"Lo masih sekolah, kan?"
Sejenak, aktivitas makan malam Anton terhenti. Ia melirik Sadio sebentar, lantas mengangguk kecil. Baru sekarang Anton ingat. Tak sempat ia pikirkan mengenai urusan pendidikannya akan berlanjut seperti apa. Anton sama sekali tidak memikirkan hal itu jika Sadio tak bertanya.
Sebelum ini yang hanya Anton pikirkan adalah meninggalkan masalah yang membuat kehidupannya hancur. Membuatnya mengambil sebuah keputusan untuk pergi jauh tanpa rencana yang matang. Kepindahannya mendadak, mendesak, dan sangat memaksa.
"Mau lanjut?"
"Menurut kak Sadio gimana?"
"Menurut gue? Lo harus lanjut. Pendidikan itu harus tetap jadi prioritas, dimana pun lo hidup." Ucapan Sadio ditanggapi anggukan tipis oleh Anton. "Nanti kalo mau, gue cariin sekolah yang tepat buat lo. Mau sekolah yang kayak gimana?"
Anton menggeleng pelan. Untuk saat ini ia belum bisa memikirkan tentang spesifikasi sekolah seperti apa yang ia inginkan. Mungkin dengan menyempatkan waktu ditengah kesibukannya, Sadio bisa mencari tahu sekolah terdekat dan terbaik dulu untuk Anton. Setelahnya, baru ia akan bertanya apakah itu cocok atau tidak untuk Anton.
🦕🦕🦕
Kehidupan Anton sudah berjalan Tiga minggu sejak kepindahannya, kini Anton mulai sadar jika terus dalam perasaan berkabung memang tak baik. Ia tak bisa semakin menghancurkan hidupnya imbas dari dirinya yang tak bisa bangkit dan keluar dari kehancuran keluarganya.
Lagi-lagi ia diingatkan dengan usia. Jika harus sampai tua, tak ingin Anton terus seperti ini. Ia juga ingin baik-baik saja walaupun alur hidupnya tak lagi sama. Ia berusaha untuk terus menempatkan pikirannya pada hal-hal yang positif. Meninggalkan kesedihannya dan segera menemukan kembali bahagianya. Walaupun dalam hati kecil, Anton rasa itu sulit dan tetap terasa sakit.
Tak jarang juga ia kembali dihampiri oleh kenangan manis yang masih terbayang kuat dalam kepalanya. Membuat ia keseringan melamun dan tanpa sadar kembali menangis saat ingat dengan keadannya yang sekarang.
Sadio sempat memergokinya dua kali, saat kedatangannya yang diluar kebiasaan kunjungan Sadio ke apartement Anton. Meski cepat-cepat berhenti menangis dan berkata tak apa-apa, Sadio tak percaya. Ia bahkan meminta Anton untuk kembali menangis saja, sebab Sadio ikut merasakan bagaimana sesaknya Anton menahan tangis kesedihannya.
Setidaknya, hanya itu yang bisa Sadio upayakan untuk membantu Anton melegakan perasaannya. Sadio bilang itu bukan mengumbar kesedihan, tetapi membuang kesedihan. Jadi, lebih baik membuangnya sampai habis sampai Anton lupa terhadap apa yang sebenarnya ia tangisi.
Pagi ini, Anton sempat terkejut dengan keberadaan Sadio yang entah sejak kapan sudah berada di apartementnya. Sejenak Anton lupa jika Sadio memang sudah berjanji akan datang pagi-pagi untuk membantu Anton mempersiapkan dirinya untuk kembali bersekolah.
Sadio harap Anton cocok dengan sekolah rekomendasi yang ia beri lima hari yang lalu. Sebab saat di beri beberapa rekomendasi, Sadio hanya berbicara sendiri. Ia terus menjelaskan tanpa Anton yang bertanya sama sekali. Anton hanya menatap gambar-gambar dalam layar sambil sesekali mengangguk tipis menanggapi. Sampai pada akhirnya Sadio menyebutkan salah satu sekolah yang menurutnya lebih daripada yang lain, dan Anton menganggukinya.
"Langsung kasih kabar ya, kalo udah selesai. Kalo gue masih di kampus, sama Emran lo gak papa, kan?" Sadio bertanya saat Anton hendak membuka seatbelt di pinggangnya.
Anton mengangguk ragu pada Sadio. Ia pada Sadio saja masih canggung. Apa kabarnya dengan Emran? Bahkan lelaki itu dengan sangat jelas menunjukkan rasa tidak sukanya pada Anton. Selalu berwajah datar dengan tatapan yang terasa melucuti nyalinya. Anton selalu merasa tidak nyaman saat di dekat Emran.
"Nanti gue yang bilang." Sadio berucap saat dilihat-lihat Anton tampak seperti menahan napas saat ia berbicara tentang saudara tirinya.
Menyebalkan memang si Emran itu. Perilakunya tak pernah berubah walaupun Sadio sudah berbicara sedemikian rupa pada Emran agar lelaki itu bisa lebih lembut terhadap Anton. Atau jika tidak mau, minimal Emran jangan sampai memperlihatkan rasa tak sukanya di depan Anton.
🦕🦕🦕
"Berani berapa biar gue rela ninggalin hal yang lebih penting?"
Wajah yang memang asem alami itu membuat Sadio mengeratkan rahangnya menahan kesal. Jemarinya terkepal erat menahan dorongan kuat untuk memukul kepala Emran. Melihatnya dari bagian belakang saja sudah sangat hafal bagaimana raut menyebalkan Emran saat berucap demikian.
Sadio yang hendak pergi itu mengulur waktunya untuk menghampiri Emran yang sedang menatap layar TV dengan tangan yang sibuk menggerakan tuas PlayStation. "Lo mau gue bayar berapa? Bilang! Sekalian, ntar gue kasih bintang lima buat lo." Sadio tersenyum remeh setelahnya.
"Udah kayak pemuda pengangguran aja, lo." Sambung Sadio bergumam.
Emran tersenyum dan berdecih saat Sadio pergi setelah mengejeknya. Lantas ia menatap hamparan cemilan yang hampir habis di sekelilingnya. "Lumayan, kan?"
🦕🦕🦕
To be continue...
Jessan Sadio
Emran Sadhya
KAMU SEDANG MEMBACA
Light Of Life || Anton RIIZE✅
Teen FictionKisah Lucio Anthony yang memiliki keterkaitan dengan Romeo & Juliet dalam hidupnya.. *menjauh dari cerita saya jika niat anda buruk!!* p(╬ Ò ‸ Ó)q *DON'T COPY MY HARD WORK!!* ⋌༼ •̀ ⌂ •́ ༽⋋