15. Turns Out It's Not Just Me

329 46 14
                                    

"Lo gak bakal kambuh di pesawat, kan?" Emran berbisik pada Anton saat mereka berjalan di antara jajaran kursi pesawat. Bukan karena cemas, Emran bertanya demikian sebab ia merasa waswas.

Perjalanan yang akan menghabiskan waktu hampir 12 jam di udara, selama itu dan tak ada yang bisa menjamin jika semuanya akan baik-baik saja.

Bagaimana jika hal darurat tiba-tiba terjadi dan tak ada seorangpun yang dapat membantunya? Jika perlu diperjelas, Anton sedang bersama Emran yang tak bisa apa-apa, dan Sadio yang belum tahu apa-apa.

Sejatinya, Emran itu bertahan hidup dengan cara tidak memperumit diri dengan memedulikan orang lain. Sikap bodo amat dan cenderung cuek sudah menjadi ciri yang khas dimiliki pemuda minim ekspresi itu. Tapi yang tak bisa dijelaskan, adalah saat ia diam-diam menaruh perhatian pada Anton yang berjalan di depannya dengan langkah yang nampak tidak nyaman. Emran tak tahu itu karena bengkaknya yang memang menimbulkan nyeri atau justru karena sepatunya yang mungkin tiba-tiba menyempit di kaki. Melihatnya Emran jadi sedikit iba.

"Pakein dia sandal." Emran jatuhkan sepasang sandal beludru navy di dekat kaki Sadio, sebab lelaki itu duduk memisahkannya dengan Anton.

"Di pesawat gak bagus pake sandal, bodoh!"

"12 jam lebih dia bungkus kaki bengkaknya pake sepatu?!" Emran hanya ingin membela diri, tapi senyuman Sadio yang seolah mengejek mengisyaratkan anggapan lain.

"Cailah.. Perhatian banget lo! Ke gue kagak pernah." Sadio tertawa geli mendengar ucapannya sendiri.

"Bengkak dulu kalo gitu!" Emran palingkan wajahnya ke sisi lain, bersandar di kursi pesawat dan berpura-pura tidur. Menanggapinya hanya akan memperpanjang cemoohan yang keluar dari mulut Sadio, jadi biarkan saja.

"Mau pake sandal, nggak?"

Yang ditawari mengangguk.

🦕🦕🦕

"Gak papa, kak. Anton masih bisa." Anton dorong punggung lebar Sadio, mengisyaratkan lelaki itu untuk segera menjauhkan punggungnya yang sudah berjongkok di hadapan Anton.

"Ck, buruan! Lo kalo jalan lama." Rutuk Emran yang gemas dengan tingkah Anton yang sulit menerima bantuan. Padahal ia sudah lelah dan ingin segera beristirahat.

"Tapi banyak gerak bisa bikin aliran darahnya lancar. Iya Anton jalan cepet." Anton berjalan meninggalkan Sadio dan Emran yang masih diam dengan langkah terburu-buru sambil menggeret koper hitam berukuran sedangnya. Berusaha membuktikan ucapannya selaras dengan kemampuannya.

Iya cepat, tapi pincang.

🦕🦕🦕

Seperti sedang mengulang kisah lama, begitu Anton menginjakan kaki di pekarangan rumah tak berpagar, memori hitam-putih nya masuk mengacaukan isi kepala.

Sebuah rumah besar dengan material kayu, menjadi tempat hidupnya satu keluarga kecil harmonis yang kehidupan pasangannya selalu romantis meski sudah dihadirkan seorang putra tampan dan manis.

24 jam dalam sehari menjadi waktu dimana keluarga itu saling berbagi kehangatan dan kebersamaan meski si ayah tak jarang bepergian. Dengan telepon genggam, pria itu bisa puluhan kali dalam sehari menghubungkan panggilan untuk berbincang apapun pada putra kecilnya.

Lucio Anthony, anak lelaki yang pemalu menjadikan pribadinya yang pendiam dan membuatnya tak memiliki teman.

Ayah ibunya berupaya, dididik di sekolah formal, dibantu beberapa bimbel, banyak datang ke tempat les reguler, juga club renang yang sudah menjadi rutinitas. Tapi tak membantu anak itu memancarkan kepercayaan dirinya untuk berkenalan dan memiliki teman.

Light Of Life || Anton RIIZE✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang