Seorang perempuan bernama Zana Khairunnisa tengah khusyu dalam sholatnya, sibuknya ia dalam beraktivitas di dunia tidak mengecoh prinsip untuk sholat tepat pada waktunya.
"Nak, jangan menunda sholat, ya. Jika kita menunda sholat kita, maka jangan heran jika urusan kita di dunia ini tertunda. Ingat pesan Mama, jika adzan sudah berkumandang, jika bisa kamu tinggalkan sebentar kegiatan kamu, tinggalkan dulu saja, lalu segeralah bergegas ambil air wudhu."
"Dan lagi satu, sholat itu kewajiban, Na, kewajiban yang harus kamu laksanakan sebagai seorang muslimah. Dan kewajiban itu bukan hanya sekedar kewajiban. Lantas karena wajib malah jadinya yang penting sholat, tidak boleh juga begitu. Sholat itu juga adalah penghubung antara kamu dan Tuhanmu. Dalam mengerjakannya tidak boleh terburu-buru, jadi kerjakanlah setiap rukunnya dengan penuh kekhusyukan."
Kata-kata sang ibu terus menjadi motivasi bagi Zana dari kecil hingga sekarang. Kini umur perempuan itu sudah menginjak 25 tahun. Ia bekerja di salah satu industri penerbitan yang ada di kotanya sebagai editor.
Selesai sholat, Zana bergegas melipat mukena kemudian buru-buru keluar dari ruang sederhana khusus yang sengaja disediakan untuk para karyawan yang ingin sholat.
Perempuan berkhimar coklat panjang itu kemudian kembali mengerjakan pekerjaannya.
Zana mulai bekerja di industri penerbitan ini sejak 3 bulan yang lalu. Lingkungan dan orang-orang disekitarnya sangat bersahabat dan ramah padanya, memang tidak ada yang patut Zana syukuri di tempat kerja ini selain rekan kerja yang baik. Karena bekerja bukan hanya soal tugas, pendapatan dan juga tanggung jawab, melainkan lingkungan yang nyaman dan rekan kerja yang baik adalah sebuah keharusan.
Selesai bekerja, Zana lekas terburu-buru menuju parkiran motor untuk segera pulang. Kebetulan hari ini keluarganya sedang sibuk pindahan ke rumah baru, yang cukup jauh dari tempatnya bekerja.
"Aku duluan ya, Mel." Zana tak lupa menyapa teman kerjanya yang masih sibuk berbincang-bincang dengan kekasihnya.
"Iya, hati hati ya!" teriaknya yang entah masih terdengar oleh Zana atau tidak.
🍁🍁🍁
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah yang hendak dijual itu, Zana memikirkan satu hal yang terus terngiang. Katanya, rumah baru yang akan ditinggali oleh keluarganya tepat bersebelahan dengan rumah teman lamanya. Kebetulan yang membuat Zana merasa senang, ia bahkan sudah ingin bernostalgia duluan tentang masa lalu bersama teman lamanya itu.
Zana kemudian menghela nafas kecil, wajahnya terlihat bahagia walau cuma menampilkan senyum tipis. Meski sudah cukup lama sekali tak saling bertemu, Zana yakin teman lamanya itu pasti ingat padanya. Bahkan Zana sendiri, paling ingat padanya ketimbang teman lainnya. Bagaimana tidak, kesan pertemanan antara mereka berdua sangatlah akrab.
"Iqis juga pasti bakal mereog kalau tau aku bakal jadi tetangganya."
Bilqis Hanaira, perempuan yang akrab dipanggil Iqis oleh Zana itu merupakan seorang perawat rumah sakit. Perempuan cantik yang memiliki kepribadian ceria dan penuh energi. Daripada itu, Zana terkadang kesal dengan kelebihannya yang hobi berteriak tiba-tiba di telinga. Tentu saja hal itu membuat siapapun terkejut dan mendadak kehilangan pendengaran secara sementara.
Zana kini telah tiba di halaman rumah, dilihatnya mobil pengangkut barang yang terparkir tepat di depan rumahnya telah penuh dengan berbagai barang-barang dari rumahnya.
Tapi satu orang yang sangat membuatnya tercengang adalah sosok perempuan yang turut membantu mengeluarkan barang-barang dari rumahnya. Zana ingin heran, tapi tabiat sang teman yang memang suka muncul tiba-tiba tanpa memberitahu dulu sudah lumayan membiasakan dirinya. Zana menduga bahwa kabar pindahannya didengar dari ibunya yang begitu akrab dengan temannya itu.
Zana memasang wajah pasrah ketika temannya itu mulai melambaikan tangan padanya.
"Na! Buruan sini! Ngapain sih kamu berdiri terus disitu?"
Zana kemudian melangkahkan kaki ke sana. "Tau dari Mama kan?" tanyanya tiba-tiba.
Yang ditanya malah nyengir kuda. "Dari Njun kesayangan kamu, tuh!" Bilqis menunjuk kucing ras biasa berbulu hitam pekat.
"Dia telepati kamu gitu? Atau berubah jadi manusia dan nemuin kamu lalu ngasih tau?"
Bilqis tak memilih menjawab kalimat Zana. "Kalau aja Njun bisa jadi manusia kayak di film-film, pasti ganteng banget ya kan, Na?"
"Jangan kebanyakan nonton film deh, ntar semua-semua kamu khayalin berubah jadi manusia."
Bilqis hanya merespon dengan tawa kecilnya.
Zana yang seketika itu fokus pada seragam kerja Bilqis yang masih melekat di tubuhnya dan langsung mengernyit heran. "Qis, kamu abis dari rumah sakit langsung ke sini? Nggak ganti baju dulu?"
"Enggak sempat," sahutnya sambil terkekeh geli. "Kan keren kalau begini."
"Keren apanya?" Setelah mengatakan itu, Zana langsung masuk untuk menemui ibunya.
Melihat kepergian Zana, Bilqis terlihat manyun. "Aku kok ditinggalin, Na? Ikut..."
Saat memasuki rumah, Zana menemukan ibunya yang sedang memasukkan piring ke sebuah box putih. Tak lupa mencium tangan sang ibu yang merupakan kebiasaan yang tak pernah Zana lupakan setiap pergi keluar maupun pulang ke rumah.
"Biar aku aja, Ma, Mama duduk aja."
"Eh? Kenapa? Mama tidak merasa lelah kok."
Zana tersenyum maklum, kemudian membantu Nadia- ibu Zana- memasukkan piring dan perlengkapan dapur lainnya ke dalam box yang ada.
Saat sedang sibuk mengerjakan tugasnya dengan peralatan dapur, Bilqis malah mendekat ke sebelahnya. Padahal tadi perempuan itu masih mondar-mandir menimang-nimang Njun kucing kesayangan Zana agar tertidur.
"Na Na Na, ini beneran kamu bakal tetanggaan sama Sadam? Sadam temen sekelas kita dulu?"
Entah kabar darimana Bilqis dapatkan secepat itu, walau memang benar, tapi Zana masih heran bagaimana caranya Bilqis mengetahui hal apapun sebelum ia beritahu.
"Iya, kayaknya sih iya, tapi emang iya sih."
Bilqis cengo dengan kalimat yang Zana katakan barusan. "Ngomong yang jelas dong, Na, iya atau enggak nih?"
Zana berangguk malas, namun respon Bilqis begitu heboh sendiri. Tidak heran lagi jika dia bersikap seperti itu, sebab Bilqis sudah seperti fans fanatiknya Sadam sejak duduk di bangku kelas 10.
"Na, ini serius kan? Ya Allah Ya Allah Ya Allah..." Jangan ditanya, saat ini Bilqis super duper heboh melebihi seseorang yang memenangkan kupon keliling dunia. "Mimpi apa ya aku semalam?"
"Emang kenapa sih? Lagian yang tetanggaan sama Sadam kan aku, bukan kamu, kenapa kamu yang malah seneng banget gini?"
"Aduh, Zana... kamu tau nggak? Aku tuh jadi punya alasan untuk setiap hari ke rumah kamu."
Bahu Zana spontan melorot. "Oke, syuting untuk cerita ini udah kelar. Makasih untuk semuanya." Zana berlalu pergi.
"Na, belum happy ending, Na!"
🍁🍁🍁
Setelah semua barang sudah diangkut ke mobil barang, Nadia, Zana dan Bilqis bersiap untuk menuju rumah baru. Tak terasa, waktu yang dihabiskan untuk membereskan semua barang cukup lama, sampai-sampai telah disambut sang mentari jingga kemerahan diujung barat sana yang hampir tenggelam.
"Qis, kamu mau ikut atau pulang?"
"Aku pulang aja deh, udah mau maghrib juga kan? Ntar Bunda khawatir lagi."
"Ya udah, hati-hati ya, jangan ugal-ugalan bawa motor."
"Siap, Bu boss," Bilqis tiba-tiba mengangkat tangannya kemudian hormat.
Zana pun malah ikut hormat balik pada Bilqis. "Pulanglah dengan selamat wahai anak muda."
"Doakan saya, Ndan!" Tak lama sahutan dari Bilqis itu berhasil memecahkan tawa kedua perempuan itu.
Nadia pun ikut terkekeh melihat kelakuan 2 perempuan muda di sampingnya. "Kalian berdua ada-ada aja."
Bilqis berjalan menyalim tangan Nadia untuk berpamitan. "Aku pamit pulang ya, Tan, ditunggu jamuan mewah rumah barunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovarian
SpiritualTentang ujian cinta yang dirasakan Zana Khairunnisa teramat berat. Ujian cinta yang membuatnya terjerumus dalam hubungan yang tidak Allah ridhoi. Hubungan yang membawanya perlahan sadar bahwa semua yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Namun un...