi," gumamnya, penuh penyesalan. Wajahnya memanas, tak berselang lama air matanya jatuh menganak sungai di pipi. "Maafkan aku."

Dibutakan bayang-bayang dendam kepada Raja Iblis membuatnya abai dengan teriakan hati kecilnya. Alam bawah sadarnya sejak awal telah mengenali jiwa Hanabi yang terlahir kembali, tetapi pikirannya tumpul. Ia merasa sangat bodoh.

Hinata menangis begitu lama, meratapi tindakannya yang telah berupaya untuk menghabisi Naruto.

oOo

Di sinilah Naruto, lagi-lagi terjebak bersama si suami laknat. Ia tak pernah merasa nyaman dengan kehadiran sosok pria bertopeng yang kini duduk di hadapannya. Suasana diantara mereka berdua sama sekali tidak menyenangkan, Moegi dan pelayan lain pun ikut terimbas aura mencekam yang menguar dari tubuh Raja Iblis.

Sudut bibir pria itu terangkat sedikit. "Aku ingin bicara empat mata dengan istriku."

Dalam sekejap tubuh Naruto bergidik ngeri mendengar Raja Iblis menyebut dirinya sebagai "istriku" alih-alih memanggil nama.

Para pelayan mengangguk lalu bergegas pergi dari sana.

Naruto menggigit pipinya dari dalam, sebisa mungkin tidak mengerang kesal dan menendang meja karena kehadiran sesosok makhluk yang paling tidak ingin ia jumpai.

Gadis manusia itu mengambil napas dalam-dalam kemudian bertanya sopan. "Ada apa, Yang Mulia?"

Raja Iblis mengulum senyum, ada perasaan aneh yang seolah menggelitik dadanya menghadapi tingkah palsu Naruto. "Aku yang memakai topeng, tapi kenapa justru kau yang selalu berakting?"

Naruto menghela napas, lenyap sudah semua kesopanan yang sempat ia tampilkan. "Bisakah kau langsung terus terang?" Dia menggerutu pelan. "Aku bukan penyihir yang bisa membaca pikiran."

Raja Iblis mengamatinya dengan bosan. "Aku juga bukan, tapi aku tau isi otak kecilmu itu."

"Huh?"

"Manusia konyol yang berharap banteng menyerbu istanaku dan menyeruduk bokongku."

Naruto tercengang. Sialan! Tanpa sadar ia mengumpat dalam hati.

"Kau baru saja menyumpahiku."

Suaranya tercekat. "Berhentilah membaca pikiranku."

Raja Iblis berpangku tangan, mendengkus pelan, tatapannya menyiratkan ejekan. "Tidak mau."

Naruto lantas berdiri dan menggebrak meja. "Brengsek! Berhentilah mempermainkanku!"

Raja Iblis mengernyit tak suka. Tubuhnya dalam sekejap berpindah tempat, kini berdiri di balik tubuh Naruto. "Jaga mulutmu, manusia."

Raja Iblis mencengkram rahangnya dari belakang. Memaksa Naruto mendongak menghadapnya. "Kau sangat tidak tau diri."

Jantung Naruto berdegup keras, takut, mata merah yang mengerikan itu menatapnya tajam. Dapat dilihatnya senyum pongah tercetak di wajah Raja Iblis lalu cengkraman di rahangnya menguat.

"Sikapmu perlu diperbaiki." Nada suaranya terdengar mengancam. "Kali ini aku akan memberimu hukuman yang pantas."

oOo

Moegi tidak bisa berhenti merasa khawatir. Pasalnya, usai kunjungan Raja Iblis kemarin, tuannya ini memintanya untuk menyiapkan air mandi dan melarang siapapun masuk ke Paviliun Himawari. Naruto juga tidak beranjak dari ranjangnya semenjak pagi tadi. Ia pun telah beberapa kali mendengar isak tangis di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis manusia itu.

Moegi meragu, tetapi akhirnya memberanikan diri untuk memanggil. "Nyonya."

Tidak ada respon pada awalnya, tetapi beberapa saat kemudian terdengar gemerusuk lembut gesekan kain di balik selimut.

"Pergilah." Suara parau itu terasa hampa, tanpa harapan. "Tinggalkan aku sendiri."

"Baik, Nyonya." Moegi tidak membantah dan segera pergi keluar. Namun, dia kembali menatap gundukan selimut itu sebelum menutup pintu kamar, masih digelayuti rasa cemas akan keadaan tuannya.

Naruto menurunkan ujung selimut yang menutupi kepalanya. Wajahnya saat ini sangat berantakan, lebih tepatnya menyedihkan. Mata yang merah sembap dan rambut acak-acakan menempel di pipinya yang basah.

"Sakit." Dia merintih pelan, nyaris seperti bisikan. Sekujur tubuhnya serasa remuk, apalagi bagian intimnya. Raja Iblis tak main-main dengan perkataannya. Pria nomor satu di dunia iblis itu telah memberinya pelajaran yang tak akan pernah dia lupakan.

Hal yang paling berharga milik Naruto telah hilang, direnggut paksa oleh Raja Iblis. Tidak peduli seberapa keras dia meronta dan memohon ampun, Raja Iblis seolah buta. Pria yang enggan diakuinya sebagai suami adalah alasan utama dibalik seluruh rasa sakit yang menimpanya.

Belum puas dengan segala paksaan yang ia lakukan, Raja Iblis masih mencemoohnya selepas kegiatan yang sangat menyiksa bagi Naruto.

"Ke mana perginya sikap aroganmu itu? Lihat dirimu sekarang, sangat kotor dan menjijikkan."

Naruto tidak bisa mengenyahkan memori mengerikan yang terjadi kemarin. Ia meremas kuat selimut di tangannya. "Aku tidak menjijikkan." Dia mengulangi ucapannya seolah-olah itu adalah mantra penenang.

Naruto menangis lagi untuk kesekian kalinya hari ini lalu tanpa sadar jatuh tertidur.



***







260624

Naru... (⁠。⁠•́⁠︿⁠•̀⁠。⁠)

Thanks for the vote and comment :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Istri Keempat [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang