02. Pelajaran Terakhir

25 6 0
                                    

╔═*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

╔═*.·:·.✧ ✦ ✧.·:·.*═╗
02
╚═══════════╝
•ᴡᴇʟᴄᴏᴍᴇ ʀᴇᴀᴅᴇʀꜱ•
♕ ɪ ʜᴏᴘᴇ ʏᴏᴜ ᴀʀᴇ ʀᴇᴀᴅʏ ꜰᴏʀ ᴍʏ ᴡᴏʀʟᴅ♕
🌹

Sementara itu, Mada yang dicegah para prajurit atas wekas dari sang kakak untuk melarang Mada ikut turun lapangan dengan memberi alasan bahwa dirinya masih terlalu bocah, beberapa penasihat sudah ribuan kali memintanya untuk tenang dengan meyakinkan Mada bahwa segala persiapan perang sudah dipikirkan matang-matang.

Alih-alih mendapat jawaban halus atau selarik pujian, gertakan kecil mereka terima dari Mada, memang terkadang jangan pernah menyamakan sifat adik dengan kakaknya, bisa berlainan dan jika sial terkadang lebih menjengkelkan.

Para penasehat atau penjaga pribadi Mada dibuat menelan ludahnya dalam-dalam untuk menghadapi setiap kalimat pedas yang Mada katakan. Entah bagaimana cara Gaven menata adimasnya itu sehingga menjadi penurut saat bersama dengannya.

Gaven bukanlah seorang kakak yang mudah untuk marah besar sekalipun saudara kecilnya tidak sengaja menumpahkan tinta di atas dokumen penting yang dibuatnya semalam suntuk karena asyik membuka-buka buku tanpa melihat sekitarnya.

Sang kakak tidak marah memang. Akan tetapi, caranya berbicara dapat membuat siapa pun merinding hebat, dimintanya Mada menulis surat resmi tanpa kesalahan sebagai konsekuensi atas ketidaksengajaannya.

“Huh... Bagaimana jika kakak tidak pulang dengan nyawanya?...”

Untuk kesekian kalinya Mada menanyakan pertanyaan retorik yang sama, hingga pada akhirnya Mada mendaratkan diri di singgasana empuk dengan kepalanya berdenyut ria tak membiarkan pikirannya tenang barang sekejap.

Di belahanan wilayah Kerajaan bagian yang lain, Meera baru saja selesai membantu ibunya memetik sayuran di kebun hanya diam melamun di teras sambil mengupas mentimun.

Sepertinya bukan hanya Mada dan Meera yang memikirkan keselamatan Gaven. Para ibu-ibu yang suaminya sudah pensiun ikut membicarakan kemungkinan keselamatan Gaven yang terbilang masih muda untuk binasa.

“Tidak-tidak, Gaven pasti selamat,” pikirnya mengatur laju napas yang kian tak teratur. Setiap sore gadis itu menunggu digerbang sambil memegangi keranjang berisi tiga cupcake  bersaus coklat yang sengaja dibuat untuk menanti Gaven.

Akan tetapi, hasilnya tetap nihil. Tidak ada yang datang kecuali riuhan burung-burung bernyanyi merdu memandu anak-anaknya untuk segera pulang ke sarang membawa mangsa mereka.

Dilihatnya cupcake yang sudah mendingin sambil terus berdoa agar Gaven pulang dengan selamat. Lampu petromak mulai menyala remang-remang di saat Meera berjalan pulang menuju rumah kecilnya, berteman langit yang semakin termakan malam Meera sesekali membalas sapaan orang-orang disekitarnya, sekiranya masih terjaga sekedar mengobrol dan minum teh hangat.

Seutas FatamorganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang