01. Gavendra Kamandaka

46 7 0
                                    

╔═*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

╔═*.·:·.✧ ✦ ✧.·:·.*═╗
01
╚═══════════╝
•ᴡᴇʟᴄᴏᴍᴇ ʀᴇᴀᴅᴇʀꜱ•
♕ ɪ ʜᴏᴘᴇ ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ʀᴇᴀᴅʏ ꜰᴏʀ ᴍʏ ᴡᴏʀʟᴅ♕
🌹

Nafas terhembus kasar dari seorang pemuda bersurai coklat kegelapan.

Sorot mata hazelnya kini tengah memandangi sekumpulan masyarakat yang masih berlalu-lalang dari balkon istana. Mereka tengah menjalani transaksi kepingan koin perunggu dengan setampah gandum, sambil tangannya memegang lampu petromak guna mengusir gulita malam.

Cahaya menyusup dari balik kabut menerangi gubuk sederhana beratap jerami yang disangga oleh dinding bambu. Gubuk tengah ramai dipenuhi paguyuban kepala keluarga, tentunya dengan perbincangan hangat mengenai hasil panen mereka yang cukup melimpah.

Gurat bahagia terlihat jelas pada wajah para ayah yang sudah sedikit keriput, tak lama istri tuan rumah datang membawa kudapan wajik yang telah dihidangkan bersamaan dengan secawan wedang ronde panas.

"Dosanya diriku jika membiarkan struktur masyarakat ini hancur karena keegoisan seseorang."

Suara Gavendra Kamandaka nampaknya ikut tertelan bersama rasa sesak yang semakin memakan jam tidurnya, perkamen-perkamen di meja hampir tak pernah disentuh lagi, pertanda masalah yang mengunjungi Gaven bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan hanya dengan undangan pesta minum teh.

Selang berapa menit setelah sang raja tampak mengusap pelipisnya, terdengar jejak langkah kaki mulai masuk tanpa permisi ke ruangan pribadi.

"Masalah apa yang mengusik engkau wahai kakakku? Sehingga hatimu diselimuti gelisah tak berdasar layaknya seorang nelayan yang tak kunjung mendapatkan ikan, bahkan ketika tahu laut pada malam tersebut tak pasang?" tegur seorang pemuda yang tingginya hampir sama dengan sang kakak.

Gaven tersenyum tipis lantas membalikkan badan kekarnya menatap netra jernih milik saudara mungil dengan usia lebih muda darinya, Mada Bimasena masih menunggu jawaban yang tak kunjung didapatkan.

"Saudaraku, setidaknya para nelayan memiliki harapan mendapatkan rezeki, di saat mereka tahu bulan sedang tidak ikut mendampingi si mereka mengarungi luasnya segara."

"Ah? Apakah kakak tengah kehilangan harapan?" tanya Mada ikut memandang langit yang menjadi sorotan sang kakak.

"Sedikit," balasnya kemudian.

Mada menganggukkan kepalanya samar sambil mencerna tutur kalimat yang dijabarkan Gavendra, sebagai seorang adik tentu akan ikut tersiksa melihat kakaknya tak lagi memiliki selera makan dengan riang, biasanya kala ruangan bersisa mereka berdua, Gaven akan meraup rakus nasi berlauk bebek panggang ternak langganannya.

"Maaf apabila adikmu ini lancang kakak, jika kakak berkenan ceritakanlah keganjalan tersebut pada Mada, siapa tahu Mada dapat meringankan beban yang kakak pikul," pinta sang adik lantas keluar menutup balkon guna memberi ruang pada kakaknya untuk mengungkapkan segala hal yang menyiksanya seminggu terakhir.

Seutas FatamorganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang