Banu pulang ke rumah dengan senyum kecil yang mulai ia cetak sejak di perjalanan tadi. Jangan sampai keluarga Sadam jadi mengkhawatirkannya hanya karena melihat wajah kusutnya. Banu yang terbiasa memasang wajah bahagia tentu akan sangat memunculkan tanda tanya jika terlihat sendu sedikit saja. Sedikit pun Banu tidak menginginkan orang lain melihat sisi lain dari dirinya. Biarlah lukanya ia pendam sendiri tanpa harus terlihat oleh sekitarnya.
Baru saja akan membuka pintu, rupanya Sadam lebih dulu membukakan pintu untuk Banu. Laki-laki itu bergeleng pelan mencoba mengatur wajah maklum terhadap sepupunya itu.
"Jam berapa ini?"
Banu segera menarik tangan kiri Sadam, tepat pada tangan itulah Sadam memakai jam tangannya. "Jam 9?"
"Kenapa baru pulang? Kalian lembur apa gimana?" Sadam menaik-turunkan kedua alisnya dengan wajah mengintimidasi.
Banu mengulum bibirnya sambil menggaruk tengkuknya meski tak gatal. "Nggak lembur, Dam. Toko tutup, aku nyari angin bentar."
"Nyari angin apa? Angin ribut? Tutup tokonya jam 5 sore, terus sisa 4 jam lagi kamu nyari angin darimana kemana? Sabang sampai Merauke?"
"Yaelah, Dam, udah mirip emak-emak banget kamu gitu. Lagian anak laki jaman sekarang emangnya masih ada yang pulang ke rumah jam 9 kalau main? Masih mending aku, kan?"
Sadam berangguk kecil. "Sholat gimana?"
"Aman kok, alhamdulillah."
"Yaudah, ayo masuk. Kamu udah makan malam belum?"
Banu menggelengkan kepalanya sambil manyun.
"4 jam di luar rumah, tapi nggak sempat makan? Bagus banget."
Banu nyengir canggung. Benar dugaannya, bahwa Sadam masih sama dan belum berubah. Dulu, setiap kali Banu pulang jam 7 malam lewat tanpa memberi kabar, sesampainya di rumah, Sadam pasti akan mengomelinya. Mulut sepupunya itu melebih ibunya, bahkan ibunya sendiri pun tak pernah terlalu mencampuri urusan Banu selagi masih wajar-wajar saja. Tapi Sadam ini entah kelewat peduli atau memang hobinya mengomel saja. Pernah kali itu, Banu sampai mengutuknya lekas tua. Namun kesalnya, laki-laki bernama Sadam itu malah semakin menawan seiring bertambahnya usia.
"Kok rumah sepi? Om sama Tante mana?"
"Keluar bentar tadi katanya, tapi aku juga nggak tau kenapa sampai sekarang belum pulang juga."
Banu berangguk mengerti. "Biarin aja, Om sama Tante juga perlu waktu berduaan."
"Ban, lekas makan abis itu istirahat." Sadam menepuk pundak Banu. "Kalau ada apa-apa, cerita aja sama aku atau Andra atau siapapun itu, jangan suka dipendam sendiri."
Banu mematung tak percaya. Walau terkadang sikap Sadam yang seolah mengekang dan serba melarang itu sangat menyebalkan, tapi justru Sadam adalah orang yang paling peka terhadapnya.
Tak lama Banu menarik senyum kecil. "Iya, kapan-kapan aku bakal cerita kalau aku siap untuk cerita."
🍁🍁🍁
"Ndra! Kenapa? Kamu selingkuh? Kamu udah ada yang baru sampai-sampai sekarang jadi cuek banget sama aku?"
Perempuan berambut ikal panjang itu tampak marah. Pasalnya pesan dan telpon darinya tak kunjung dibalas, padahal sudah 2 hari ia mengirimkan pesan tersebut.
Andra mencoba tenang dengan menarik nafas pelan. Awalnya tak ingin menatap perempuan yang tiba-tiba datang ke rumahnya, meski sadar sudah malam, tapi akhirnya Andra melihat ke arah perempuan itu.
"Winda, aku nggak punya yang baru atau apa tadi kamu bilang? Selingkuh?"
"Terus apa?! Ha?! Main di belakang aku?! Iya?! Ndra, sebenarnya kamu hargai aku nggak sih? Kamu hargai nggak hubungan kita?"
"Hubungan apa? Kamu dan aku, kita nggak pernah memastikan status hubungan kita, Win." Andra memalingkan wajahnya dari Winda.
"Enteng banget kamu ngomong gitu, jadi selama ini kita apa? Aku ini apa bagi kamu? Mainan?"
"Kita cuma sekedar teman, nggak lebih. Seharusnya kamu tau soal itu, Win. Aku kan udah bilang sama kamu, jangan baper kalau sama aku."
Geram mendengar ucapan Andra, tangan Winda bersiap menampar pipi kiri Andra. Namun Andra berhasil mencengkram tangan Winda sebelum mendarat ke pipinya.
"Jangan coba-coba tampar aku. Ingat, aku nggak pernah nyuruh kamu untuk deketin aku. Aku juga nggak pernah minta kamu untuk temenin aku kemana-mana. Kamu sendiri yang datang dan minta tempat sebagai perempuan penting di hidup aku. Dan aku, aku nggak pernah memberi tempat penting itu untuk kamu."
Setelah mengatakan kalimat yang teramat kejam itu, Andra langsung masuk ke dalam rumahnya dan meninggalkan Winda yang merasa tak percaya atas sikap Andra padanya.
"Tega ya kamu, Ndra. Selama ini kamu bersikap seolah-olah aku adalah perempuan yang berarti dalam hidup kamu. Tapi apa yang kamu katakan hari ini, semuanya membuktikan bahwa kamu nggak sebaik yang aku pikirkan. Aku kira hubungan kita istimewa. Mungkin mereka benar, kamu adalah laki-laki yang suka mempermainkan perasaan perempuan. Kamu buat aku merasa bahwa aku adalah satu-satunya dan yang paling istimewa, ternyata aku salah satunya, mainan yang bisa kamu buang kapan aja."
Winda mengusap air matanya, kemudian berlalu pergi dari halaman rumah Andra.
Arin yang sejak tadi berdiri menunggu Andra dan teman perempuannya pergi, langsung memasuki rumah setelah keduanya pergi.
Raut wajahnya tampak tak senang. Arin melangkahkan kakinya menuju kamar Andra.
"Ndra! Aku nggak mau peduli, tapi mataku sakit juga kalau terus-terusan liat perempuan-perempuan mainanmu itu pada nangis."
Andra merotasikan bola matanya malas. "Nggak usah mikirin orang lain, pikirin aja diri kamu sendiri."
Arin memiringkan kepalanya seolah tak percaya. Ia jelas tak habis pikir dengan perilaku Andra.
"Mau sampai kapan?"
"Kamu nggak usah ikut campur, Rin. Kamu nggak tau apa-apa. Biar aku yang urus semua tentang hidupku."
Sudah malam begini yang biasanya Zana telah tertidur nyenyak di kasurnya, justru malam ini ia malah masih asyik melihat ponselnya. Dirinya sedang berbalas pesan dengan seseorang.
Andra
Kamu nggak tidur, Na?
Udah malam.Belum, Ndra.
Aku belum bisa tidur.Zana tidak tahu mengapa, tapi memang sejak pertemuan pertama kali itu, Zana telah menaruh hati pada Andra. Dan Andra adalah satu-satunya dari banyaknya orang yang mendekatinya, yang benar-benar ingin ia balas setiap ketikan pesannya.
Mungkinkah kesenangan ketika seseorang yang ia sukai ternyata membalas perasaannya benar seperti ini?
Zana tahu bahwa ini sepertinya salah, tapi ia tetap melakukannya sebab hanya berbalas pesan biasa, bukankah tidak apa-apa?
Melihat balasan, lalu tersenyum karena ia merasa senang dengan ketikan Andra, lalu tiba-tiba salah tingkah sendiri. Itulah yang Zana lakukan sekarang, hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga.
"Sepertinya Andra laki-laki baik, apakah boleh aku mencintainya? Mungkin aku bisa memberi kesempatan untuk Andra dan aku agar saling mengenal dengan baik."
Zana yang tidak pernah ingin didekati lelaki manapun, dengan mudahnya luluh oleh lelaki bernama Andra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovarian
SpiritualTentang ujian cinta yang dirasakan Zana Khairunnisa teramat berat. Ujian cinta yang membuatnya terjerumus dalam hubungan yang tidak Allah ridhoi. Hubungan yang membawanya perlahan sadar bahwa semua yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Namun un...